Reyn Salqa Ranendra sudah mengagumi Regara Bumintara sedari duduk di bangku SMA. Lelah menyimpan perasaannya sendiri, dia mulai memberanikan diri untuk mendekati Regara. Bahkan sampai mengejar Regara dengan begitu ugal-ugalan. Namun, Regara tetap bersikap datar dan dingin kepada Reyn.
Sudah berada di fase lelah, akhirnya Reyn menyerah dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Pada saat itulah Regara mulai merindukan kehadiran perempuan ceria yang tak bosan mengatakan cinta kepadanya.
Apakah Regara mulai jatuh cinta kepada Reyn? Dan akankah dia yang akan berbalik mengejar cinta Reyn?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Banyak Bicara
Di perjalanan mengantarkan Reyn pulang, Rega tak membuka suara sedikit pun. Dia membiarkan keadaan hening karena dia tahu Reyn bukan orang yang suka untuk dipaksa bercerita. Apalagi wajah Reyn yang terlihat datar seperti ada yang dia pendam.
Mobil berhenti di depan hunian megah. Rega tak akan terkejut karena dia tahu siapa seorang Restu Ranendra, yang tak lain adalah menantu Raditya Addhitama. Wanita yang dia nikahi pun adalah cucu dari penerus kedua Wiguna Grup.
Tangan Reyn sudah hendak membuka pintu, tapi Rega mencekalnya dengan lembut. Reyn pun menoleh ke arah Rega yang sudah menatapnya.
"Makasih sudah rawat aku seharian ini."
Begitu tulus kalimat tersebut. Senyum kecil Reyn berikan
"Makasih, udah anterin aku pulang."
Rega pun mengangguk dengan senyum yang terukir begitu manis.
"I love you."
Mata Reyn tak berkedip mendengar ucapan lelaki yang tengah menatapnya.
"I love you so much," ucapnya lagi.
Reyn tak menjawab apapun. Dia mulai memalingkan wajahnya dan segera keluar dari mobil. Tak dijawab lagi, tapi tak membuat Rega sakit hati.
"Aku akan mengatakan itu sampai kamu muak mendengarnya, Reyn. Karena emang secinta itu aku kepada kamu."
Sorot lampu mobil di depannya sangat menyilaukan. Dahi Rega mengkerut ketika melihat seorang pria turun dari mobil tersebut. Ketika dia tahu siapa orang itu, Rega pun segera turun.
"Malam, Pak Restu."
Tatapan tajam papi Restu berikan. Tangannya sudah dia lipat di depan dada. Wajah datarnya menambah aura sangar.
"Masih berani kamu?" sergahnya dengan penuh penekanan.
"Saya akan terus maju, Pak. Reyn adalah wanita yang sedang saya perjuangkan. Saya akan terus mengejarnya walaupun dia terus pergi menjauh. Saya tak akan mundur dan tak akan lelah, Pak. Cinta saya sudah habis untuk putri Bapak."
Papi Restu mengangkat tipis bibirnya. Langkahnya sudah mendekat. Jantung Rega berdegup hebat. Lagi dan lagi papi Restu menarik kerah kemeja Rega. Mencoba untuk tenang padahal hatinya sudah tak karuhan.
"Apa luka ini kurang?"
Tangan Papi Restu sudah menekan luka lebam yang ada di wajah Rega dengan cukup keras. Sekuat tenaga dia menahannya karena sakitnya bukan main.
"Kalau Pak Restu mau menambahnya lagi pun saya tak keberatan, Pak. Saya memang berhak mendapatkan perlakuan seperti itu karena sudah sangat jahat menyakiti hati putri Bapak."
Rega menjawab tanpa adanya keraguan. Dia harus menerima konsekuensi dari perbuatannya.
"Lakukanlah, Pak! Jika, itu mampu menebus kesalahan saya terdahulu."
.
Langit menyunggingkan senyum sinis ketika dia mendapat data tentang lelaki yang bersama Reyn.
"Kalangan bawah," ejeknya karena melihat jabatan Rega di Wiguna Grup.
"Lu gak akan bisa bersaing dengan gua," gumamnya dengan penuh kecongkakan.
Hampir tengah malam Langit datang ke apartment Abang Er. Lelaki dingin dan tanpa ekspresi itu berdecak begitu kesal didatangi Langit.
"Lu buta waktu?"
Setua apapun umur Langit, Abang Er tak pernah memanggilnya dengan embel-embel kakak, Abang, Mas, aa atau yang lainnya.
"Gua mau nunjukin sesuatu."
Data tentang Regara Bumintara Langit berikan. Baru dua detik kertas berisi informasi itu dipegang, Abang Er sudah melemparnya.
"Gak penting."
Langit tersenyum penuh kemenangan. Dia merasa berada di atas angin melihat respon kakak dari Reyn.
"Dia beda kasta sama keluarga lu, Zan. Dia--"
Abang Er menarik kerah kaos yang Langit gunakan. Menariknya keluar dan itu membuat mata Langit melebar.
"Gua gak suka sama manusia yang gak tahu waktu."
Pintu unit apartment pun segera dia tutup. Langit pun tercengang ketika mendapat perlakuan sedikit kasar dari Abang Er.
.
Dahi Rega mengkerut ketika dia yang baru selesai membersihkan tubuh mendapat pesan dari nomor tak dikenal.
"Gua ingin bicara empat mata sama lu. Temui gua besok di jam tiga sore."
Rega menukikkan kedua alisnya ketika membaca pesan tersebut. Dibukanya foto profil nomor tersebut, dan Rega pun tersenyum tipis.
Rega bukan pecundang, dia menerima ajakan dari Langit ingin bertemu. Reyn mengerutkan dahinya ketika melihat Rega sudah berkemas di jam dua siang. Dia ingin menanyakan, tapi dia urungkan. Dia tak ingin ikut campur urusan managernya itu.
"Aku keluar dulu, ya. Kalau udah waktunya pulang dan kerjaan kamu belum selesai, tinggal aja."
Reyn hanya memberikan sebuah anggukan. Tubuhnya menegang ketika ujung kepalanya diusap penuh kelembutan.
"Love you."
Senyum yang tetap sama Rega berikan untuk Reyn. Respon yang sama juga Reyn berikan atas ungkapan cinta Rega.
Di sebuah restoran mahal, Langit dan Rega bertemu. Rega sudah mengulurkan tangan kepada Langit, tapi sama sekali tak Langit sambut. Rega pun hanya tersenyum.
"Ada perlu apa?" Rega sudah membuka percakapan lebih dulu.
"Apa ini masalah semalam?" tebak Rega.
Langit pun berdecih. Dia yang sedari tadi menyilangkan kaki, mulai menurunkan kakinya dan menatap Rega dengan sangat tajam.
"Jangan pernah bermimpi untuk menjadi kekasih Reyn," ucapnya penuh kesombongan.
"Ngaca! Siapa lu? Apa pantas anak seorang tukang roti mencintai anak konglomerat negeri ini?"
Langit begitu merendahkan Rega. Bahkan, dia membawa pekerjaan Bu Gendis. Sedangkan Rega meresponnya hanya dengan seulas senyum.
"Minimal lu tahu diri," tekan Langit.
"Gak akan mungkin mereka mau menerima lu yang hanya manager keuangan yang gajinya gak ada seujung kuku kekayaan pribadi Reyn. Mau dikasih makan apa Reyn nantinya?"
Langit benar-benar merendahkan Rega. Mulutnya begitu lancar mengeluarkan kata-kata yang tak seharusnya keluar dari mulut seorang dokter.
"Sudahi mimpi lu dan pergi jauh dari hidup Reyn. Lu cuma akan membawa pengaruh buruk untuknya."
Melihat Rega yang tak berkutik membuat Langit semakin merasa di atas angin. Apalagi Rega terlihat menerima semua yang dikatakan olehnya.
"Saya memang miskin, tapi saya masih memiliki adab dalam berbicara." Akhirnya, Rega membuka suara.
"Orang berpendidikan tinggi seperti Anda harusnya memiliki adab yang baik. Tapi, sayangnya Anda sama saja seperti manusia zaman sekarang. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki semakin minim adab. Merasa paling benar dan selalu membenarkan apa yang dikatakan."
Rega bukan manusia yang banyak bicara, tapi sekalinya dia bicara lawan bicaranya akan terbungkam dengan apa yang dia katakan. Wajah Langit sudah mulai memerah. Tak terima dengan semua yang diucapkan oleh Rega.
"Jangan terlalu percaya diri, biasanya dia yang lebih dulu pamit undur diri."
Dada Langit sudah turun-naik mendengar Perkataan Rega begitu pedas dan hampir sama dengan kedua saudara Reyn. Namun, Rega tak memberikan celah untuk Langit berbicara.
"Berhentilah bersikap seolah Reyn mencintai Anda. Pada nyatanya, uluran tangan sayalah yang Reyn sambut. Apakah Anda masih tak sadar diri juga?"
"Bang Sat!!!"
Rega pun tersenyum. Lalu, berdiri. Satu kalimat terucap sebelum dia pergi.
"Pria sejati tidak akan banyak bicara. Tapi, cukup dengan menunjukkan effort yang luar biasa."
...*** BERSAMBUNG ***...
Yok dikomen!