Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
Antonio membopongku di satu tangannya dan tangan yang lain mengambil sepatu kananku. Antonio membantuku duduk di tempat tidur dan pergi ke kamarnya untuk mengambil minyak urut.
Ketika kembali ke kamarku, dia mulai mengurut kakiku dengan perlahan. Awalnya terasa sakit namun semakin lama terasa membaik. Aku baru tahu kalau Antonio mahir mengurut.
“Bagaimana ?”tanya Antonio.
“Sudah enakan. Hebat juga kamu, makasih ya,”ucapku sembari membenarkan rok pendekku yang lumayan tersingkap karena posisi dudukku di atas tempat tidur dan Antonio duduk di lantai memijat pergelangan kakiku.
Antonio sepertinya menyadari kekikukanku dan lalu berdiri, mengambil kursi dan duduk di depanku. Matanya tidak lepas menatapku membuatku semakin kikuk dan salah tingkah. Aku merasa gerah ditatap seperti itu olehnya.
Tiba-tiba saja Antonio memegang tanganku. Diremasnya tanganku lalu mendekatkan wajahnya kearahku dan mengecup bibirku. Aku tersentak, namun tubuhku seolah tak berdaya menolak. Kedua tangan Antonio memegang kedua pipiku, lalu melumat bibirku dengan penuh hasrat. Kurasakan tubuhnya menghangat dan lagi-lagi aku merutuk diriku sendiri yang bukannya menolak, tetapi justru menikmati membalasnya.
Ciuman Antonio membakarku, namun tiba-tiba saja dia menghentikannya dan berlari keluar kamarku. Aku terkejut dengan sikapnya, namun aku tahu dia berusaha menahan dirinya.
Selesai mandi kulihat ada pesan di ponselku. Dari Antonio.
“Neta, maafkan aku. Tapi aku ingin kamu tahu, meski ini tak pantas kukatakan, tetapi aku sungguh masih mencintaimu. Aku sangat merindukanmu. Aku sangat kesepian sejak kita putus. Maafkan aku atas apa yang kulakukan tadi. Itu terjadi karena aku begitu menginginkanmu, namun aku sadar, aku tidak punya hak untuk itu. Aku melihatmu tadi makan malam dengan seorang lelaki. Kamu tertawa lepas dan bahagia. Aku senang melihatmu bahagia, namun aku juga cemburu melihat lelaki itu bisa membuatmu seperti itu. Tapi aku mohon, jangan menghindariku, jika lelaki itu adalah pilihanmu, aku tidak akan mengganggu. Hanya saja, ijinkan aku tetap menjadi seseorang di sampingmu. Menjadi pelindungmu.”
Hatiku campur aduk membaca pesannya. Tidakkah kamu tahu An, kalau aku juga sangat menginginkanmu, ucapku dalam hati. Dan aku menyambar minyak urut yang ditinggalkan Antonio, keluar dari kamarku, naik ke lantai tiga dengan jalan masih pincang dan mengetuk pintu kamar Antonio.
Antonio keluar dan dia terkejut melihatku di depan pintu, dengan kaus oblong putih ketat, celana hitam pendek, sendal kamar dan botol minyak urut di tangan.
“Kakiku masih sakit, tolong urut lagi,”ucapku dan kulihat matanya memerah.
Sepertinya Antonio sudah menenggak alcohol di kamarnya. Dan benar saja begitu masuk aku melihat minuman alcohol itu disisi tempat tidurnya.
Tanpa disuruh, aku duduk di tempat tidurnya, menaikkan kakiku yang sakit. Dalam diam, Antonio mengeluarkan sedikit minyak dari botolnya dan mulai mengurut kakiku dengan perlahan.
“Seharusnya kamu tidak mengirimiku pesan itu. Seharusnya kamu mengucapkan itu langsung padaku.”ucapku tegas.
Antonio diam dan tetap mengurut kakiku dengan tatapan menunduk. Aku kesal, kutenggak botol minuman di meja di samping tempat tidurnya. Antonio kaget dan berusaha menghentikanku. Tenggorokanku terasa terbakar karena tiba-tiba dialiri alcohol tanpa campuran. Dan bodohnya aku tersedak.
Antonio bergerak ke sampingku dan menepuk-nepuk punggungku. Aku terbatuk-batuk. Setelah batukku hilang, kuarahkan wajahku kepadanya.
“Aku ingin tahu bagaimana perasaanku padamu saat ini, jadi ulangi yang sudah kamu lakukan tadi,”perintahku sambil menatap wajahnya yang memerah.
“Jangan, An. Aku takut tidak bisa mengendalikan diriku. Aku sangat merindukanmu,”kata Antonio dengan sendu.
“Maka ketika aku menyuruhmu berhenti, disitulah kamu harus berhenti. Lakukan An, aku sungguh ingin tahu bagaimana perasaanku sebenarnya padamu.”
Antonio menatapku dan kubalas dengan tatapan menantang. Kuhadapkan dan kudekatkan tubuhku ke arahnya, kuikat rambutku ke atas untuk menunjukkan jenjangnya leherku. Dan dengan spontan, dia meraih wajahku dan kembali melumat bibirku dengan penuh kerinduan. Aku membalas ciumannya seraya mengalungkan kedua tanganku di lehernya. Tangan Antonio memeluk pinggangku lalu menjatuhkanku ke atas tempat tidurnya. Tubuhnya kini berada diatasku tanpa jarak. Dari bibir, ciumannya turun ke leherku. Dengan nafas memburu, dia menjelajahi leherku dengan lembut, tangannya mulai masuk ke dalam kausku dan membelai dadaku. Tanpa kusadari, kaus oblongku sudah tersingkap dan bibir Antonio sudah menjelajahi dadaku. Aku menggigit bibirku menahan hasratku.
Seumur hidup aku belum pernah melakukan hal seperti ini dengan pria. Bahkan ketika berpacaran dengan Antonio dulu, yang kami lakukan hanya sejauh ciuman kening dan kecupan ringan di bibir. Bagaimanapun Antonio sudah pernah jadi suami, dia pasti sudah mahir melakukan hal seperti ini. Dan meski dia mengaku tidak mencintai almarhum istrinya, namun mereka tetap melakukan hubungan selayaknya suami istri.
Pemikiran ini menyentakku, yang kurasakan adalah nafsu birahi, keinginan daging, bukan cinta kepada Antonio. Dan pemikiran ini menyadarkanku aku harus menghentikan ini. Ketika aku berhasil mengembalikan kendali atas diriku, Antonio telah menahan tanganku ke atas menggunakan kedua tangannya. Tubuhnya kini berada di atasku dan aku dapat merasakan bagian tubuhnya yang mengeras. Ini saatnya berhenti.
“Hentikan, An.”kataku dengan marah.
“Kenapa, Neta? Kamu tidak menginginkanku?”tanyanya dengan nafas memburu.
“Tidak.”jawabku tegas. Antonio terlihat terkejut, namun dia segera melepaskan tanganku dan menarik tubuhnya dari atasku.
Aku duduk lalu merapikan baju dan rambutku.
Antonio telentang di atas tempat tidurnya, memijit kepalanya sendiri.
“Aku kembali ke kamarku, An. Besok kita bicara lagi ya,”ucapku dan berlalu keluar dari kamarnya.