Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Celetukkan Ello
John terkekeh dan menggelengkan kepala, dengan senyum masam di wajahnya. "Aku? Ah, anak-anakmu dan Ello kelak akan jadi anak-anakku juga, Zion. Lihat saja Ziel. Jadi, aku tak perlu menikah, 'kan?" candanya, meski ada nada getir dalam suaranya.
Elin, yang berdiri di samping Zion, memandang John penuh perhatian. "Jangan bicara begitu, John. Masih ada banyak wanita di luar sana yang bisa tulus mencintaimu. Jangan menutup diri dari kemungkinan itu."
John tersenyum kecut, lalu menghela napas pelan. "Terima kasih, Elina, tapi... aku tidak bisa begitu saja membuka hati. Setelah semua yang terjadi waktu itu, saat aku terpuruk, hanya kau yang ada di sisiku. Keluarga Mahendra sudah seperti keluargaku sendiri."
Pak Hadi, yang biasanya pendiam, justru tersenyum samar dan menatap John dengan bijaksana. "Jangan terlalu cepat berkesimpulan, Tuan John. Saat jodoh datang, tidak ada yang bisa menolak. Percayalah, kalau waktunya tiba, hati Anda takkan bisa menolaknya."
John menghela napas dan mengangkat bahu, masih dengan senyum tipis. "Sepertinya sulit dipercaya, Pak Hadi. Sampai sekarang, belum ada satu pun wanita yang bisa menarik, apalagi mengacaukan hatiku." Matanya tampak menerawang sejenak, seakan ada bayangan masa lalu yang tak mudah hilang.
Zion tertawa kecil sambil menepuk bahu John. "Kita lihat saja, John. Siapa tahu, kau akan menjadi orang pertama yang takluk ketika itu terjadi."
John tertawa tipis, meski ada sesuatu yang tampak bergeming dalam hatinya. "Ya, kita lihat saja. Tapi untuk sekarang, aku cukup bahagia bisa menjadi bagian dari kebahagiaan kalian semua."
Ello tiba-tiba melontarkan komentar tak terduga. "Eh, John," katanya sambil tersenyum iseng, "Aku perhatikan, kamu selama ini nggak pernah tertarik sama wanita mana pun yang mendekat. Padahal, rata-rata mereka itu cantik, kaya, pintar. Jangan-jangan kamu pengennya gadis muda yang polos, ya?"
Komentar Ello langsung mengundang tawa dan beragam reaksi dari yang lain. Zion tersenyum, Elin menutup mulut menahan tawa, Diandra mengulum senyum dan bahkan Pak Hadi pun terlihat tersenyum simpul.
John tertawa mendengar celetukan itu, lalu mengangkat bahu. "Ah, Ello, kamu salah besar. Aku nggak tertarik pada semua wanita yang mendekat, apalagi gadis muda yang polos. Itu... jelas bukan tipeku."
Ello menatapnya sambil menahan tawa. "Awas, John! Kalau nanti kamu beneran jatuh cinta sama gadis muda polos, jangan kaget, ya."
John tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Tidak akan terjadi, Ell. Aku yakin sekali," jawabnya santai, dengan nada yang seakan tak terbantahkan.
Elin terkikik kecil, lalu menyahut, "Kamu bilang begitu sekarang, John. Tapi kalau tiba-tiba suatu hari nanti kamu berhadapan dengan seorang gadis yang benar-benar tulus dan polos, mungkin ceritanya bisa berbeda."
John hanya menghela napas, lalu menatap teman-temannya dengan senyum kecut, "Kalian ini, sudah cukup, ya. Aku yakin sekali kalau gadis muda polos itu bukan untukku."
Semua tertawa lagi, menikmati momen ringan itu, sementara John tersenyum penuh kepercayaan diri, meski entah bagaimana, ada sedikit keraguan samar yang sesaat terlintas di matanya. Di dalam hati ia berpikir, "Mana ada gadis semacam itu di zaman sekarang?" Tapi, apakah benar tidak ada?
Pikiran itu sejenak membuatnya terdiam. Hidupnya selama ini dipenuhi wanita dengan berbagai macam tujuan, entah untuk kemewahan atau kedudukan. John merasa sudah terbiasa dengan semuanya, sehingga gagasan tentang gadis muda yang tulus dan polos terasa seperti sesuatu yang terlalu naif. Namun, ia juga sadar, ada sisi kecil dalam dirinya yang tak sepenuhnya yakin.
Menatap teman-temannya yang masih tertawa, John berusaha menghilangkan bayangan aneh itu dari pikirannya. "Tidak ada gadis seperti itu lagi," gumamnya pelan, meski tetap tersenyum pada yang lain.
Usai pernikahan dan menerima ucapan selamat, Ello dan Diandra duduk berdua di halaman belakang rumah, menikmati sejenak ketenangan. Diandra menggenggam gelas teh di tangannya, lalu menatap Ello. "Aku... aku tak pernah membayangkan semua ini, Ell. Terima kasih, karena sudah mau mengambil risiko ini bersamaku."
Ello tersenyum tipis, menatapnya lembut. "Aku juga tak tahu apa yang menunggu kita ke depan, tapi aku tahu bahwa bersama-sama, kita bisa menemukan jawabannya."
Diandra mengangguk, merasa lebih tenang mendengar kata-kata Ello. Diandra dan Ello berbicara dengan suasana tenang tapi penuh arti. Ello menatap Diandra dengan tatapan hangat dan serius. "Diandra," ucapnya, menata kata-katanya dengan hati-hati, "aku ingin kita menjalani pernikahan ini dengan perlahan. Aku ingin kita saling memahami, saling mengerti, tanpa terburu-buru."
Diandra mendengarkan dengan seksama, dan senyuman tulus muncul di wajahnya. "Aku senang, Ello. Aku merasa lega dan bahagia mendengar itu. Memang butuh waktu, tapi aku siap untuk menjalani ini bersamamu."
Ello mengangguk, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, "Dan tentang tempat tinggal kita... Kalau kamu mau, kita bisa tinggal terpisah dari keluarga kecil Kak Zion. Kita bisa mulai membangun rumah kita sendiri, kalau itu yang kamu inginkan."
Diandra terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu, lalu menatap Ello dengan sorot mata yang tenang namun penuh keyakinan. "Aku nyaman berada di sini, Ell. Di rumah ini, aku merasa diterima, apalagi dengan kehadiran Ziel. Aku ingin Ziel tahu bahwa aku ada di sini untuknya."
Ello mengangguk dengan pengertian. "Aku mengerti, Diandra. Kamu tidak perlu khawatir. Kita bisa tetap tinggal di sini, dan kalau kamu berubah pikiran nanti, katakan saja. Aku ingin kamu merasa bebas menentukan hal itu."
Diandra tersenyum penuh haru. Rasa syukur dan kebahagiaan bercampur dalam hatinya, karena Ello bukan hanya mendengarkan, tapi juga menghargai pendapatnya. "Terima kasih, Ell. Aku merasa benar-benar dihargai."
Ello membalas senyum itu dengan lembut. "Sama-sama, Diandra. Aku juga merasa beruntung memiliki kamu di sampingku."
Diandra menghela napas panjang, merasakan ketenangan aneh yang menyelimuti hatinya, seolah ini adalah awal yang baru, bukan hanya untuk masa depannya, tapi juga untuk masa depan bersama Ello.
Perlahan, mereka mulai merasa ada harapan dan rasa saling percaya yang bisa tumbuh di antara mereka, bahkan jika semuanya diawali dengan kebingungan.
***
Setelah makan malam, Ziel terlihat sangat bahagia, senyumnya tak pernah lepas sejak Ello dan Diandra resmi menikah. Ia terus mengobrol dengan riang, menggambarkan rencana-rencana masa depan seolah ia sudah tahu persis apa yang akan terjadi. Zion, yang melihat wajah penuh kebahagiaan Ziel, tersenyum lembut. Zion meminta Ziel kembali ke kamarnya karena ingin membicarakan sesuatu dengan Ello dan Diandra. Bocah itu menurut dan bergegas kembali ke kamarnya.
“Ello, Diandra,” kata Zion sambil menyandarkan tubuhnya. “Sebenarnya aku ingin memberikan tiket bulan madu untuk kalian sebagai hadiah pernikahan.” Ia berhenti sejenak, wajahnya tampak serius. “Tapi aku belum yakin dengan situasi kita. Aku masih khawatir dengan insiden waktu itu. Belum ada kejelasan tentang siapa yang menyerang kalian. Aku tak ingin kalian dalam bahaya.”
Ello dan Diandra saling menatap sejenak, lalu tersenyum ke arah Zion. “Terima kasih, Kak. Kami mengerti kekhawatiranmu. Untuk saat ini, kami juga belum terlalu memikirkan soal bulan madu,” jawab Ello sambil mengangguk penuh rasa terima kasih.
“Benar, Kak Zion. Keselamatan Ziel dan semua orang di rumah ini jauh lebih penting bagi kami,” tambah Diandra dengan lembut, memberikan senyum tipis ke arah Zion dan Elin.
Malam semakin larut, dan akhirnya semua masuk ke kamar masing-masing. Ketika Ello dan Diandra tiba di kamar, mereka berdiri di depan pintu, merasa sedikit canggung. Diandra menyapu ruangan kamar Ello dengan pandangannya, sementara Ello berdiri di sampingnya, berusaha mengendalikan kegugupannya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued