Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, malam itu adalah pertama kalinya Abi membentak Zahra supaya putrinya itu menikah dengan anak Kyai Amir, Gus Afkar. Padahal Gus Afkar adalah suami incaran sahabatnya, dan dia sebenarnya berencana untuk lanjut S-2 dulu.
Setelah pengorbanannya, ia harus menghadapi sikap sang suami yang tiba-tiba berubah dingin karena setelah akad nikah, dia mendengar rencana Zahra yang ingin menceraikannya. Belum lagi, reputasi pondok yang harus ia jaga.
Mampukah Zahra bertahan diantara orang-orang yang punya keinginan tersendiri padanya? Dan akankah ia dapat mempertahankan rumah tangganya?
Zahra sang anak kesayangan keluarga, benar-benar ditempa dalam lingkungan baru yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nur Halimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dek!
“Eh, ada Ning Zahra,” ucap Ning Alfiyah menyambut Zahra yang baru saja masuk dari pintu belakang.
Zahra hanya tersenyum menghampirinya.
“Dari tadi, aku tidak kelihatan Ummi, biasanya jam segini beliau kan suka keliling-keliling,” tanya Zahra heran.
“Oh Ummi, lagi istirahat di kamar. Katanya kurang enak badan,” jawab Ning Alfiyah.
“Saya berangkat kuliah dulu Ya Ning, Assalamualaikum!” lanjutnya sambil meraih beberapa jajanan pasar yang ada di meja.
“ Waalaikumsalam, hati-hati!” ucap Zahra sambil memandang adik iparnya itu berbalik ke depan sekalian .ia melangkah pergi ke kamar ibu mertuanya..
“Apa kalian baik-baik saja?”
Terdengar suara Ummi agak khawatir.
‘ummi sama siapa?’ tanya Zahra dalam hati penasaran.
“Kami baik-baik saja, Ummi.”
‘Gus Afkar’
Zahra mulai bertanya-tanya jangan-jangan Ummi menyadari ketidakharmonisan rumah tangganya.
“Memang terkadang ada pertengkaran kecil, tapi seperti kata Ummi itu bumbu pernikahan.”
Zahra tertegun mendengar ucapan suaminya tersebut.
“Ning Zahra itu wanita modern, berpendidikan. Jangan terlalu menuntutnya macam-macam. Seng suka ngalah Gus, pokoknya itu tak berhubungan dengan akidah dan aturan Allah, kamu jadi orang yang fleksibel.”
Zahra menghela napas panjang, tak ada suara terdengar dari lelaki itu.
Ia merasakan betapa sabarnya suaminya. Ia yang berulah, suaminya yang dituduh. Tapi tak terdengar pembelaan keluar dari mulut sang suami.
“Dulu Ummi gimana sama abi, mungkin Afkar bisa mengambil pelajaran,”
“Abimu itu lelaki luar biasa. Dia menyukai Ummi sejak aliyah, tapi tidak pernah bilang. Gak kayak anak sekarang, dikit-dikit bilang sayang, padahal belum halal. Kamu jadi pengurus dan calon pengasuh pondok, yang observatif dan tegas, jangan sampai karakter santri kita rusak karena godaan sesaat.”
“Ya Ummi, in sya Allah.”
Sekali lagi tak ada kata pembelaan terdengar keluar dari mulut Gus Afkar.
“Kok tidak masuk, Ning?”
‘Aba Kyai’
Zahra langsung memasang wajah tersenyum dan menoleh kepadanya, “ Nggih Aba.”
“Ayo masuk, Ummi pasti senang disambang menantu tersayangnya,” ajak Kyai Amir sambil memintanya masuk duluan.
Zahra memandang suaminya yang terlihat memijat kaki ibunya itu, padahal ia sendiri saja sebagai perempuan, bahkan tidak pernah memijat umminya sendiri.
Lelaki itu tampak tersenyum menoleh padanya dan abinya, kemudian bangkit. Ia mengangkat kursi rias Ummi menuju samping ranjang ibunya itu untuk duduk sang Abi, dan mempersilahkan Kyai Amir duduk di sana.
“Duduk disini, Nduk,” ucap Ummi Aminah memintanya duduk di sebelahnya.
Zahra menatap suaminya.
Lelaki itu tampak mengerjapkan matanya.
Akhirnya, ia duduk di samping ummi Aminah.
“Ummi sakit apa, apa mau Zahra panggilkan dokter?” tanya Zahra pada mantan bu Nyainya itu.
“Ndak usah, tadi Ummi sudah minum madu sama habbat, ini juga sudah enakan. Kamu tidak usah khawatir, Ummi hanya kecapekan,” ujar Ummi Aminah sambil tersenyum sayu.
“Maaf ya, Ummi Abi, Afkar pamit dulu,” sela suaminya itu.
‘Mau kemana kamu, Gus?’ toleh Zahra tanpa berani bertanya.
“Sebentar, mumpung ada Zahra juga disini, duduklah sebentar, ada yang mau Abi diskusikan.”
“Nggih,” jawab suaminya menyanggupi sambil duduk dibawah kaki Umminya.
“Ini Abi kan diminta ngisi kajian di Semarang dua hari lagi, dan Abi sudah menyanggupi. Tapi melihat kondisi Ummi yang seperti ini, sepertinya tidak mungkin Abi ninggal,” ujar Kyai Amir.
“Maksud Abi?” tanya Gus Afkar penuh perhatian.
“Ini tadi Abi sudah menghubungi mereka. Lha dalah! lah kok mereka minta Gus untuk menggantikan Abi,” lanjut Aba Kyai itu.
“Baik, Abi.”
“Maksud Abimu, ajak Zahra. Kalian kan belum pernah…., apa itu namanya? Eh…”
Zahra dan Gus Afkar saling berpandangan, berusaha memahami maksud Ummi.
“Honeymoon, Ummi,” sela Kyai Amir mengingatkan.
Zahra langsung menunduk tersenyum malu.
“Nah itu,” jawab Ummi sambil terkekeh.
‘Baik Ummi,” ucap Gus Afkar kemudian melirik ke arah Zahra dengan tersenyum, membuatnya salah tingkah dan langsung membuang muka.
“Afkar pamit dulu ya,” ucap suaminya itu kemudian menyalami dan mencium kening Umminya.
“Jangan terus bersikap menggemaskan!”
Deg
Zahra sontak menoleh terperangah ke arah suaminya, mendengar bisikan lelaki itu saat hendak melewatinya.
“Kalau masih kangen, boleh ikut suamimu, Nduk,” celetuk ibu mertuanya menggoda, mungkin karena melihat Zahra terus meperhatikan lelaki itu.
“Bu Nyai… Eh! Ummi, Zahra masih mau mijitin Ummi kok.”
Mertuanya itu terlihat terkekeh kembali.
‘Zahra!’
******
Zahra menarik koper yang terisi pakaiannya dan Gus Afkar keluar dari kamarnya.
“Sini! biar gus yang bawa,” pinta lelaki itu sambil mengambil alih koper yang dibawa Zahra.
Keduanya beranjak menuju mobil yang sudah terparkir di depan kediaman Gus Afkar.
Ada Ummi, dan Abi, juga Ning Alfiyah yang menunggu mereka di depan.
“Kan sudah Gus bilang, Ummi istirahat saja. Wong cuman ke Semarang saja, ndak perlu diantar. Ummi kan baru sehat,” ujar Gus Afkar meminta Umminya pulang.
“Ummi langsung sehat denger kalian mau, apa itu Bi….”
“Honeymoon, Ummi,” sela Ning Alfiyah sambil menyenggol bahu Zahra.
“Ya itu honeymoon, Ummi langsung sehat. Apalagi kalau sampai pulang bawa berita baik.”
Zahra langsung terdiam mendengar harapan ibu mertuanya tersebut.
“Ummi kita ini mau ngisi kajian,” ucap Gus Afkar sambil mengangkat koper itu untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil.
“Iya Ummi, jangan terlalu menekan mereka. Biarkan mereka menikmati masa-masa indah pernikahan mereka,” nasehat kyai Amir.
“Ya sudah Gus, Ning, hati-hati di jalan. Banyak-banyak dzikir dan sholawat!” lanjut Ummi.
“ Ya Ummi,”
“Assalamualaikum Ummi, Abi. Zahra sama Gus pamit dulu,” ujar Zahra sambil menyalami mertuanya tersebut.
Gus Afkar membukakan pintu untuknya dan memintanya masuk.
Lelaki itu memegang atap mobil saat Zahra masuk untuk pertama kalinya.
Zahra yang menyadarinya sontak mendongak ke atas.
‘makasih Gus’
Lelaki itu kemudian meraih bagian bawah gamis Zahra yang menjuntai keluar mobil dan memasukkannya.
Zahra yang tersentuh, menatap suaminya yang tengah menutup mobil itu untuknya.
Lelaki itu tampak menyalami Ummi dan Abinya, kemudian membelai lembut kerudung adiknya. Entah apa yang sedang mereka obrolkan dalam waktu yang singkat itu.
Zahra tertegun melihat keharmonisan keluarga suaminya itu dari balik spion tengah mobil.
Sekarang lelaki itu tampak menghampiri mobil dan masuk.
“Bismillah…” gumam Gus Afkar kemudian menstarter mobil. Dia membuka jendela kaca mobil untuk berpamitan dengan keluarganya, lalu melaju keluar ke jalan raya melalui gerbang depan pesantren.
“Ya Allah, kok tiba-tiba haus ya. DEK, tolong ambilkan botol minum di sebelahmu itu.”
‘Dek’
Sontak Zahra menoleh dengan terperangah mendengar panggilan suaminya. Jantungnya berdebar, waktu seakan terhenti.
Untuk beberapa lama ia hanya diam tertegun sambil menatap lelaki itu dalam-dalam.
'Allah, tadi aku tak salah dengar, kan?'