Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akui Cintamu kepada Orang yang Kamu Cinta
Aldo terdiam di tempatnya, menggenggam erat buku catatannya dengan tatapan kosong mengarah ke dinding. Suara teman-temannya terdengar semakin jauh, meskipun mereka duduk tepat di depannya. Tawa keras Rio, cemoohan ringan dari Fajar, dan dorongan semangat tak jelas dari Tito menyelimuti ruangan kecil di sudut kafe kampus yang biasa mereka kunjungi. Namun, di dalam kepala Aldo, semuanya terasa samar.
“Ayo, Do, ini taruhan yang gampang! Kamu tinggal bilang suka ke Alia. Masa segampang itu aja nggak bisa?” Rio menepuk bahu Aldo sambil tertawa. Aldo hanya menoleh sekilas, mencoba tersenyum, meski wajahnya masih menyiratkan kebingungan.
“Aku nggak tahu, Rio,” gumam Aldo, suaranya nyaris tenggelam di tengah suara bising kafe.
“Apanya yang nggak tahu? Nih, dengerin ya,” Tito menyela dengan semangat, “Cewek mana sih yang nggak bakal terkesan kalau ada cowok mendekatinya dengan cara yang berani? Apalagi lo orangnya kan, diem-diem misterius gitu. Cewek suka yang kayak lo!” Tito tertawa, jelas bercanda, meski nadanya mengandung sedikit kebenaran.
Aldo menggeleng pelan. Baginya, mendekati Alia bukan hanya soal keberanian. Ini lebih dari sekadar menyatakan cinta kepada orang yang dia sukai. Alia adalah sosok yang berbeda. Dia tidak hanya cantik dan populer, tapi juga cerdas, ambisius, dan penuh tekad. Alia bukan tipe orang yang mudah dijangkau oleh siapapun, apalagi oleh seseorang seperti Aldo, mahasiswa yang lebih sering tenggelam dalam tumpukan buku dan skripsi ketimbang kehidupan sosial kampus.
“Kamu itu udah kenal sama Alia, Do. Kalian kan satu kelas pas mata kuliah kepemimpinan dulu,” kata Fajar, mencoba memecah kebekuan. “Masa dari situ aja kamu nggak bisa cari kesempatan buat ngomong?”
Aldo menghela napas panjang. Iya, memang mereka pernah satu kelas. Tapi itu bukan berarti dia dan Alia saling mengenal. Aldo selama ini hanya berinteraksi dengan Alia sebatas rekan dalam satu kelompok diskusi. Bahkan, dia hampir tidak pernah berbicara secara pribadi dengannya. Bagaimana mungkin ia tiba-tiba datang dan mengatakan bahwa ia menyukainya? Terlalu mendadak, terlalu aneh.
"Ini bukan cuma soal bilang suka atau nggak, Ja," jawab Aldo akhirnya. "Alia itu beda. Dia bukan tipe orang yang bisa didekati dengan cara-cara biasa. Aku bahkan nggak yakin dia tau aku siapa."
Fajar tertawa kecil, "Justru itu poinnya, Do. Biar dia kenal kamu lebih dekat! Kadang, lu nggak perlu langsung ngomong soal cinta. Yang penting mulai dengan komunikasi, biar dia tau kalo lu ada."
Tito, yang sedari tadi tampak menikmati situasi ini, mendekatkan wajahnya ke arah Aldo. "Dengerin nih, Do," katanya dengan suara lebih rendah, "kalau kamu nggak ambil kesempatan ini sekarang, kapan lagi? Kita semua tahu kalau Alia itu cewek paling keren di kampus ini, kan? Kalau kamu bisa mendekatinya, itu artinya kamu udah berhasil menembus batas yang orang lain nggak bisa."
Aldo mengalihkan pandangannya ke luar jendela kafe. Di luar sana, mahasiswa-mahasiswi lain sibuk berlalu lalang, beberapa di antaranya tampak terburu-buru menuju kelas, sementara yang lain duduk-duduk di bangku taman, menikmati udara segar sambil bercengkerama. Di tengah-tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus yang tampak tenang, Aldo merasa dirinya semakin tenggelam dalam kebimbangan.
"Lu nggak bakal tau gimana reaksi Alia kalo lu nggak coba, Do," Rio menambahkan sambil menyeruput minuman dinginnya. "Taruhan ini cuma dorongan buat lu. Tapi, intinya tetep sama: lu suka Alia, kan? Jadi, kenapa nggak langsung coba aja?"
Sekali lagi, Aldo menggeleng pelan. "Masalahnya nggak sesederhana itu," ujarnya pelan. "Kalian nggak ngerti. Ini bukan soal taruhan atau sekedar tantangan. Aku... aku bener-bener suka Alia, tapi aku nggak yakin cara ini adalah cara yang tepat buat ngedeketin dia."
Semua temannya terdiam sejenak. Keheningan yang tiba-tiba menandai momen penting, seakan-akan mereka baru saja menyadari kedalaman perasaan Aldo. Selama ini, mungkin mereka menganggap bahwa taruhan ini hanyalah permainan semata, bagian dari kegilaan masa kuliah yang biasa mereka lakukan. Namun, bagi Aldo, perasaannya pada Alia bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan permainan atau bahan taruhan.
"Kalau begitu, kenapa nggak coba dengan caramu sendiri?" Fajar berkata dengan nada yang lebih lembut, mencoba menawarkan solusi. "Kamu bisa mulai pelan-pelan, nggak usah tergesa-gesa. Taruhan ini cuma motivasi, tapi cara kamu ngedeketin Alia sepenuhnya ada di tangan kamu."
Aldo memandang Fajar, merenungkan kata-katanya. Mungkin Fajar ada benarnya. Taruhan ini, meski terasa konyol, bisa menjadi alasan baginya untuk setidaknya mencoba mendekati Alia, meskipun dengan cara yang lebih jujur dan tulus. Tapi, apakah itu cukup? Apakah dia mampu?
"Aku nggak mau kalau Alia akhirnya tau tentang taruhan ini," kata Aldo, mengerutkan alisnya. "Kalau dia tau, semuanya bakal berantakan. Aku nggak mau dia mikir kalau aku cuma main-main."
"Kita nggak akan bilang siapa-siapa, Do," Rio menegaskan, "Taruhan ini di antara kita aja. Yang penting, kamu berhasil mendekati dia. Kalau udah dapet, terserah kamu mau gimana lanjutannya."
Aldo merasa semakin terjebak. Di satu sisi, dia tahu bahwa perasaannya pada Alia nyata. Ini bukan sekadar permainan atau sensasi sesaat. Dia benar-benar menyukai Alia, tapi mendekatinya dengan cara ini seolah menodai ketulusan itu. Di sisi lain, teman-temannya tidak akan berhenti menekannya kecuali dia menerima tantangan ini.
"Baiklah," Aldo akhirnya berkata, meski suaranya terdengar berat. "Aku bakal coba. Tapi bukan untuk taruhan ini. Aku bakal coba karena aku benar-benar mau kenal Alia."
Senyum lebar muncul di wajah Tito, Rio, dan Fajar. Mereka tampak senang mendengar Aldo akhirnya menyerah pada tantangan ini, meski Aldo sendiri masih merasa ragu.
"Jadi, rencananya apa?" Rio bertanya, tampak tak sabar untuk mengetahui strategi Aldo.
Aldo terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Aku belum tahu," katanya jujur. "Tapi aku akan mulai dengan bicara. Aku akan cari kesempatan buat ngobrol sama dia, dan kita lihat apa yang terjadi."
Teman-temannya tampak setuju dengan jawaban tersebut. "Itu baru Aldo!" kata Tito sambil menepuk punggungnya. "Cinta nggak perlu dipikir terlalu ribet, Do. Yang penting kamu berani ambil langkah pertama."
Aldo hanya tersenyum samar. Meski begitu, di dalam hatinya, dia tahu bahwa langkah pertama ini akan jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan oleh teman-temannya. Bagaimana bisa dia mendekati gadis paling populer di kampus ini? Apa yang akan dia katakan? Apakah Alia akan melihatnya hanya sebagai mahasiswa biasa yang ingin mendekatinya karena taruhan bodoh ini?
Namun, di tengah segala kebimbangan itu, Aldo tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tak boleh dia lewatkan. Mungkin, dengan usaha dan kejujuran, dia bisa mendekati Alia dan menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Tanpa taruhan, tanpa permainan. Hanya Aldo, dan perasaan yang ingin dia ungkapkan.
Meski sudah memutuskan untuk mencoba, Aldo masih dihantui keraguan saat meninggalkan kafe bersama teman-temannya. Pikiran tentang bagaimana memulai percakapan dengan Alia berputar-putar di kepalanya. Ini bukan sekadar tentang taruhan; lebih dari itu, ini tentang membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa jujur dengan perasaannya. Namun, satu pertanyaan besar tetap menggantung: bagaimana jika Alia tidak tertarik padanya sama sekali?
Keesokan harinya, Aldo memutuskan untuk tidak menunda lagi. Dia ingin mencari momen yang tepat untuk bicara dengan Alia. Hari itu, ada acara di kampus tentang sebuah seminar yang dihadiri banyak mahasiswa, termasuk Aldo dan teman-temannya. Aldo tahu Alia pasti akan hadir karena dia adalah panitia acara. Di sinilah kesempatan itu mungkin akan datang.
Aldo tiba di aula kampus, tempat seminar diadakan. Aula sudah mulai ramai, dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa yang siap mengikuti acara. Dari jauh, Aldo melihat Alia yang tampak sibuk mengurus persiapan. Dia mengenakan blus putih dengan setelan celana hitam, rambut panjangnya terikat rapi, dan senyumnya yang hangat terpancar saat berbicara dengan panitia lainnya.
Saat melihat Alia, perut Aldo terasa mual. Bukan karena takut, tapi karena gugup. Dia mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ini bukan hal yang mudah baginya ketika berbicara dengan orang yang selama ini hanya dia lihat dari kejauhan, apalagi ketika orang itu adalah Alia.
Teman-temannya yang juga hadir untuk seminar, berdiri tak jauh dari Aldo, mengawasinya dengan penuh harapan. Mereka memberi isyarat, menyuruh Aldo untuk segera maju. Aldo hanya bisa mengangguk pelan, meski langkah kakinya terasa berat. Dia tahu dia harus melakukannya, tapi bagaimana caranya memulai percakapan?
Sementara Aldo sibuk memikirkan langkah berikutnya, Alia tiba-tiba mendekat, berjalan melewati beberapa orang sambil membawa berkas-berkas seminar. Ini adalah kesempatan yang Aldo tunggu-tunggu, tapi lidahnya mendadak kelu. Detik-detik berlalu seperti pelan, dan sebelum Aldo sempat membuka mulut, Alia sudah berbelok ke arah lain.
"Aldo, cepetan! Ini kesempatan lu!" bisik Rio dari belakang, memberi semangat, meski tidak membantu sama sekali dalam mengatasi kegugupan yang semakin meningkat.
Aldo menarik napas sekali lagi dan akhirnya melangkah maju. Dia mendekati Alia, mencoba bersikap santai meskipun keringat dingin mulai mengalir di telapak tangannya.
"Hai, Alia," ucap Aldo, suaranya sedikit gemetar. Alia menoleh, sejenak tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum.
"Oh, Aldo, kan? Yang di kelas kepemimpinan itu, ya?" jawab Alia ramah, menunjukkan bahwa dia mengingat Aldo meski mereka jarang berinteraksi.
Aldo mengangguk, merasa lega karena setidaknya Alia tahu namanya. "Iya, benar. Aku lihat kamu sibuk banget hari ini."
Alia tertawa kecil. "Iya, acara kayak gini emang selalu bikin ribet. Tapi aku seneng kok bisa sibuk kayak gini. Kamu gimana? Ikut seminar juga?"
"Iya," jawab Aldo cepat, berusaha menjaga percakapan tetap mengalir. "Aku pikir bakal menarik, apalagi topiknya soal kewirausahaan. Mungkin bisa jadi ide buat setelah lulus nanti."
Alia tersenyum, tampak senang mendengar jawaban Aldo. "Bagus itu, kewirausahaan memang bidang yang luas. Aku sendiri juga tertarik. Malah, aku lagi coba bikin proyek kecil-kecilan di luar kampus. Kamu tertarik ikut?"
Aldo terkejut dengan tawaran tak terduga itu. "Proyek? Tentu, boleh tahu lebih lanjut?"
Dan begitulah percakapan antara Aldo dan Alia mengalir dengan lebih mudah dari yang dia bayangkan. Mereka membicarakan proyek yang Alia rencanakan, tentang kewirausahaan, dan juga tentang pengalaman di kampus. Meskipun awalnya gugup, Aldo merasa semakin nyaman berbicara dengan Alia. Setidaknya, ini bukan tentang taruhan lagi, melainkan tentang menemukan cara untuk lebih mengenal satu sama lain.
Meski begitu, di sudut pikirannya, Aldo masih khawatir. Apakah Alia akan tahu tentang taruhan itu suatu saat nanti? Dan jika iya, bagaimana reaksi Alia saat mengetahuinya? Hingga saat itu, Aldo hanya bisa berharap bahwa perasaannya cukup kuat untuk mengatasi semua halangan yang mungkin datang.