Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Malam yang Tak Terlupakan
Setelah kejadian di kamar mandi yang membuatnya jengkel sekaligus ketakutan, Blokeng berusaha mengumpulkan keberaniannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih sedikit basah karena ludah pocong tadi. Hawa dingin masih terasa, dan suara jendela yang tertiup angin semakin membuat suasana rumahnya terasa mencekam.
Blokeng menghela napas panjang. "Dasar, pocong sialan! Ganggu orang aja," gumamnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri meski jelas masih merasa merinding.
Ia melangkah menuju ruang tamu untuk duduk sejenak, berpikir bahwa duduk di tempat yang lebih terang mungkin bisa sedikit mengusir perasaan takutnya. Di ruangan itu, lampu kuning menyala redup, memberi sedikit cahaya yang menenangkan.
Namun, saat baru saja ia duduk, terdengar suara aneh seperti langkah kaki yang menyeret. Blokeng terdiam. Suara itu semakin mendekat, dan ia bisa merasakan jantungnya berdetak semakin cepat.
Blokeng menoleh ke arah sumber suara. Di sudut ruangan, sosok kuntilanak yang tadi dilihatnya bersama Bala Kurawa tampak berdiri, dengan senyum menyeramkan dan mata merah menatap langsung ke arahnya. Kali ini, jaraknya hanya beberapa meter saja!
Blokeng menelan ludah, tapi ia tidak bisa berpaling. Meskipun hatinya mulai berteriak ketakutan, rasa sombong dan gengsinya sebagai preman menahannya untuk lari. "Hei! Apa maumu?" seru Blokeng mencoba bersikap garang, meskipun suaranya sedikit gemetar.
Kuntilanak itu hanya tertawa pelan, suara tawanya menggema dan membuat bulu kuduknya semakin berdiri. Perlahan, kuntilanak itu mulai mendekat. Setiap langkahnya terdengar seperti suara kain yang menyeret di lantai, membuat suasana semakin mencekam.
Blokeng memutuskan untuk bangkit dan berjalan mundur perlahan, tetapi kuntilanak itu terus mendekat, hingga akhirnya jarak mereka tinggal sejangkauan tangan.
Dengan suara pelan, kuntilanak itu berbisik, "Jangan coba-coba lari... Aku akan selalu ada di sini... mengawasimu..."
Blokeng menggertakkan giginya. "Berani kamu ganggu aku di rumahku sendiri?" gumamnya dengan suara bergetar.
Ia mengumpulkan keberanian, mencoba mengusir makhluk itu dengan tangan gemetarnya. Tapi begitu ia melangkah maju, kuntilanak itu mendadak menghilang, seolah-olah lenyap ke udara tipis. Blokeng terdiam, pandangannya masih tertuju ke sudut tempat kuntilanak itu berdiri tadi.
"Nggak beres ini, ada apa, sih? Masa habis ketemu Bala Kurawa, sekarang dihantui di rumah?" keluh Blokeng, bingung dengan serangkaian kejadian mistis yang terus mengejarnya.
Blokeng mencoba kembali ke kamarnya untuk tidur. Ia menutup pintu kamar dan berbaring di kasur, mencoba berpikir positif agar bisa tertidur. Namun, baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu kamarnya.
Tok... tok... tok...
Blokeng membuka matanya. "Siapa lagi tengah malam begini?"
Ia mencoba mengabaikannya, tetapi suara ketukan itu semakin kencang, seperti seseorang yang ingin masuk. Blokeng menarik napas panjang, menguatkan diri untuk bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar.
Saat pintu terbuka, ia melihat sosok yang berbeda — kali ini, genderuwo berukuran besar berdiri di depannya, menatapnya dengan mata tajam yang menyala merah. Genderuwo itu memiliki tubuh yang besar, berbulu, dan tampak seperti bayangan hitam besar dengan senyum menakutkan.
Blokeng terbelalak, benar-benar merasa bingung di antara ketakutan dan rasa ingin melawan. "Apa sih kalian semua, kenapa harus ganggu aku? Mau apa kalian sebenarnya?!"
Genderuwo itu hanya tertawa besar, suaranya dalam dan bergema memenuhi seluruh ruangan. "Kami hanya ingin bermain... dengan nyalimu yang sombong itu."
Blokeng mengepalkan tangan, merasa terpojok tapi masih menahan egonya. "Kalau kalian pikir aku takut, salah besar! Aku bukan pengecut!" serunya, meski jelas suaranya agak gemetar.
Sosok genderuwo itu hanya tertawa lebih keras, lalu perlahan berjalan mundur, menghilang menjadi bayangan gelap yang menyatu dengan dinding kamar.
Setelah semua sosok itu menghilang, ruangan menjadi sunyi kembali. Blokeng duduk di tepi ranjangnya, merenungi apa yang baru saja terjadi. Dalam hati, ia mulai merasa sedikit gentar. "Mungkin mereka ngira aku ini target yang gampang buat ditakut-takutin. Tapi... kenapa mereka terus mengganggu aku?"
Malam itu, Blokeng memutuskan untuk tetap berjaga, menunggu sampai matahari terbit, sambil berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan kalah dari gangguan para makhluk gaib ini. Tetapi satu hal yang ia sadari — bahwa keberaniannya mulai goyah, dan dalam-dalam hatinya, ia tahu bahwa malam-malam berikutnya mungkin tidak akan lebih mudah dari ini.
Blokeng duduk di tepi ranjangnya, pikiran berputar dalam kepalanya. Dengan segala yang baru saja terjadi, ia merasa kelelahan fisik dan mental yang luar biasa. Rasa takut yang sebelumnya ia sembunyikan kini menggerogoti keberaniannya. Beberapa kali ia berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini hanya halusinasi, tetapi ketakutan itu semakin menjadi-jadi.
Ketika sinar bulan masuk melalui celah jendela, Blokeng merasa keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Napasnya terasa berat, dan dada rasanya seperti dipenuhi batu. Ia berusaha berdiri, tetapi kakinya seakan tidak kuat untuk menopang berat tubuhnya. Suara-suara aneh kembali berbisik di telinganya, membuat kepalanya berdenyut semakin kencang.
“Tidak… aku tidak bisa…,” bisiknya sambil menggenggam erat pinggiran ranjang.
Kepala Blokeng terasa berputar. Ia mencoba memusatkan pikirannya, tetapi semuanya tampak kabur. Dalam sekejap, semua kegelapan, ketakutan, dan kelelahan menimpa dirinya, dan akhirnya—
Blokeng pingsan.
Tubuhnya jatuh ke ranjang dengan lemas, dan seisi kamar menjadi hening kembali. Suara napasnya tak terdengar lagi, hanya hening yang menegangkan memenuhi ruangan.
---
Beberapa saat kemudian, Blokeng terbangun dalam keadaan bingung. Ia merasakan pandangan berkunang-kunang, dan pikirannya masih terasa berat. Perlahan-lahan, ia mengangkat kepalanya dari ranjang dan melihat sekeliling. Semuanya tampak sama, tetapi ada sesuatu yang berbeda.
“Dimana ini?” gumamnya dengan suara serak.
Rasa mual menyerang lambungnya, dan ia merasakan pusing yang mencekam. Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa lemas dan tidak berdaya. Ketika ia berusaha menegakkan badan, pandangannya teralihkan ke cermin di sudut ruangan. Blokeng tertegun melihat dirinya sendiri.
Wajahnya pucat, dan matanya tampak cekung. Di sudut bibirnya ada jejak ludah pocong, dan rambutnya acak-acakan seolah baru bangun dari mimpi buruk yang panjang. Rasa jijik menyergapnya ketika ia teringat akan kejadian sebelumnya.
“Pocong, kuntilanak, genderuwo… semua ini benar-benar terjadi,” pikirnya, perasaan ngeri menyergap kembali.
Blokeng berusaha mengalihkan fokusnya dan bangkit berdiri. Ia berjalan ke pintu kamar dengan hati-hati, berharap tidak ada makhluk-makhluk menakutkan yang menunggunya di luar. Saat membuka pintu, suasana di luar tampak tenang. Namun, perasaannya tidak bisa berbohong; jantungnya berdebar kencang.
Dengan perlahan, Blokeng melangkah keluar dari kamar. Ia berusaha untuk tidak berisik, khawatir akan membangkitkan makhluk-makhluk gaib yang tadi. Ia melangkah menuju dapur, berharap menemukan air atau sesuatu yang bisa menyegarkan pikirannya.
Di dapur, suasana tampak sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang mengisi ruang hampa itu. Blokeng mengambil gelas, mengisi dengan air dingin, dan meneguknya dalam-dalam. Rasanya menyegarkan, tetapi tidak cukup untuk mengusir semua ketakutan yang menggerogoti pikirannya.
Tiba-tiba, suara pintu belakang terbuka membuat Blokeng terlonjak. Ia berbalik dan melihat sosok tinggi berbulu yang dikenal sebagai genderuwo berdiri di ambang pintu. Tanpa berpikir panjang, Blokeng langsung berlari keluar, tidak peduli apapun yang akan terjadi.
“Jangan kabur!” teriak genderuwo, suaranya dalam dan bergema, tetapi Blokeng tidak peduli.
Ia berlari ke arah jalanan, berharap untuk menemukan tempat yang lebih ramai dan aman. Malam masih gelap, tetapi cahaya bulan menerangi jalannya. Setiap langkahnya terasa berat, seolah angin malam berusaha menariknya kembali ke rumah.
“Kenapa semua ini harus terjadi padaku?” pikirnya, berlari tanpa tujuan, sambil sesekali menoleh ke belakang, takut makhluk-makhluk itu mengikutinya.
Dalam pelarian yang melelahkan, Blokeng merasakan adrenalin memuncak dalam dirinya. Ia berlari menembus gelap, melewati gang-gang sempit dan jalanan yang tidak dikenalnya. Rasa takut mulai bercampur dengan semangat untuk melawan rasa penakut yang selama ini menggerogoti hatinya.
“Kalau mereka mau main, aku juga bisa!” teriaknya, meski suaranya bergetar.
Blokeng berlari semakin jauh, bertekad untuk menemukan keberanian yang selama ini ia sembunyikan. Mungkin malam ini adalah malam yang harus ia hadapi, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membuktikan bahwa ia tidak akan menjadi korban ketakutannya.
Seiring langkahnya, bayangan-bayangan menakutkan menghilang dari pikirannya, dan ia mulai merasakan kehangatan di dalam hatinya. “Aku tidak akan kalah… tidak akan pingsan lagi.”
Di tengah malam yang kelam, Blokeng merasakan ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam diri, tetapi dalam cara pandangnya terhadap semua yang menakutkan. Mungkin, hanya mungkin, jika ia berani menghadapi ketakutannya, ia bisa mengubah jalannya malam ini menjadi malam yang tak terlupakan, bukan hanya dengan hantu, tetapi juga dengan keberanian yang baru ditemukan.