Kisah berawal dari gadis bernama Inara Nuha kelas 10 SMA yang memiliki kutukan tidak bisa berteman dengan siapapun karena dia memiliki jarum tajam di dalam hatinya yang akan menusuk siapapun yang mau berteman dengannya.
Kutukan itu ada kaitannya dengan masa lalu ayahnya. Sehingga, kisah ayahnya juga akan ada di kisah "hidupku seperti dongeng."
Kemudian, dia bertemu dengan seorang mahasiswa yang banyak menyimpan teka-tekinya di dalam kehidupannya. Mahasiswa itu juga memiliki masa lalu kelam yang kisahnya juga seperti dongeng. Kehadirannya banyak memberikan perubahan pada diri Inara Nuha.
Inara Nuha juga bertemu dengan empat gadis yang hidupnya juga seperti dongeng. Mereka akhirnya menjalin persahabatan.
Perjalanan hidup Inara Nuha tidak bisa indah sebab kutukan yang dia bawa. Meski begitu, dia punya tekad dan keteguhan hati supaya hidupnya bisa berakhir bahagia.
Inara Nuha akan berjumpa dengan banyak karakter di kisah ini untuk membantu menumbuhkan karakter bagi Nuha sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Hidupku Seperti Dongeng
"Tuan Naru dan Nona Nuha seharian gak keluar kamar mereka ngapain sih? Sampe sore gini." Ucap salah satu Asisten Rumah Tangga yang sedang bersih-bersih di luar kamar Tuannya.
Satunya lagi menempelkan telinganya di pintu. "Mungkin mereka sedang menikmati waktu bersama. Tapi, terdengar sangat hening." Sahutnya.
"Hus! Gak baik nguping gitu."
"Kamu sih yang bikin aku ikut mikir yang enggak-enggak. Jadi kepo gini kan."
"Siapa yang mikir enggak-enggak? Aku hanya nanyain kabar mereka aja. Semoga mereka baik-baik aja di dalam."
"Tuh, mikirin yang enggak-enggak kan? Bukan mereka yang baik-baik aja, tapi Nona Nuha-nya yang semoga baik-baik aja. Aku kan khawatir Tuan Naru jadi kelepasan."
"Jangan mikirin yang enggak-enggak. Tuan Naru gak bakalan kek gitu. Tapi, aku berharap dia bisa memperlakukan Nona Nuha dengan penuh lemah lembut."
"Wah, kacau nih. Kita jadi mikirin yang enggak-enggak. Ayo! Kita pergi aja dari sini."
Di dalam ruang kamar, tepatnya di balkon, Naru dan Nuha sedang melakukan kesibukan masing-masing. Naru sangat tenang membaca buku dan membiarkan Nuha menggambar sambil bersenandung.
Naru bertanya, "Nuha, apa kamu masih belum mau pulang?"
"Kenapa? Kamu ingin aku pulang?"
"Bu- bukan gitu, Nuha.."
Nuha langsung berhenti menggambar, membuat Naru jadi merasa bersalah. Sepertinya belum tepat mengajukan pertanyaan itu. "Gimana ya bilangnya?" Pikir pemuda itu mencari cara.
"Aku jadi memikirkan keluarganya, pasti cemas karena Nuha belum pulang ke rumah. Sepertinya Nuha juga belum mau pulang. Di samping itu, aku sangat senang dia bersamaku. Tapi, aku nggak enak kalau mikirin keluarganya," pikir Naru.
Pemuda itu tersenyum namun dengan hati yang gundah melihat Nuha sedang menikmati gambarnya sambil bersenandung riang. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan Nuha.
"Nuha, bolehkah aku main ke rumahmu? Hehe, aku ingin bertemu dengan Ibu dan Ayahmu, juga ingin kenal dekat dengan kakakmu."
"Tapi kakakku sangat galak lho Naru."
Naru tersenyum, hatinya sejenak merasa lega. Dia mulai paham harus bagaimana karena Nuha sudah mau menjawab pertanyaannya dengan baik. "Gak apa-apa, Nuha. Aku ingin mengenal keluargamu lebih dekat. Lagipula, aku juga mau menunjukkan kalau aku serius sama kamu."
Nuha tersenyum mendengar kata-kata Naru. "Baiklah, aku akan bicarakan sama Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, kamu bisa main ke rumahku."
"Sekarang aja gimana?" Tanya Naru dengan cepat. Membuat Nuha jadi kaget.
"Sekarang? Kenapa? Oohh.. gak sabar yaa.." Nuha malah menggodanya. "Kamu tau Naru, kakak aku itu sangat galak tauk. Aku takut kamu nanti bakalan kalah sama dia."
"Enggak Nuha, aku berani."
"Yakin?"
"Yes!"
"Baiklah, aku selesain dulu ya gambarnya. Habis itu kamu boleh main ke rumahku."
"Terima kasih, Nuha. Aku sangat menghargainya," balas Naru sambil memeluk Nuha dengan lembut. "Aku akan bantu kamu selesain gambarnya biar makin cepet."
Setelah selesai, Nuha segera merapikan alat-alat gambarnya dan bersiap untuk pulang ke rumah. "Ayo, kita ke rumahku sekarang. Aku akan perkenalkan kamu ke keluargaku," kata Nuha dengan antusias.
Naru mengangguk dengan senyum di wajahnya. "Oke, Nuha. Aku siap."
Mereka pun berangkat menuju rumah Nuha. Sepanjang perjalanan, Naru berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar-debar. Di samping itu, dia merasa senang karena telah berhasil membawa Nuha untuk pulang ke rumah.
Sesampainya di depan rumah Nuha, dia menarik napas dalam-dalam dan menguatkan tekadnya. Dia tahu, pasti akan ada konflik di sini.
Kak Muha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Kemudian, Nuha keluar dari pintu tengah. Melihat adiknya pulang, kak Muha masih menahan diri di tempatnya.
"Siapa, kak?" Tanya Ibu muncul dari dalam rumah. Kemudian, diikuti suaminya.
Setelah Kak Muha melihat dengan seksama, keluar juga seorang pemuda dari sisi sebelahnya.
Nuha berjalan masuk dengan mengajak Naru untuk berjalan di sampingnya. "Ayo, Naru." Ajak Nuha dengan senang.
"Nuha? Nuhaa.." Ibu langsung berlari menghampiri putri tercintanya. Beliau memeluk erat mengingat betapa cemasnya beliau mendapati Nuha tidak pulang selama dua hari. "Kamu gak apa-apa, sayang?" Tanya Ibu penuh khawatir.
"Aku gak apa-apa, Ibu. Maaf ya, kalo Ibu jadi cemas. Aku baik-baik aja kok. Oh iya, Ibu. Aku mau ngenalin seseorang."
"Siapa, sayang?" Tanya Ibu yang sudah merasa lebih baik. Dia melihat sejenak pemuda tampan dan tinggi itu.
Nuha ingin memperkenalkannya, tapi Naru langsung menyahut, "Saya Rui Naru. Saya--"
Belum selesai melanjutkan, Ibu segera mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah. "Sudah, sudah. Ayo masuk dulu ke rumah. Kami sangat mengkhawatirkanmu, sayang. Kamu kemana aja sih." Kata Ibu terus menggandeng tangan Nuha dan mengajaknya masuk ke dalam.
Kak Muha dan ayah yang masih berdiri menunggu, mencegah kedatangan Rui Naru. Sejenak mengajaknya bicara enam mata dengannya.
"Ayah, ayo bantu Nuha." Pinta Ibu.
Tinggal Kak Muha dan Rui Naru diluar rumah. Tatapan Kak Muha sangat tajam, seolah-olah ingin segera memberikan penghakiman.
"Kamu Rui Naru, ya?" tanya Kak Muha dengan suara rendah namun tegas.
"Iya, Kak. Saya Rui Naru," jawab Naru dengan tenang dan menguasai suasana.
"Apa maksudmu membawa adikku pergi selama dua hari tanpa izin? Apa kamu sadar betapa cemasnya kami?" Kak Muha bertanya dengan nada semakin tajam.
Naru menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Maafkan saya, Kak. Itu bukan maksud saya. Nuha sedang mengalami masalah dan merasa tidak enak badan. Saya hanya ingin menjaganya. Kami tidak berniat membuat kalian khawatir."
Kak Muha tetap menatapnya dengan tajam. "Kamu pikir hanya dengan kata-kata maaf semuanya akan selesai? Kamu harus lebih dari itu untuk bisa diterima di keluarga ini."
Tiba-tiba Nuha datang menyela, "Kakak! Jangan marahi Naru. Naru gak salah!"
"Udah, kamu masuk sana." Suruh Kak Muha.
Naru menatap Kak Muha dengan penuh kesungguhan. "Saya paham, Kak. Saya akan berusaha keras untuk membuktikan bahwa saya layak dipercaya dan diterima di keluarga ini. Saya benar-benar peduli dengan Nuha dan ingin yang terbaik untuknya."
Tatapan Kak Muha perlahan melunak, meskipun masih ada sedikit keraguan. "Baiklah, Naru. Saya akan memberikanmu kesempatan. Tapi ingat, satu kesalahan lagi dan kamu akan berhadapan langsung dengan saya."
Naru mengangguk. "Terima kasih, Kak Muha. Saya tidak akan mengecewakanmu."
Kak Muha akhirnya menghela napas dan berjalan menuju pintu rumah. "Ayo masuk, kita lihat bagaimana Nuha sekarang," katanya, memberikan isyarat kepada Naru untuk mengikutinya.
Mereka berdua masuk ke dalam rumah, bergabung dengan keluarga yang sedang berkumpul di ruang tamu. Nuha tersenyum melihat Naru dan Kak Muha masuk bersama. "Bagaimana pembicaraannya?" tanya Nuha dengan cemas.
Kak Muha hanya tersenyum tipis. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Naru sudah menjelaskan semuanya."
Nuha merasa lega dan menggenggam tangan Naru. "Terima kasih, Kakak. Terima kasih, Naru." Nuha tersenyum.
"Ara-ara, manis sekali." Sahut Ibu ikut tersipu melihat Putri kesayangannya bergandengan tangan. Ayah hanya bisa menerimanya.
Ayahlah yang berganti menatap Naru dengan serius. Banyak pertanyaan mulai muncul dibenaknya, tentang kehadiran Naru di kehidupan putrinya.
masih panjang kak perjalanannya ✍✍