Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Jeda
Malam itu, di kamarku yang sunyi, aku merasa dunia terhenti. Menghadapi kenangan pahit tentang hubunganku dengan Ringa membuatku merasa seperti seorang pejuang yang terluka, mencoba untuk berdiri lagi di medan perang. Aku membaca kembali kisah Seojin, melihat perjuangannya sekali lagi.
Hari demi hari berlalu tanpa banyak interaksi dengan Laura. Aku tahu bahwa ini adalah masa-masa penting untukku menyembuhkan diri sendiri, namun tak bisa kupungkiri bahwa aku merindukan kehadirannya. Aku memutuskan untuk mengalihkan fokusku sementara pada pekerjaanku di toko buku dan mencoba untuk menemukan kembali keseimbangan dalam hidupku.
Namun, bayang-bayang masa lalu dan tekanan untuk melanjutkan novel kami terus menghantuiku. Aku sering kali terjaga di malam hari, merenungkan setiap keputusan yang telah kuambil dan mencari cara untuk menghadapi rasa sakit yang masih menghantuiku.
Suatu hari, saat berjalan-jalan di sekitar toko buku, aku tanpa sengaja bertemu dengan Laura. Dia sedang berdiri di depan rak buku, memandangi satu buku dengan penuh konsentrasi. Melihatnya lagi membuat hatiku berdebar, dan aku tahu saatnya untuk bicara telah tiba.
"Laura," panggilku pelan.
Laura menoleh dan tersenyum tipis. "Ryu, lama tidak bertemu."
Aku mengangguk. "Iya, aku... aku butuh waktu untuk berpikir."
Laura menutup buku yang dipegangnya dan menatapku dengan penuh perhatian. "Aku mengerti. Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Sedikit lebih baik. Menulis di buku catatanku membantu. Tapi aku tahu kita perlu bicara tentang novel kita."
Laura tersenyum lemah. "Aku setuju. Mungkin kita bisa minum kopi dan membicarakannya?"
Aku mengajak Laura ke kafe Apple Dome, tempat di mana harum apel yang menenangkan ada di seluruh ruangan. Laura memesan kopi susu dan aku memesan kopi hitam.
Kami duduk di meja pojok, suasana tenang dan nyaman. Laura memulai pembicaraan dengan lembut. "Ryu, aku ingin kau tahu bahwa aku sangat peduli padamu. Aku tahu menulis tentang masa lalu tidak mudah, tapi aku ingin membantu."
Aku mengangguk. "Aku tahu, Laura. Dan aku sangat menghargai dukunganmu. Tapi aku merasa kita perlu pendekatan yang berbeda. Mungkin kita bisa menulis tentang masa lalu dengan cara yang lebih... ringan."
Laura mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"
Aku mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. "Mungkin kita bisa fokus pada momen-momen indah dulu. Kenangan bahagia yang bisa mengangkat semangatku sebelum kita masuk ke bagian yang lebih berat."
Laura tersenyum tipis. "Itu ide bagus, Ryu. Kita bisa menulis dengan lebih perlahan, tanpa terburu-buru mengungkapkan semua rasa sakit sekaligus."
Pembicaraan kami berlanjut, dan aku merasa beban di pundakku mulai berkurang. Kami sepakat untuk melanjutkan novel kami dengan pendekatan yang lebih lembut dan penuh kebahagiaan, setidaknya untuk sementara.
Keesokan harinya, aku pergi ke rumah Laura lagi. Kali ini, aku merasa lebih siap dan tenang. Kami mulai menulis tentang momen-momen indah di kebun apel, bagaimana Ringa dan aku pertama kali bertemu dan saling mengenal.
Laura mengetik dengan cepat, menangkap setiap detail yang kuungkapkan. "Ryu, ini sangat indah. Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Aku tersenyum, merasa lebih ringan. "Lebih baik. Menulis tentang momen bahagia ini membantu mengingatkan bahwa tidak semua kenangan buruk."
Laura mengangguk setuju. "Kita bisa fokus pada momen-momen ini untuk sementara. Nanti, ketika kamu merasa siap, kita bisa kembali ke bagian yang lebih sulit."
Kami terus menulis dengan semangat baru. Malam-malam yang kami habiskan bersama di ruang kerja Laura kembali penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Aku mulai merasa bahwa menulis novel ini bukan hanya tentang menceritakan masa lalu, tetapi juga tentang menemukan kembali kebahagiaan dan kekuatan dalam diri kami.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan novel kami mulai terbentuk dengan indah. Setiap bab yang kami tulis membawa kembali kenangan manis dan kebahagiaan yang pernah kurasakan bersama Ringa. Laura dan aku semakin dekat.
Suatu malam, setelah menyelesaikan satu bab yang penuh dengan kebahagiaan, Laura menatapku dengan mata bersinar. "Ryu, aku merasa kita telah menemukan ritme yang tepat. Apakah kamu merasa siap untuk melanjutkan ke bagian yang lebih berat?"
Aku berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Ya, aku pikir aku siap. Dengan cara ini, aku merasa lebih kuat untuk menghadapi kenangan yang menyakitkan."
Laura tersenyum dan meraih tanganku. "Kita akan melakukannya bersama. Aku selalu mendukungmu."
Kami mulai kembali ke bagian di mana hubungan kami dengan Ringa mulai diuji oleh tekanan dari keluarga. Setiap kata yang kutulis terasa berat, tetapi dengan dukungan Laura, aku merasa mampu melanjutkannya.
"Ryu, mari kita ceritakan tentang hari di mana kamu mendatangi rumah Ringa, setelah Hana meninggalkanmu dan dia pergi dengan Ryan," kata Laura dengan lembut. "Dimana, ayah dan mamanya Ringa mengusirmu?"
Aku mengangguk, merasakan gelombang emosi yang kembali menghantamku. "Baiklah, Laura. Aku akan mencoba."
Laura menatapku dengan penuh perhatian, siap mendengarkan setiap kata yang akan kuucapkan. "Ryu, ingat, kamu tidak sendiri. Kita akan melaluinya bersama."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Hari itu, setelah Hana meninggalkanku dan pergi dengan Ryan, aku merasa hancur. Aku merasa seperti tidak ada lagi yang tersisa dalam hidupku. Aku memutuskan untuk menemui Ringa. Aku berharap dia bisa memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan ini."
Laura mulai mengetik, mencatat setiap detail yang kukatakan. "Aku ingat hari itu begitu jelas. Aku pergi ke rumah Ringa dengan harapan besar. Tapi saat aku tiba di sana, ayah dan ibunya yang menyambutku."
Laura menatapku, mendorongku untuk melanjutkan. "Apa yang terjadi saat itu, Ryu?"
Aku menghela napas panjang, mencoba mengingat setiap detail. "Ayah Ringa yang pertama kali melihatku. Dia tampak marah, lebih marah daripada sebelumnya. Dia berdiri di depan pintu, menghalangi jalanku masuk. 'Apa yang kau lakukan di sini?' tanyanya dengan suara keras."
Laura mengetik dengan cepat, menangkap ketegangan dalam suasana tersebut. "Aku mencoba menjelaskan bahwa aku hanya ingin berbicara dengan Ringa, tapi dia tidak memberiku kesempatan. 'Kamu tidak punya hak untuk ada di sini,' katanya dengan suara penuh amarah. 'Kamu sudah cukup menyakiti keluarga kami.'"
Aku merasakan kembali rasa sakit itu, seolah-olah kejadian tersebut baru saja terjadi. "mamanya muncul di belakang ayahnya, dan dia tampak sama marahnya. 'Ringa tidak butuh kamu lagi,' katanya dengan tajam. 'Kamu hanya membawa masalah ke dalam hidupnya.'"
Laura mengernyitkan dahi, matanya penuh simpati. "Bagaimana perasaanmu saat itu, Ryu?"
Aku menghela napas lagi, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Aku merasa hancur. Seperti seluruh dunia menentangku. Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi kata-kata mereka terlalu menyakitkan. Aku akhirnya hanya bisa berdiri di sana, merasa tak berdaya."
Laura mengetik dengan cepat, menangkap setiap emosi yang kurasakan. "Mereka terus berbicara, mengusirku dengan kata-kata yang lebih tajam. 'Pergi dari sini dan jangan pernah kembali,' kata ayahnya dengan tegas. 'Kami tidak ingin melihatmu lagi.'"
Aku merasa air mata menggenang di mataku, mengenang momen itu. "Aku tidak punya pilihan lain selain pergi. Aku merasa benar-benar sendirian. Seolah-olah tidak ada tempat di dunia ini yang bisa menerimaku."
Laura berhenti mengetik sejenak, menatapku dengan penuh simpati. "Ryu, aku tahu ini sangat sulit. Tapi ini adalah bagian penting dari cerita kita. Dengan menggambarkan rasa sakit ini, kita bisa menunjukkan kekuatanmu dalam menghadapi semua rintangan."
Aku mengangguk, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Setelah itu, selama dua tahun aku depresi dan lari dari kenyataan, menghadapi kekosongan."
Laura menatapku dengan mata penuh perhatian. "Kamu baik-baik saja kan?"
Aku menarik napas panjang, mencoba mengekspresikan perasaanku saat itu. "Rasanya seperti dunia runtuh di sekitarku. Aku merasa kehilangan segalanya. Hana, Ringa, dan bahkan harapan untuk masa depan. Aku hanya duduk di kamar, merenung, mencoba memahami semua yang telah terjadi."
Laura mengetik dengan cepat, menangkap setiap emosi yang kurasakan. "Tapi di tengah kesedihan itu, aku merasa ada sedikit kekuatan dalam diriku. Aku tahu bahwa aku harus bangkit, bahwa aku harus menemukan cara untuk melanjutkan hidupku. Aku tidak bisa membiarkan rasa sakit ini menguasai diriku, sampai aku membaca novel yang kau tulis, perjuangan Seojin dan aku menemukanmu, Laura.
Laura menutup laptopnya, menatapku dengan mata penuh kasih. "Ryu, kamu telah menunjukkan kekuatan luar biasa. Kita akan melanjutkan cerita ini bersama-sama, dan aku yakin kita akan menciptakan sesuatu yang indah."
Aku merasa beban di pundakku mulai berkurang. Meskipun kenangan itu masih menyakitkan, aku tahu bahwa dengan dukungan Laura, aku bisa melaluinya. Kami akan melanjutkan cerita ini, menggali lebih dalam ke dalam kenangan, dan menemukan kekuatan baru dalam diri kami.