Yara Vianca tak sengaja mendapati buku nikah suaminya dengan wanita lain. Tentunya, dia merasa di khianati. Hatinya terlampau sakit dan perih, saat tahu jika ada wanita lain yang menjadi madunya. Namun, penjelasan sang suami membuat Yara tambah di buat terkejut.
"Benar, aku juga menikah dengan wanita lain. Dia Dayana, istri pertamaku." Penjelasan suaminya membuat dunia Yara serasa runtuh. Ternyata, ia adalah istri kedua suaminya.
Setelah Yara bertemu dengan istri pertama suaminya, di sanalah Yara tahu tentang fakta yang sebenarnya. Tujuan Alva Elgard menikah dengan Yara agar dia mendapat kan anak. Sebab, Dayana tak dapat hamil karena ia tak memiliki rahim. Tuntutan keluarga, membuat Dayana meminta suaminya untuk menikah lagi.
Alva tidak mengetahui jika saat itu ternyata Yara sudah mengandung. Karena takut bayinya di ambil oleh suami dan madunya setelah dirinya di ceraikan, ia memilih untuk pergi dan melepaskan suaminya.
5 tahun kemudian.
"Om Alpa, ada indomaletna nda?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si kembar yang menggemaskan
"KAMU MENGKHIANATI PUTRIKU HAH?! KAMU MENGKHINANATINYA!" Teriak Salma seraya memukuli Alva. Pria itu tak membalas, dia membiarkan ibu mertuanya melampiaskan amarahnya.
"Bu, udah Bu! Udah!" Seru Azka seraya menahan tangan sang ibu yang akan kembali memukuli abang iparnya.
Salma menangis, dia khawatir dengan keadaan putrinya saat ini. Sedangkan Azka, dia menatap tajam Alva yang saat ini tengah menunduk dengan perasaan bersalah. Tak lama, Alva mengangkat pandangannya, dia menatap nanar ke arah ibu mertuanya yang memanggil-manggil nama Yara.
"Bu, maaf. Maafkan Alva, Alva tidak jujur sedari awal jika Alva sudah memiliki istri. Maafkan Alva." Lirih Alva.
Mendengar itu, Salma menghentikan tangisnya, dia menatap penuh kecewa Alva yang masih berani menatapnya. Perlahan, Salma maju melangkah. Tatapannya tak lepas dari pria yang telah menikahi putrinya.
PLAK!
Azka membulatkan matanya, dia segera meminta ibunya untuk menjauh setelah menampar Alva.
"PERGI! PERGI KAMU DARI SINI! SEBELUM PUTRIKU KEMBALI, JANGAN HARAP KAMU MENDAPAT MAAF DARIKU!" Bentak Salma.
"Dan ingat, setelah dia kembali. Ceraikan dia dan kembalikan dia pada Ibu! Kamu tidak berhak membuat putriku menderita!" Ujar kembali Salma seraya menunjuk lemah pada Alva
Alva berbalik, dia beranjak pergi dan tak berani menoleh kembali. Tubuh Salma luruh, Azka pun segera memeluk ibunya dengan menahan tangisnya. "Cari kakakmu Dek, cari kakakmu hiks ... dia pasti tengah terpukul. Dia pasti sedang terpukul saat ini hiks ...." Isak Salma.
"Aku akan mencari kakak Bu, aku akan mencarinya." Ujar Azka dengan menitikkan air matanya.
Alva menatap Azka dan Salma dari balik jendela mobilnya, pria itu menyorot keduanya dengan tatapan sendu. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, yang jelas Alva merasa bersalah pada keduanya.
"Yara tahu aku akan mencarinya di rumah ibunya, makanya dia tidak pulang kesini. Lalu, kemana perginya Yara?" Batin Alva, memikirkan kondisi istri keduanya itu.
.
.
.
Lima tahun kemudian.
Seorang wanita cantik terlihat baru saja menghentikan motornya di depan rumah sederhana miliknya. Dia membuka helmnya yang sedari tadi memberatkan kepalanya. Setelah itu, dia turun dari motornya dan mengambil belanjaan yang tadi dirinya beli.
"Eh Bu Yara, belanja Bu?" Seorang tetangga datang dan menyapa wanita yang tak lain adalah Yara.
"Eh Bu Leni, iya nih bu. Si kembar lagi pengen makan ayam, jadinya harus beli dulu ke pasar." Sahut Yara dengan ramah.
"Kebetulan saya masak ayam, sebentar yah saya ambilkan! Tunggu dulu!" Seru ibu itu ketika tahu yang menginginkan ayam tersebut.
"Eh Bu, jangan. Gak usah!" Seru Yara dengan panik. Namun, Bu Leni pergi begitu saja. Meninggalkan Yara yang kebingungan di buatnya.
Prang!
Teng!
Brak!
Kening Yara mengerut dalam, dia mendengar ada suara panci yang di benturkan dengan panci lain. Penasaran, wanita itu segera masuk. Tak lupa, ia membawa serta belanjaan ke dalam rumahnya.
Prang!
"Apa lah abang ini hiks ... di culuhna aku cuci piling telus hiks ... nda cuka juga hiks ... hwek! Ini juga, bicana gocong p4nt4tna! Hitam kali hiks ....,"
Langkah Yara terhenti setibanya dia di kamar mandi. Matanya melotot sempurna saat melihat gadis kecil sedang berjongkok dengan wajan dan beberapa alat masak yang kotor lainnya.
"Astaga! Vara ngapain sayang?!" Seru Yara yang mengejutkan bocah menggemaskan itu.
"Ekheee Bundaaa! Vala capek hiks ... Vala capek hiks ... abang culuh Vala ...,"
"Jangan mengada-ngada kamu!"
Keduanya di kejutkan dengan kedatangan anak kaki-laki tampan yang sedang membawa plastik hitam di tangannya. Yara menepuk keningnya pelan, dia menaruh belanjaannya dan menatap kedua bocah menggemaskan itu.
"Nda ada, ada! Memang adana ada! Abang culuh Vala cuci piling ini cemua, telus ...,"
"Buat lagi slime yang ada di Gotub itu. Buat nah lagi! Ambil panci Bunda buat slime itu! Biar di omelin Bunda kamu!" Omelnya pada si gadis kecil di dekatnya.
Empat tahun yang lalu, Yara berhasil melahirkan sepasang bayi kembar. Anak pertamanya laki-laki, bernama Jovan Alvaro. Sedangkan si bungsu bernama Vara Alviza. Keduanya memiliki sifat yang berbeda. Jovan memiliki pola pikir lebih dewasa, dia bisa dengan cepat belajar. Daya tangkapnya jauh lebih kuat di bandingkan dengan sang adik. Sementara Vara, di usianya yang beberapa bulan lagi akan menginjak tahun ke lima, masih ada beberapa huruf yang belum benar ia ucap.
"Slime?" Tanya Yara dengan bingung.
"Iya, habis sampo sama dia! Bunda tahu ini apa? Ini sampo, sabun cuci piring, sabun mandi, di tambah minyak goreng dia pakai semua bahan buat bikin slime! Buang aja anak begitu Bun! Nyusahin!" Seru Jovan dengan tatapan kesal.
"ABAAANGG JANAN JADI KOMPOOOLL!" Teriak Vara dengan kesal.
Yara menghela nafas berat, dia menatap putrinya yang menunduk seraya memainkan sabun. "Terus, itu kenapa pancinya gosong? Apa kalian bermain api? Sudah Bunda bilang berapa kali, jangan nyalakan kompor. Bunda tau, kalian bisa menyalakannya. Tapi, itu bahaya sayang." Tegur Yara dengan lembut.
"Tuh! Omelin Bunda! Omelin!" Seru Jovan mengompori sang bunda.
"ABANG JANAN KOMPOLIN BUNDAAA DI BILANGNAAA! HUAAA!" Vara yang kesal pun akhirnya menangis keras. Bukannya membantu abang nya malah mengompori bunda mereka.
"Hais, sudah-sudah. Vara cuci tangan dan kaki gih, abis itu ganti bajunya." Titah Yara seraya menggulung tangan bajunya. Dia berniat akan menggantikan putrinya mencuci semua cucian itu.
"KEMBAR! BIBI BAWA AYAM SEMUR NIH!" Seru Bu Leni yang mana membuat tangisan Vara terhenti. Senyumnya merekah, dia segera melakukan apa yang bundanya seru dan menyambut tetangga mereka.
"CEMUUUL, AKU DATAAANGG!" Seru Vara dan berlari menghampiri sang tamu.
Yara menggelengkan kepalanya, dia berjongkok dan bersiap akan mencuci kekacauan yang putrinya buat. Namun, saat menoleh. Dia terkejut mendapati Jovan yang turut berjongkok di sebelahnya.
"Jovan ngapain nak?" Bingung Yara.
"Jovan bantu, Bunda kan udah capek ngurus kita. Masa harus ngurus kekacauan yang adek buat, biar Jovan juga tanggung jawab." Ujar Jovan dengan tatapan seriusnya.
Yara menghela nafas pelan, "Jovan, umurmu sama dengan Vara. Coba berpikir seperti anak seusiamu, jangan cepat dewasa." Ujar Yara dengan tatapan sendu.
"Kalau Jovan kayak Vara, gak ada yang jaga Bunda dan Vara. Kan, Jovan mau jaga kalian." Serunya dengan menampilkan senyumnya.
Yara sungguh terharu, dia mengusap pelan rambut hitam tebal milik putranya dan mengelus pipinya dengan lembut. "Kamu memang pangeran Bunda, yasudah ... ayo kita bereskan kekacauan yang adikmu buat." Seru Yara dengan semangat.
.
.
.
Malam hari, si kembar sedang menonton siaran di televisi. Sementara Yara, dia tengah menghitung uang hasil penjualannya. Selama tinggal di kota kecil ini, Yara menghidupi dirinya dengan berjualan kue yang dirinya ambil dari toko dan menjualnya. Terkadang, dia berkeliling dan menawarkan pada setiap orang, dan terkadang juga dia mendapat pesanan. Walau begitu, Yara merasa hidupnya banyak di berikan kebahagiaan setelah anak kembarnya lahir.
"Si kembar gak lama lagi memasuki usia lima tahun, mereka akan masuk sekolah TK. Biaya masuk sekolah juga gak sedikit, apalagi dua anak. Pendapatan sehari saja paling banyak seratus ribu, dan aku harus membagi untuk keperluan lain." Lirih Yara.
"Bunda."
Yara terkesiap, dia menoleh dan mendapati putranya berdiri di ambang pintu kamarnya dengan sorot mata yang aneh. Yara mencoba tersenyum, dia melambaikan tangannya meminta sang putra mendekatinya. Perlahan, Jovan mendekat, dia duduk di sebelah sang bunda.
"Abang boleh tanya?" Izin Jovan.
"Tentu saja, putra Bunda ini ingin tanya apa hm?" Sahut Yara seraya memegang dagu putranya.
"Dimana ayah? Kenapa ayah menelantarkan kita? Ayah gak pernah nemuin Bunda, abang dan adek. Ayah biarin bunda cari uang sendiri, ayah biarin kita susah. Kenapa ayah jahat sama kita?" Pertanyaan Jovan membuat jantung Yara serasa berhenti berdetak. Mata wanita itu berkaca-kaca, tetapi bibirnya mencoba tersenyum.
"Ehm begini nak, ada hal yang belum saatnya Jovan tahu. Nanti Bunda akan ceritakan, saat umurmu sudah cukup untuk mencernanya. Yah sayang," ujar Yara dengan penuh kelembutan.
Jovan tak membantah, dia mengangguk mengiyakan. Pria kecil itu hanya merasa, mengapa sang ayah tak pernah datang menemuinya? Melihat bundanya yang mengurusnya dan sang kembaran, di tambah harus berjualan agar mendapatkan uang, rasanya Jovan tak tega.
"Kalau gitu, Jovan main sama adek dulu yah. Badan Bunda rasanya pegal, Bunda mau istirahat dulu. Karena kan besok pagi Bunda harus ambil pesanan lagi." Titah Yara.
Jovan beranjak pergi tampa mengucapkan apapun, tak lama dia kembali dengan toples permen di pelukannya. Kening Yara mengerut sempurna, dia tak mengerti apa yang putranya itu maksudkan. Setibanya Jovan di sisi Yara, dia langsung membuka kaleng permen itu dan menuang isinya ke atas kasur.
"Eh ...." Yara terkejut ketika mendapati banyaknya uang dua ribuan dari dalam kaleng itu.
"Bunda, besok libur saja. Jovan masih ada uang, jadi besok Bunda bisa istirahat." Ujar Jovan dengan tatapan polosnya.
Yara menitikkan air matanya, dia menatap kumpulan uang dua ribu itu dengan hati teriris. "Berapa lama kamu tidak jajan sayang? Sehari jajanmu hanya dua ribu, bagaimana bisa kamu tidak menjajaninya." Lirih Yara.
"Jovan enggak suka jajan, jadi semua uang Jovan tabung." Jelas Jovan dengan tersenyum tipis.
Yara memeluk tubuh putranya, air matanya luruh. "Elgard, ayahmu itu keturunan keluarga Elgard. Seharusnya kamu hidup di istananya, bukan hidup sulit bersama Bunda disini. Bunda egois, maafkan Bunda nak. Maafkan Bunda." Batin Yara menangis karena merasa sedih atas kehidupan anak-anaknya.
.
.
.
Hari ini, Yara membantu tetangganya yang sedang mengadakan acara hajatan. Dia bersama ibu-ibu yang lainnya turut membantu menyiapkan stok kue dan juga beberapa minuman untuk tamu yang datang. Di saat asik menata makanan itu, tiba-tiba saja Bu Leni menepuk bahunya.
"Eh, mana si kembar?" Tanya Bu Leni dengan ramah.
"Biasa bu, main sama yang lain." Sahut Yara.
"Seharusnya bawa kesini, apalagi Vara senang banget jajan." Pinta Bu Leni.
"Gak enak Bu sama yang punya acara, apalagi Vara sangat aktif." Balas Yara.
Bu Leni mengangguk pelan, "Oh iya, kamu lagi cari uang tambahan gak? Kebetulan, ada pengerjaan proyek di dekat kantor lurah. Tanahnya pak lurah di jual, buat di bikin hotel. Nah, kebetulan Pak lurah lagi nyari orang yang bisa masak makanan buat para pekerja. Kamu kan masakannya enak, coba aja kamu ajuin ke Pak lurah." Saran Bu Leni.
Yara terdiam, dia memikirkan ucapan Bu Leni ada benarnya. Lumayan, uangnya bisa untuk tambahan tabungan untuk sekolah si kembar nantinya.
"Boleh deh Bu," ujar Yara dengan tersenyum ramah.
"Nah! Nanti habis ini kita ke rumah Pak Lurah!" Seru Bu Leni dengan semangat.
Sementara itu, Vara sedang bermain dengan teman-temannya yang lain. Mereka biasa main dari rumah ke rumah yang lain menghampiri teman yang belum datang.
"Ih panasna, Vala mau pulang aja lah. Mau minta uang Bunda beli es dogel." ujar Vara dan berbalik pergi meninggalkan para temannya. Dia menghiraukan panggilan mereka yang memintanya kembali.
"Minum yang cegel-cegel enak ini, beli es dogel laaaahh ...." Gumam Vara dengan tersenyum lebar.
Bugh!
Tak sengaja, Vara menabrak seseorang. Dia memegangi keningnya yang terasa sakit. Matanya menatap kaki jenjang seorang pria di depannya, perlahan dia mendongak untuk melihat jelas siapa yang menabraknya. Terlihat, seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah yang tampan, sedang memandang ke arah Vara yang baru saja menabraknya dari balik kaca mata hitamnya.
"Tinggi kali, cepelti tiang lictlik." Gumam Vara.
"Apa kamu tidak apa-apa?" Tanya pria itu seraya berjongkok di hadapan Vara. Lalu, dia membuka kaca mata hitamnya agar bisa melihat Vara dengan jelas.
"Eh, gantengnaaaa ...." Pekik Vara dalam hatinya.
"Apa yang sakit? Katakan?" Ujar pria itu seraya mengelus kening Vara.
Vara memundurkan langkahnya, "Jangan buat jantungna Vala beldebal-debal cepelti liat uang melah." Celetuk Vara yang mana membuat pria itu tersenyum.
"Namamu Vala?" Tanya pria itu.
Vara menggeleng, "Bukan pake L, tapi L! Gimana ci, kok cama?! Tau lah, pokokna bedaaa!" Vara kesulitan berbicara R.
"Oh, Vara ... Vara yah. Kenalkan, nama om Alva." Ujar pria itu yang tak lain adalah Alva.
Alva menatap lekat ke arah Vara yang tersenyum menatapnya. Lesung pipi yang terletak di pipi kanan gadis kecil itu mengingatkannya pada seseorang.
"Om Alpa, ada indomaletna nda?"
"Eh?!"
teruslah berkarya