Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meninggalkan Semuanya
"Mama?" Sebuah suara membuyarkan lamunan Riani, membuat perempuan paruh baya itu buru-buru menghapus air matanya, lalu segera memasukkan pigura foto di tangannya ke dalam koper.
"Mama sedang apa?" Larisa yang sebelumnya menyapa dari ambang pintu, kini mendekati Riani.
"Mama sedang membereskan pakaian. Apa pakaianmu juga sudah dibereskan?" Riani balik tertanya pada Larisa. Sebisa mungkin dia menyembunyikan kesedihan yang sedang dirasakannya saat ini.
Larisa mematung sejenak. Dia tahu kalau saat ini mereka sudah tak dibutuhkan lagi di rumah ini dan mesti pergi secepatnya. Namun, tidak hari ini juga, kan? Bukankah semuanya mesti dipersiapkan terlebih dahulu?
"Apa kita mesti pergi hari ini juga, Ma?" Sekali lagi Larisa bertanya.
"Iya. Lebih cepat lebih baik," sahut Riani.
"Kalau kamu belum beres-beres, biar Mama saja yang membereskan pakaianmu," ujar Riani lagi sembari bangkit dan berlalu meninggalkan Larisa yang masih tertegun.
Sesaat kemudian, Larisa pun tersadar dan segera menyusul sang mama keluar dari kamar. Dia bergegas masuk ke dalam kamarnya sendiri dan langsung mendapati Riani sedang memasukan pakaiannya ke dalam koper juga.
"Ma, aku tahu kalau kita mesti pergi dari sini secepatnya, tapi tidak harus hari ini juga, kan? Aku bahkan belum sempat mencari tempat tinggal baru untuk kita," ujar Larisa kemudian menginterupsi.
"Tidak perlu mencati tempat tinggal baru. Kita akan pulang ke rumah lama kita," sahut Riani tanpa menghentikan apa yang sedang dilakukannya.
"Rumah lama kita?" ulang Larisa.
"Iya."
Larisa tertegun sejenak. Ingatannya langsung tertuju pada rumah tua yang dulu pernah menjadi menjadi tempat tinggalnya saat dirinya masih kecil. Rumah di mana dia sering menyaksikan sang mama dipukuli oleh ayah kandungnya.
"Ki-kita tidak harus kembali ke sana, Ma," ujar Larisa dengan agak bergetar.
"Kita akan kembali ke sana, Risa. Rumah itu adalah tempat asal kita, satu-satunya harta kita yang sesungguhnya," sahut Riani sembari menoleh ke arah putrinya itu.
Tatapan Larisa berubah menjadi sangat sendu. Dia benar-benar merasa bersalah karena mesti membawa Riani menempuh kesulitan di saat usia mamanya itu sudah tak muda lagi seperti sekarang. Andai dia tak mengacaukan segalanya, sang mama pasti akan hidup nyaman sampai akhir hayat nanti.
"Maafkan aku, Ma. Semua ini salahku," gumam Larisa kemudian dengan emosional.
"Karena keserakahanku, Mama juga harus menerima imbasnya. Andai dulu aku tidak tergoda untuk menjalin hubungan dengan Erick. Andai aku bisa mengendalikan perasaanku dan bertindak lebih bijak ...."
"Tidak, Risa. Mama yang harusnya minta maaf." Riani mendekati putrinya itu dan menyentuh pipinya dengan lembut. "Mama yang bersalah padamu."
Larisa menggeleng pelan.
"Tidak, Ma ...."
"Karena keegoisan Mama, kamu harus menahan semuanya. Mama tahu kalau selama ini kamu tertekan, tapi karena Mama sudah terlanjur menyayangi Papa dan Lita, Mama hanya menutup mata saja. Mama pikir itu sebanding dengan semua kemewahan yang kamu dapatkan dari Papa. Mama mengesampingan fakta jika kamu banyak menderita ...."
Riani menghela nafasnya sejenak.
"Selama ini, Mama hanya fokus pada Lita saja dan mengabaikan kamu. Mama membiarkan kamu tumbuh dewasa sendirian dan tidak pernah mengulurkan tangan padamu. Bahkan kalau sekarang kamu membenci Mama, semua itu bukan salahmu, Risa ...."
"Mama bicara apa? Mama satu-satunya yang aku miliki di dunia ini. Bagaimana mungkin Mama berpikir kalau aku akan membenci Mama?" Larisa memeluk Riani dan tak kuasa menahan tangisnya.
Riani membalas pelukan Larisa dan mengusap lembut punggung putrinya itu. Entah kapan terakhir kali dia melakukan hal tersebut, karena sejak dia menginjakkan kaki di kediaman Arfan, hanya Lalita saja tempatnya mencurahkan semua kasih sayang. Awalnya, semua itu dia lakukan hanya untuk membalas budi, tapi lama-kelamaan, dirinya menikmati peran sebagai ibunya Lalita dan benar-benar menyayangi putri suaminya itu, bahkan lebih dari dia menyayangi putri kandungnya sendiri.
"Bersiap-siaplah, setelah itu kita langsung pergi," ujar Riani kemudian sembari mengurai pelukannya.
Larisa menyeka air matanya sejenak.
"Kita tidak menunggu Papa kembali dulu?" tanyanya.
"Tidak perlu," sahut Riani sembari berusaha untuk menahan agar air matanya tak kembali jatuh. "Akan lebih baik kalau kita pergi sebelum dia kembali ...."
Larisa tak mengatakan apapun lagi. Dia tahu kalau Riani memendam perasaan untuk Arfan sejak lama. Mungkin memang lebih baik mereka pergi sebelum lelaki itu pulang karena akan jauh lebih mudah untuk Riani.
"Baiklah, Ma. Mari kita pergi," ujar Larisa kemudian.
Riani mengangkat wajahnya dan menatap sang putri sejenak.
"Risa, saat kita pergi, kita tidak akan membawa apapun dan benar-benar melepas semuanya. Sudah pasti kita akan hidup kekurangan seperti saat kamu kecil dulu, karena semua yang kita nikmati selama ini memang bukan milik kita," ujar Riani mengingatkan.
"Aku tahu, Ma. Tidak apa-apa," sahut Larisa sembari berusaha tersenyum.
Riani juga berusaha tersenyum meskipun matanya tak ayal tetap mengembun. Ibu dan anak itu kemudian mengambil koper masing-masing dan pergi meninggalkan kediaman mewah Arfan hanya dengan membawa beberapa helai pakaian saja.
Sementara itu, di sebuah tempat, Arfan tampak baru saja menerima telepon dari salah seorang pelayan di rumahnya. Dia mendapatkan laporan jika Riani dan Larisa telah pergi meninggalkan rumahnya beberapa saat tadi. Lelaki itu pun segera kembali ke rumah dan memeriksa apa saja yang dibawa oleh kedua perempuan itu, mengingat mereka dulu setuju ikut Arfan karena iming-iming hidup enak sebagai orang kaya dan terpandang.
Arfan merasa curiga karena Riani dan Larisa memilih pergi saat dirinya sedang tidak berada di rumah. Bukankah itu artinya mereka sengaja mencari waktu yang tepat agar leluasa membawa apa saja? Namun, semua prasangka buruk yang semula memenuhi kepala Arfan langsung menguap begitu saja saat lelaki itu memeriksa kamar Larisa dan Riani.
Semua barang-barang berharga yang pernah Arfan berikan pada Riani masih tersimpan rapi di tempatnya. Pakaian, tas dan sepatu branded milik Riani dan Larisa masih tersusun rapi di rak-rak lemari kaca yang tersedia. Koleksi perhiasan mahal milik Riani yang diberikan oleh Arfan juga masih utuh, tak berkurang satu pun. Bahkan, semua ijazah sekolah milik Larisa mulai dari sekolah dasar sampai ijazah kuliah, semuanya ditinggalkan begitu saja.
Arfan duduk di pinggiran tempat tidur dengan perasaan yang tak dapat dijabarkan. Tangannya tampak menggenggam erat kartu kredit milik Riani dan Larisa yang juga ditinggalkan oleh kedua perempuan tersebut. Sepertinya tak ada yang dibawa oleh mereka selain hanya beberapa lembar pakaian sehari-hari.
Tanpa sadar Arfan menghela nafasnya cukup dalam. Dia tak tahu harus merasa bagaimana. Mestinya dia senang karena Riani dan Larisa tahu diri dengan pergi tanpa membawa apapun, tapi entah mengapa perasaannya malah menjadi buruk. Sejak awal, Arfan memang bukan orang baik dan sanggup melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Namun, untuk pertama kalinya perasaan bersalah merayap di sudut hatinya, meski amat sangat samar.
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/