Sejak kecil Rea seorang anak tunggal terlalu bergantung pada Jayden. Laki-laki sok jagoan yang selalu ingin melindunginya. Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Jayden adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Rea dalam keadaan apapun. Jayden selalu ada di kehidupan Rea. Hingga saat Altan Bagaskara tidak datang di hari pernikahannya dengan Rea, Jayden dengan jiwa heroiknya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengganti mempelai pria. Lalu, mampukah mereka berdua mempertahankan biduk rumah tangga, di saat orang-orang dari masa lalu hadir dan mengusik pernikahan mereka?
Selamat Membaca ya!
Semoga suka. 🤩🤩🤩
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Budi Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 19
"Apa peringatanku kemarin kurang jelas? Aku minta kamu jauhin dia, Rea!"
"Aku nggak butuh ijin kamu untuk minta tolong sama siapa pun. Seharusnya kamu say thank you sama Jayden karna dia sudah bantuin aku beresin masalah kemarin."
"Oh, jadi aku harus puji-puji dia karna sudah nolongin kamu, begitu?"
"Kamu kenapa sih, Altan? Datang ke sini cuma marah-marah nggak jelas. Waktu semua media nyerang aku dengan berita buruk tentang kejadian kemarin, kamu ke mana? Aku berkali-kali menelpon kamu, loh. Tapi hape kamu nggak aktif!"
Altan berpaling, menghindari tatapan tajam Clareance yang menyelidik.
"Kamu ke mana waktu semua orang menghujat aku di media sosial. Kamu itu calon suami aku loh, Altan. Seharusnya kamu yang pasang badan buat aku, bukan Jayden. Kayaknya aku tuh tidak ada artinya ya buat kamu."
"Rea ...."
"Apa?!" Teriak Clareance dengan mata membulat marah. Gadis itu sama sekali tak punya rasa takut. Dia bukan Clareance yang dulu lagi. Seorang gadis polos yang diam saja waktu semua orang membully karna penampilannya yang di bawah standart.
"Kamu tahu kan kalau aku sibuk. Aku nggak ada waktu buat ngurusin berita sampah di sosial media. Makanya aku nggak tahu."
"Berita sampah? Jadi, kamu menganggap enteng masalah ini? Calon istri kamu hampir berurusan dengan polisi, loh. Terus sekarang kamu bilang itu cuma berita sampah?!"
"Kamu nggak akan terlibat masalah seperti ini kalau kamu nggak emosional, Rea. Kamu harus belajar nahan emosi dong. Jangan dikit-dikit main kasar. Kamu itu foto model loh, bukan preman pasar!"
Clareance terkesiap dengan kalimat Altan yang diucapkan dengan nada sinis, dan terdengar sangat kejam di telinganya. Dalam hati dia terus membandingkan sikap Altan dan Jayden yang berbanding terbalik. Entah kenapa dia ingin sekali menangis. Namun, Rea tak ingin terlihat lemah di depan Altan. Sekuat tenaga dia tetap berdiri tegak meski dadanya bergemuruh dan kedua matanya mulai terasa panas.
"Berhentilah membuat masalah, Rea. Pernikahan kita semakin dekat. Aku harus menjaga nama baikku, juga nama baik keluargaku. Apa kata klien perusahaan Papa nanti, kalau mereka melihatmu ada di berita-berita gosip? Berkelahi, minum-minuman keras, berurusan dengan kantor polisi. Aku malu, Rea!"
"Oh, jadi aku yang salah? Jadi nama baik kamu lebih penting dari pada membela aku?" Bibir Clareance bergetar, napasnya tercekat di tenggorokan.
"Oke, mungkin aku memang nggak pantas menjadi istri kamu, Altan. Pilih saja perempuan lain."
Rea menatap Altan sekilas, kemudian berbalik hendak masuk ke dalam kamar. Beruntung kedua orang tua Rea sedang ada kepentingan bisnis di luar negeri. Jadi mereka berdua tidak perlu menyaksikan putrinya bertengkar hebat dengan Altan di ruang tengah.
"Rea nggak begitu maksudku." Pria itu berjalan cepat menyusul langkah Clareance yang setengah berlari menaiki tangga.
Rea sudah tak bisa menahannya lagi. Gadis itu menangis dalam diam. Bibirnya terkatup rapat, menahan isaknya agar tak terdengar oleh Altan yang sedang mengejarnya di belakang.
"Rea, tunggu!" Seru Altan sambil menarik lengan Rea yang sudah hampir meraih gagang pintu kamar.
"Tunggu, aku belum selesai bicara."
"Apa lagi," belalak Rea setelah menghapus air matanya dengan punggung tangan.
"Nggak ada lagi yang perlu di bahas, Al. We're done. Sudah selesai semuanya."
"Rea ... Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud membuatmu tersinggung. Aku cuma ...." Altan membuang napas ke udara. Wajahnya tengadah dengan mata memejam sesaat. Tak tahu lagi harus berkata apa. Kepala Altan penuh dengan bayangan Zika yang beberapa hari ini menghilang.
Pria itu bukan sibuk bekerja di kantor, melainkan sibuk mencari kekasihnya yang sedang hamil.
÷÷÷÷÷
"Sampai kapan kamu mau sembunyi di sini, Zika? Bukannya aku mau ngusir kamu, ya. Aku cuma risih tiap kali dengar Altan marah-marah karna nggak berhasil juga nemuin tempat persembunyian kamu. Kalau dia tahu ternyata kamu tinggal di sini, dia pasti marah besar sama aku," keluh Hazlyn pada Zika yang beberapa hari belakangan menginap di apartemen miliknya.
Gadis itu sudah pergi dari apartemen yang dibelikan oleh Altan, sebelum ia di usir dengan paksa oleh Pedro, Papanya Altan yang kejam itu. Dia sengaja pergi dan tidak menghubungi Altan, agar pria itu mencarinya dan memohon untuk kembali. Dia menjauh hanya untuk menarik perhatian Altan. Itulah tujuan utamanya.
"Zika ...." Hazlyn mendekat duduk di tepi ranjang sambil mengusap kepala Zika dengan lembut.
"Kalau kamu mau, aku bisa resign dari perusahaan Altan dan pergi denganmu. Aku juga bisa menjadi ayah untuk bayimu."
Zika menggeleng kuat, meski dalam hati dia terus memuji sikap baik Hazlyn padanya. Pria itu punya hati dan cinta yang tulus untuk Zika. Tapi, ia tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Dalam hatinya hanya Altan seorang. Selama ini, Zika hanya memanfaatkan kebaikan Hazlyn untuk kepentingannya sendiri. Bahkan, pria itu tidak tahu kalau calon bayi yang sedang di kandung oleh Zika adalah anaknya.
"Kamu nggak perlu repot-repot mikirin aku." Zika mengusap pelan wajah tampan Hazlyn yang menatapnya lembut.
"Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Kamu akan benar-benar pergi sendiri dan membiarkan Altan menikahi perempuan lain?"
Zika terdiam. Mana mungkin dia membiarkan kekasihnya menikahi perempuan lain. Itu tidak akan terjadi. Hazlyn tidak tahu kalau Zika sudah merencanakan sesuatu agar Altan mau kembali padanya.
"Aku bisa membantumu keluar dari masalah ini, Zika," ucap Hazlyn lembut, usai mendaratkan kecupan singkat di pipi perempuan cantik itu.
"Ijinkan menikahimu. Aku akan menjagamu dengan baik. Kalau perlu, aku akan menganggap bayi itu seperti anakku sendiri."
"Dasar bodoh! Bayi ini memang anakmu, Hazlyn. Kamu saja yang tidak tahu," dengus Zika dalam hati, menertawakan kepolosan Hazlyn.
"Besok aku akan berkemas. Aku akan pergi dari sini sebelum Altan curiga padamu. Aku nggak mau lagi melibatkanmu dalam urusan pribadiku. Sudah cukup semua bantuanmu selama ini. Aku nggak akan pernah melupakan kebaikanmu," ucap Zika dengan senyum tulus.
Ia menarik kepala Hazlyn dan mencium bibirnya dengan sangat lembut. Mereka sudah sering melakukannya, jadi Hazlyn sudah tak lagi terkejut.
Pria itu membalas ciuman Zika dengan penuh gairah, seolah ini adalah pertemuan terakhir mereka. Meski di dalam hati Hazlyn merasa sangat sakit hati karna tak bisa memiliki Zika seutuhnya. Dia hanya bisa berhubungan dengan perempuan itu di belakang semua orang. Dan dia harus rela melihat orang yang dicintainya lebih memilih pria lain dari pada dirinya. Meski begitu, Hazlyn tetap saja tidak bisa berpaling dari Zika. Perempuan itu seolah memiliki kekuatan magis yang sanggup menariknya jatuh ke pusara cinta yang tak bertepi. Hingga akhirnya dia tenggelam di dalam harapan kosong yang telah ia bangun sendirian.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berdua di atas ranjang seperti layaknya pasangan kekasih. Hazlyn sangat menikmatinya, begitu pula Zika. Tapi bagi perempuan itu, pria seperti Hazlyn hanya cocok untuk dijadikan pelampiasan. Dia butuh sosok seperti Altan. Seseorang yang lahir dari golongan atas, karna hanya bersama mereka, Zika bisa melupakan masa lalunya yang kelam.
Bersama Altan, dia bisa menikmati cinta dan kasih sayang pria itu. Zika juga bisa mencicipi harta kekayaan kekasihnya. Zika tak mau lagi merasakan kesengsaraan seperti masa kecilnya dulu. Hidup tanpa orang tua dan tanpa kasih sayang. Dan dia tak ingin calon bayinya merasakan hal yang sama. Dia harus bisa membuat Altan membatalkan pernikahan itu. Karna anaknya butuh seorang ayah yang tepat, seorang laki-laki yang bisa menjamin masa depan yang cerah.
Pagi harinya Altan terbangun tanpa bisa menemukan Zika di apartemennya. Perempuan itu sudah pergi entah ke mana.
÷÷÷÷÷
"Clareance masih belum mau keluar kamar? Kamu sudah bilang sama dia kalau saya datang ke sini?"
"Maaf ya, Mas. Tapi, sepertinya Mbak Rea masih marah," sahut Vins dengan lirikan tajam ke arah Altan. Pria berperut buncit dengan gaya kemayu itu memang tidak menyukai Altan sejak awal. Aura calon suami Clareance itu terlihat suram di matanya.
Entah kenapa. Tapi, firasat asisten pribadi Clareance tak pernah meleset. Dia pandai menilai karakter seseorang. Berbeda dengan Clareance yang masih saja polos dan mudah tergoda dengan rayuan lelaki. Karna itulah, Vins lebih nyaman beradu tatap dengan Jayden dari pada pria di hadapannya ini.