Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelucon
Meeting besar hari itu berjalan dengan lancar. Annisa mempresentasikan desainnya dengan percaya diri di hadapan tim dan Swan, desainer terkenal dari luar negeri yang menjadi mentor mereka. Meskipun sebelumnya sempat gugup, dukungan Robert dan persiapan matang membuat Annisa tampil maksimal.
Swan, yang dikenal dengan kritik tajam dan ekspektasi tinggi, tampak serius selama presentasi berlangsung. Sesekali dia mencatat sesuatu di laptopnya, membuat Annisa sedikit tegang. Namun setelah Annisa selesai memaparkan idenya, Swan akhirnya berbicara.
"Annisa, desainmu sangat baik. Konsepnya segar, dan aku bisa melihat perhatian detail di setiap elemennya," kata Swan dengan nada tenang tapi tegas. "Tapi ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan."
Annisa mengangguk dengan hormat, siap mendengar masukan. "Tentu, Swan. Apa yang perlu diperbaiki?"
Swan menampilkan desain Annisa di layar besar, menunjuk pada beberapa bagian dengan laser pointer. "Aku ingin sedikit lebih banyak permainan tekstur di bagian ini, terutama untuk memberi kesan lebih dinamis. Dan di sini," dia menunjuk pada bagian tertentu, "warnanya bisa lebih kuat, lebih berani. Kita harus memastikan desain ini benar-benar standout, bukan sekadar bagus."
Annisa mendengarkan dengan seksama, merasa senang bahwa perubahan yang diinginkan Swan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Dia malah merasa tertantang untuk membuat desain itu lebih sempurna. "Tentu, Swan. Aku bisa menambahkan elemen tekstur di bagian tersebut, dan untuk warna, aku akan menguji beberapa opsi agar lebih berani. Saya sanggup menyelesaikan revisi ini dengan cepat."
Swan mengangguk, tampak puas dengan respons Annisa. "Bagus. Aku tahu kau bisa melakukannya. Ambil waktu yang kau butuhkan, tapi kita harus segera maju ke tahap berikutnya."
"Terima kasih atas masukannya, Swan. Aku akan langsung bekerja untuk menyelesaikannya," jawab Annisa dengan semangat.
Setelah meeting selesai, Robert mendekat dan menepuk bahu Annisa. "Kau luar biasa tadi! Swan hampir tidak punya banyak kritik, itu tanda kalau dia benar-benar suka."
Annisa tersenyum lega. "Aku senang semuanya berjalan lancar. Dan masukannya juga bagus. Aku bahkan merasa ide ini akan lebih hidup setelah revisi."
"Yah, seperti yang aku bilang, kau selalu bisa menghadapi tantangan. Aku tak sabar melihat hasil akhirnya," kata Robert dengan semangat.
Annisa merasa optimis. Hari itu meski dimulai dengan ketegangan di rumah, di kantor dia berhasil menunjukkan kemampuan dan ketekunannya. Di sini, dia merasa lebih diakui dan dihargai.
•••
Jam makan siang pun tiba, Annisa merapikan mejanya dan bersiap untuk beristirahat sejenak setelah pagi yang sibuk.
Hari itu cukup cerah, dan kebetulan sebuah kafe baru saja buka tidak jauh dari kantor mereka, menarik perhatian para karyawan untuk mencoba tempat baru tersebut. Annisa memutuskan untuk bergabung bersama Gina, Donita, dan Robert untuk makan siang di sana.
"Hey, sudah siap? Kafe baru itu katanya punya menu yang menarik," kata Gina dengan semangat sambil menghampiri meja Annisa. Gina, salah satu desainer senior, terkenal dengan gaya ceria dan ramahnya.
Annisa tersenyum sambil meraih tasnya. "Siap. Aku memang butuh suasana baru setelah meeting tadi."
Donita, yang sudah menunggu di dekat pintu, melambai. "Ayo! Aku sudah lapar. Katanya menu makan siangnya enak-enak."
Robert bergabung di belakang mereka, mengangkat alisnya sambil bercanda, "Jadi kita ke sana buat makan atau buat lihat desain interiornya? Kalian pasti bakal langsung analisis dekorasi kafe."
Mereka tertawa sambil keluar kantor bersama-sama, berjalan menuju kafe baru yang tak jauh. Sesampainya di sana, suasana hangat dan modern langsung menyambut mereka. Kafe tersebut memiliki desain minimalis dengan dominasi warna pastel dan tanaman hijau yang menenangkan, membuat tempat itu terasa nyaman untuk bersantai.
"Wow, tempat ini cantik juga," komentar Donita sambil melihat sekeliling.
Gina mengangguk setuju. "Betul. Cahaya alami yang masuk dari jendela besar itu benar-benar membuat tempat ini terasa luas."
Mereka memilih tempat duduk di sudut yang agak tenang, dengan jendela besar yang menghadap ke jalan. Setelah memesan makanan—Annisa memilih salad quinoa dengan jus jeruk segar, sementara yang lain memesan berbagai hidangan sehat—percakapan pun mengalir santai.
“Meeting tadi kelihatannya sukses besar, Annisa,” kata Gina, sambil menyeruput kopinya. “Aku lihat Swan benar-benar tertarik dengan desainmu.”
Annisa tersenyum malu-malu, merasa sedikit bangga. "Iya, untungnya dia hanya meminta beberapa perubahan kecil. Aku masih harus bekerja keras untuk menyempurnakannya."
Donita mengangguk setuju. "Swan memang selalu begitu. Kalau dia hanya memberi detail tambahan, itu artinya dia suka dengan konsep utamamu."
Robert menambahkan sambil tertawa kecil, "Yah, aku sudah bilang kan, kau selalu siap menghadapi tantangan. Selesai revisi, kau akan jadi bintang di proyek ini."
Annisa tersenyum, merasa didukung oleh teman-temannya. "Aku beruntung punya tim yang selalu mendukung. Rasanya jadi lebih ringan kalau semua bisa bekerja sama dengan baik."
Percakapan pun mengalir tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan, kafe-kafe favorit, hingga rencana akhir pekan. Mereka tertawa bersama, membicarakan hal-hal ringan, sementara hidangan yang mereka pesan datang satu per satu. Sesekali Annisa membiarkan pikirannya melayang, menikmati momen kebersamaan ini—tempat yang berbeda, teman-teman yang menyenangkan, dan suasana yang membuatnya bisa sejenak melupakan masalah-masalah di rumah.
Saat mereka menyantap makanan dan berbagi cerita, Annisa merasa bersyukur bisa memiliki waktu seperti ini. Di tengah kesibukan dan beban yang dia hadapi, makan siang bersama teman-teman di kafe baru ini menjadi pelarian kecil yang memberikan energi baru.
"Jadi, kapan kita balik lagi ke sini?" tanya Donita sambil tersenyum setelah makanan habis dan perut mereka kenyang.
Robert mengangkat gelas kopinya, "Besok juga boleh. Tempat ini cocok buat jadi markas makan siang."
Annisa tertawa. "Kalau makan di luar terus, kita bisa habis gaji buat kafean."
Mereka semua tertawa, lalu beranjak kembali ke kantor dengan perasaan yang lebih ringan, siap menghadapi sisa hari yang masih panjang.
Saat mereka hendak keluar dari kafe, Annisa tiba-tiba terhenti sejenak. Dari sudut matanya, dia melihat seseorang yang familiar.
Seorang pria dengan postur tubuh yang sangat mirip dengan Damian baru saja masuk ke kafe. Dia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, tampak seperti biasa—berwibawa dan berkelas. Namun yang membuat Annisa lebih terkejut adalah wanita yang bersamanya. Wanita itu tampak sangat menarik, dengan pakaian kantoran yang elegan namun tetap terlihat feminin dan seksi. Rambutnya tertata sempurna, dan dia berjalan di samping pria itu dengan percaya diri.
Annisa merasa dadanya berdegup kencang, dan untuk beberapa detik, dia hanya bisa berdiri mematung, berusaha memastikan apa yang dilihatnya. Apakah benar itu Damian? Tapi sebelum dia bisa melihat lebih jelas, pria itu sudah menghilang ke dalam kerumunan pengunjung kafe, berjalan ke arah yang berbeda dari pintu keluar.
"Annisa, kau tidak apa-apa?" suara Robert membuyarkan lamunannya. Dia dan yang lain sudah bersiap untuk keluar, namun Annisa masih berdiri di tempatnya.
Annisa tersentak, lalu tersenyum canggung. "Ah, ya... Aku hanya merasa seperti melihat seseorang yang kukenal. Tapi mungkin aku salah lihat," jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Teman-temannya tak curiga dan melanjutkan langkah keluar kafe, sambil bercanda dan mengobrol seperti biasa. Annisa mengikuti di belakang, tapi pikirannya masih tertinggal di dalam kafe, bertanya-tanya apakah pria tadi memang Damian, dan siapa wanita itu. Namun, dia menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa mungkin itu hanya kebetulan, dan bisa saja pria itu bukan Damian.
Di tengah keramaian rekan-rekannya, Annisa kembali menyadari bahwa mereka tak tahu siapa dia sebenarnya—istri seorang CEO kaya raya yang penuh dengan masalah rumit di balik hubungan mereka. Bagi Gina, Donita, dan Robert, Annisa hanyalah seorang desainer berbakat yang bekerja keras seperti mereka. Tanpa tahu tentang kehidupannya yang sebenarnya tersembunyi di balik sikap tenangnya.
Annisa mencoba untuk menghilangkan perasaan tak nyaman yang muncul setelah melihat pria yang mirip Damian tadi. Dia menebalkan senyumnya, kembali berbaur dengan teman-temannya yang masih bercanda sambil berjalan keluar kafe.
"Annisa, kau tadi kayak ngelihat hantu," ledek Donita sambil tertawa. "Atau jangan-jangan kamu lihat mantan?"
Annisa tertawa kecil, meski dalam hatinya sedikit tergelitik oleh pertanyaan itu. "Hah, enggak kok! Mana ada mantan yang mau nongkrong di sini. Lagipula, kalaupun ada, aku pasti pura-pura nggak lihat."
Robert, yang selalu suka ikut menggoda, langsung menimpali, "Hmm, mantan yang nongkrong di kafe mahal? Pasti mantannya sultan. Tunggu, jangan-jangan kamu sembunyiin pacar rahasia, nih?"
Annisa tertawa, berusaha menutupi kegugupannya. "Pacar rahasia? Kalau aku punya pacar rahasia, dia pasti udah kesal karena aku sibuk kerja terus."
Gina, yang tertarik dengan percakapan ini, ikut menambahkan. "Atau jangan-jangan kamu pacaran sama bos? Wah, seru nih kalau gitu!"
Annisa hampir tersedak mendengar itu, tapi dia cepat-cepat menguasai diri. "Bos? Yang benar saja! Aku lebih suka pacaran sama kopi daripada sama bos," katanya sambil tersenyum, meski dalam hati ada rasa cemas mengingat siapa sebenarnya suaminya.
Robert tertawa keras. "Wah, kalau kopi jadi pacar, aku rasa hubungan kalian nggak bakal berhasil. Kau bakal selingkuh sama teh, atau lebih parah lagi, sama minuman kesehatan hijau yang rasanya kayak rumput."
"Hey, jangan hina green juice!" Donita membela diri. "Green juice dan aku udah punya hubungan spesial. Bukan karena suka, tapi karena terpaksa."
Annisa ikut tertawa mendengar candaan itu. "Kalau gitu, aku setia sama kopi saja. Kopi itu nggak pernah mengecewakan."
"Tepat sekali!" Gina menyetujui sambil mengangkat kopinya yang tinggal setengah. "Nggak ada yang bisa ngalahin cinta kita pada kafein."
Percakapan mereka mengalir dengan penuh tawa, membuat Annisa merasa lebih tenang. Meskipun pikirannya masih terselip di kafe tadi, dia berhasil menyembunyikannya di balik lelucon dan obrolan santai.
"Aku sih setuju sama Annisa," ujar Robert sambil memegang dagunya, berpura-pura berpikir serius. "Pacaran sama bos itu nggak mungkin. Coba bayangin, kalau kau pacaran sama bos, terus tiap meeting ditanya, ‘Kenapa desainnya kurang bagus?’ Jawabannya pasti: ‘Ya karena aku lagi kesal sama kamu!’"
Semua tertawa terbahak-bahak mendengar itu, dan Annisa ikut tertawa walau dalam hatinya, dia merasa sedikit getir karena kenyataan hidupnya memang lebih rumit daripada lelucon itu.
"Untung aja kita nggak pacaran sama bos," tambah Gina, masih terkikik. "Bisa-bisa gaji kita dipotong tiap kali ada drama!"
Annisa hanya tersenyum, berterima kasih dalam hati karena teman-temannya masih tak tahu apa yang sebenarnya dia simpan. Hari ini, lelucon dan tawa mereka cukup untuk memberinya pelarian sementara dari dunia yang penuh rahasia yang dia jalani.