Aksa harus menelan pil pahit saat istrinya, Grace meninggal setelah melahirkan putri mereka. Beberapa tahun telah berlalu, tetapi Aksa masih tidak bisa melupakan sosok Grace.
Ketika Alice semakin bertumbuh, Aksa menyadari bahwa sang anak membutuhkan sosok ibu. Pada saat yang sama, kedua keluarga juga menuntut Aksa mencarikan ibu bagi Alice.
Hal ini membuat dia kebingungan. Sampai akhirnya, Aksa hanya memiliki satu pilihan, yaitu menikahi Gendhis, adik dari Grace yang membuatnya turun ranjang.
"Aku Menikahimu demi Alice. Jangan berharap lebih, Gendhis."~ Aksa
HARAP BACA SETIAP UPDATE. JANGAN MENUMPUK BAB. TERIMA KASIH.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan Belas
Awan ... terima kasih sudah menangis bersamaku dan terima kasih sudah menghapus jejak air mataku.
Hujan begitu derasnya turun dari langit kelabu, membasahi bumi dengan derasnya. Ghendis tak peduli jika itu membasahi tubuhnya. Dia terus mencoba memperbaiki taman yang Alice rusak tadi.
Seperti langit yang gelap serta mendung, begitulah hati Ghendis pun terasa gelap. Dia teringat pada kenangan indah yang pernah ia bagikan dengan orang yang ia cintai. Namun kini, mereka telah berpisah. Dia ingin kembali bersama Dicky. Hanya pria itu yang mengerti dirinya.
Ghendis mengernyitkan dahi, mencoba menahan air mata yang ingin pecah. Dia merasakan titik-titik hujan yang jatuh seakan-akan menyentuh hati yang patah. Setiap tetes hujan yang turun membasahi tubuhnya, mengingatkannya pada kesedihan yang menghantui pikirannya.
Ghendis terlihat rapuh dan lemah, ia ingin meluapkan segala emosinya, namun tidak ada yang bisa dia ceritakan. Sebatang pena tidak sanggup mengungkapkan perasaan yang terpendam di dalam dirinya.
Hujan semakin deras, mengalir mebasahi tubuhnya. Ghendis merasakan air hujan mencium pipinya, tetes demi tetes, seolah membacakan cerita kesedihannya. Dalam diam, hujan memeluk Ghendis, menghapus sejumput kepedihan yang ada dalam hatinya.
Ketika kilatan petir melintas di langit, Ghendis teringat pada masa lalu yang tak bisa kembali. Dia merasakan kekosongan mendalam, seakan-akan kebahagiaan telah meredup menjadi nyala kecil yang hampir padam. Hujan semakin menekan hatinya, seperti mencoba memadamkan cahaya itu.
Dari kamarnya Aksa melihat Ghendis yang kehujanan menanam semua bunga agar kembali seperti semula.
"Apa aku keterlaluan padanya? Aku rasa tidak. Dia yang begitu lancang merusak taman bunga itu, padahal sudah aku ingatkan jika dia tak boleh merubah apa pun di rumah ini!" ucap Aksa pada dirinya sendiri.
Malam mulai menjelang, hujan masih terus turun. Ghendis tampak kedinginan. Dia melihat taman itu, tapi tetap saja tak bisa kembali seperti semula. Ghendis lalu mendekati tempat dia melukis tadi. Beruntung dia tadi membawa dompetnya. Ghendis mengambil dompet. Dia menuliskan sesuatu di kain kanvas.
"Maaf Mas, aku harus pergi. Jika matahari mengalah dengan bulan demi keindahan, maka aku akan mengalah demi kebaikan bersama. Terlihat meyakinkan, tapi menyakitkan. Suatu hari kau pasti akan mengingatku sebagai perempuan bodoh yang bisa kau manfaatkan, atau sebagai perempuan bodoh dan baik yang telah kau sia-siakan. Tolong jaga Alice. Seperti katamu aku tak boleh masuk rumah jika tak bisa mengembalikan taman ini. Untuk itu aku pergi. Maaf aku tak langsung pamit denganmu. Sampaikan salam penuh cintaku untuk Alice."
Di bawah deras hujan Ghendis pergi dari rumah itu secara diam-diam. Dia melewati pintu belakang. Dengan baju basah dia menghentikan taksi yang lewat. Gadis itu mematikan ponselnya.
Aksa baru selesai mandi mendatangi kamar putrinya. Dia ingin membujuk Alice untuk memanggil Ghendis mengajaknya makan. Dia gengsi untuk melakukan itu.
"Sayang, sudah mandi ya. Wangi banget," ucap Aksa.
"Tadi enak Papi. Aku main bunga-bungaan," ucap Alice dengan suara khas anak-anaknya.
"Main bunga?" tanya Aksa.
"Iya, Mimi menggambar. Aku main bunga. Aku ambil semua bunga, beri untuk Mimi," jawab Alice dengan polosnya.
"Jadi yang cabut semua bunga itu kamu, Sayang?" tanya Aksa hampir tak percaya. Alice menganggukan kepalanya sebagai jawaban.
Aksa mengusap wajahnya kasar. Dia menjambak rambutnya frustasi. Menyesal tak mendengarkan penjelasan Ghendis tadi dan juga tak mau mendengarkan pembelaan istrinya itu, padahal dia bisa saja memeriksa CCTV. Karena emosinya dia meminta wanita itu memperbaiki sesuatu yang tidak dia rusak. Di bawah hujan deras pula.
"Kita panggil Mimi sekarang, ajak makan," ucap Aksa. Dia langsung menggendong sang putri menuju taman belakang.
Sementara itu Ghendis meminta supir taksi membawa ke tempat rumah kontrakan Dicky. Dia tak tahu harus kemana lagi. Pulang ke rumah orang tuanya, pasti dia yang akan disalahkan.
Air matanya tak berhenti turun. Supir taksi saja begitu iba melihatnya. Sesekali pria itu melirik ke arah Ghendis.
Tuhan ... Aku lelah. Ingin rasanya aku lari sejauh mungkin, teriak di sebuah tempat yang mungkin tidak ada satupun dari mereka yang tau. Menangis di bawah derasnya hujan, melepaskan semua beban didiri ini. Begitu sempurna cara engkau mendewasakan aku, tapi kenapa harus aku Tuhan? Sampai kapan aku harus belajar tegar di balik rasa sedih ini? Begitu berat skenario yang Engkau buat. Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
Ghendis turun di halaman rumah Dicky. Dia mengeluarkan uang untuk membayar biaya taksi. Tapi supir itu tak mau menerima. Mungkin iba melihat gadis itu.
"Tak usah bayar, Neng. Simpan saja buat Neng. Bapak ikhlas," ucap Bapak supir itu.
"Pak, ini hak Bapak. Terima saja. Aku masih ada uang," balas Ghendis.
"Tak apa, Neng. Bapak jadi ingat anak Bapak. Seusia Neng kira-kira. Doakan saja Bapak sehat dan murah rezeki. Bapak hanya ingin menolong," jawab Bapak itu lagi.
"Ya Tuhan, Pak. Semoga semua kebaikan Bapak di balas," doa Ghendis. Dia telah memaksa agar bapak itu menerima tapi dia tak juga mau.
Ghendis berjalan menuju pintu rumah kontrakan Dicky, mengetuknya beberapa kali. Barulah terdengar langkah kaki mendekat. Saat membuka pintu, pria itu terkejut melihat wanita yang dia cintai berdiri dengan baju basah dan mata sembab.
"Ghendis, kamu kenapa?" tanya Dicky kuatir.
Dicky meminta Ghendis masuk dan memberikan handuk. Dia meminta gadis itu mengganti pakaiannya. Celana training dan baju kaos miliknya dia berikan.
"Aku pergi dari rumah," ucap Ghendis.
"Ghendis, bukannya aku tak suka kamu ada di sini. Tapi kamu sudah menikah, jika suami kamu tahu kamu di rumahku, dia bisa mempidanakan aku dengan pasal menyembunyikan istri orang, pasal perselingkuhan. Aku bawa kamu ke hotel saja ya. Kita beli pakaian dulu," ucap Dicky.
Ghendis hanya menganggukan kepala sebagai jawaban. Dia mengerti posisi Dicky. Pasti serba salah jadi dirinya. Di satu sisi dia ingin menolong. Di sisi lain dia takut karena gadis itu telah menikah.
Setelah berganti pakaian, Dicky mengajak Ghendis ke toko pakaian sebelum mengantarnya ke hotel.
Di tempat lain, Aksa terkejut saat melihat tak ada orang di taman. Pandangannya lalu tertuju ke kain kanvas yang bertuliskan pesan dari Ghendis.
Kembali pria itu menarik rambutnya frustasi setelah membaca tulisan tangan Ghendis.
"Mimi mana, Pi?" tanya Alice, setelah melihat ke seluruh penjuru sudut taman, tapi tak tampak Ghendis di sana. Aksa tak bisa menjawab pertanyaan anaknya itu.
...----------------...
thor. bikin aksa nyesel