Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerai
"Apa anda tahu jika penyakit istri anda kemarin bukan main-main. Hampir saja istri anda kehilangan rahimnya," ucap Alvian menatap Yusuf tajam.
Yusuf terlihat kaget. Dia langsung terlihat serba salah.
Ceklek. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka.
Semua orang melihat Siti yang berdiri di ambang pintu.
Siti lalu berjalan menghampiri suaminya.
"Bagaimana keadaanmu? Mas dan Ayu kesini untuk menjemputmu pulang," tanya Yusuf sambil menunjuk istri keduanya.
"Iya Kak. Bagaimana keadaan kakak sekarang? Aku kesini ingin mengajak kakak pulang ke rumah." Ayu tersenyum melihat Siti.
Siti melihat suami dan madunya bergantian.
"Mas. Maafkan aku. Sepertinya aku tidak sanggup lagi hidup bersamamu."
"Aku mundur mas. Sebaiknya kita bercerai saja."
Semua orang tercengang kaget, terutama Yusuf dan istri mudanya, namun lain halnya dengan Aisha yang tersenyum puas, dia menghampiri kakaknya.
"Aku harus belajar agama lebih banyak lagi, ternyata ilmu ikhlas berbagi suami tidak mampu aku kuasai," ucap Siti dengan menahan tangisnya.
Aisha mengusap punggung kakaknya, begitu juga dengan Zainab.
"Kenapa tiba-tiba sekali, mas pikir kamu sudah ikhlas di poligami?" tanya Yusuf yang syok.
"Iya kak, kenapa tiba-tiba seperti ini. Selama ini kita baik-baik saja kan?" tanya Ayu terheran-heran.
Siti menggelengkan kepalanya.
"Ternyata hatiku tidak seluas samudera mas. Aku belum ikhlas. Masih ada rasa iri dengki di hati ini ketika mas lebih mementingkan istri kedua mas. Jika seperti itu, hanya akan menumpuk dosa saja bagiku, jadi lebih baik aku mundur saja."
Yusuf tampak sangat kecewa. Dia tidak bisa berkata-kata lagi.
"Kakak, sebaiknya kita pulang sekarang. Aku ingin mengutarakan keinginanku ini pada Ummi dan Abah." Siti melihat Zainab.
Zainab terlihat mengangguk-anggukan kepalanya.
"Tidak harus sekarang kak, kakak harus istirahat dulu karena baru pulang dari rumah sakit, tunggu hingga kakak benar-benar pulih." Aisha melihat Siti.
Siti menggelengkan kepalanya.
"Kakak ingin pulang sekarang dik. Lebih cepat rasanya lebih baik."
Yusuf dan istrinya saling berpandangan, keduanya lalu pergi meninggalkan mereka semua bahkan tanpa berpamitan.
Aisha yang pasrah akan keinginan kakaknya, melihat Alvian.
"Aku akan mengantar kalian," ucap Alvian.
***
Ba'da Ashar.
Kedatangan Aisha dan kedua kakaknya disambut dengan bahagia oleh orang tua mereka juga oleh saudara-saudara mereka yang lainnya.
Ummi memeluk Siti dengan hangatnya, bahagia akhirnya putrinya telah sembuh seperti sediakala.
Akan tetapi Ummi merasakan aura kesedihan yang teramat dalam ketika melihat wajah putrinya.
"Ada apa nak?" tanya Ummi merasakan ada sesuatu yang terjadi.
Aisha dan Zainab saling berpandangan.
"Ummi. Biarkan Siti untuk beristirahat dulu." Zainab mengajak semuanya untuk masuk ke dalam rumah.
Semua orang masuk, begitu juga dengan Aisha, namun kemudian dia menghentikan langkahnya melihat Alvian yang terlihat sibuk menerima panggilan telepon.
Aisha akan kembali masuk, tapi Alvian memanggilnya.
"Aku harus kembali ke kota sekarang."
"Tiba-tiba ada operasi dadakan," ucap Alvian dengan rasa menyesal.
Aisha terlihat kaget.
"Aku?"
"Kamu tidak apa disini dulu, nanti aku akan menjemputmu."
Aisha terlihat lega.
"Aku pergi sekarang." Alvian akan memutar badannya.
"Biar saya antar." Aisha berjalan mendekati suaminya, mereka berjalan beriringan menuju lapangan tempat mobil diparkir.
Jangan ditanya perasaan Alvian saat itu karena sudah tentu dia sangat bahagia. Aisha nampak sedikit luluh padanya.
"Hati-hati di jalan," ucap Aisha sesampainya mereka di depan mobil.
"Iya." Alvian menatap istrinya.
Aisha mengangguk.
Keduanya terdiam sejenak terlihat salah tingkah.
Akhirnya Alvian masuk ke dalam mobil, memberikan salam pada Aisha yang masih berdiri disana. Dia lalu melajukan mobilnya meninggalkan Pondok Pesantren.
***
"Abah sedang sakit, kata Ummi akhir-akhir ini kesehatan Abah sedang terganggu," Zainab melihat kedua adiknya.
Aisha dan Siti menghela napas panjang.
"Aku tak bisa mengatakan soal perceraianku sekarang, atau kesehatan Abah akan semakin memburuk." Siti terlihat sedih.
"Tidak apa-apa. Kita tunggu hingga kesehatan Abah membaik." Aisha menyemangati kakaknya.
"Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" Zainab melihat Siti.
"Kakak ingin kamu memikirkannya baik-baik, ingatlah jika perceraian adalah keputusan yang besar."
Siti menundukkan kepalanya.
"Aku sudah memikirkannya dengan matang kak, dan aku yakin jika berpisah adalah jalan terbaik."
Zainab menarik napas panjang.
"Baiklah kalau begitu. Kakak akan selalu mendukung semua keputusanmu selama itu baik untukmu."
***
Malam hari.
Kesehatan Abah yang menurun, membuat semua anak, menantu dan cucunya berkumpul, seperti malam ini rumah yang biasanya sepi tampak ramai oleh keluarga besar mereka.
Semuanya berkumpul di tengah rumah, menemani dan menghibur Abah yang terlihat bahagia melihat semua anak menantu dan cucunya ada disana.
Mereka semua tampak berbincang hangat, hingga tak terasa jika malam telah semakin larut, satu-persatu mereka ke rumah masing-masing, begitu juga dengan Aisha yang masuk ke kamarnya.
Sebelum tidur, dia memeriksa ponselnya, terkejut melihat banyaknya panggilan yang tak terjawab dari nomor yang tak dikenal.
Aisha tak berniat menelepon balik, karena nomor itu tak dikenalnya, dia akan menyimpan kembali ponselnya tapi kemudian ponselnya itu kembali berdering.
"Kenapa aku telepon berkali-kali tidak kamu angkat?" tanya Alvian di ujung telepon setelah mengucapkan salam.
Aisha tertegun, kaget karena ternyata suaminya yang meneleponnya.
"Maaf. Ponselnya saya simpan di kamar, saya lagi diluar tadi. Ada apa?"
"Tidak ada. Apa aku butuh alasan untuk bisa menelepon istriku sendiri?"
Aisha terdiam. Keduanya terdiam sejenak.
"Bagaimana keadaan Kak Siti?"
"Baik. Alhamdulillah."
"Apa Abah sudah tahu?"
"Belum." Aisha lalu menceritakan jika kesehatan Abah sedang tidak baik sehingga mereka belum bisa menceritakannya.
"Sakit apa?"
"Mungkin penyakit lambungnya kambuh. Jadi saya ingin meminta izin untuk tinggal beberapa hari lagi disini," ucap Aisha.
"Iya. Tentu saja."
"Terima kasih." Suara Aisha terdengar senang.
"Sudah malam. Sebaiknya sekarang kamu tidur."
"Iya."
"Oh iya, mulai sekarang bawa ponselmu kemanapun kamu pergi, karena akan ada yang terus menghubungimu."
Aisha tak menjawab
Setelah mengucapkan salam, keduanya menyudahi pembicaraan.
Alvian tersenyum sendiri, tapi sejurus kemudian senyumnya redup mengingat dalam beberapa hari ini dia tidak akan bertemu dengan istrinya.
***
Keesokan harinya.
Aisha dan Siti tampak sedang membantu Ummi memasak hingga tiba-tiba Maryam datang dan mengatakan jika Abah memanggil Kak Siti ke aula Pondok Pesantren.
Semua orang terheran-heran hingga Kak Zainab datang dan memberi tahu jika ada Yusuf dan keluarganya.
Aisha dan Siti tampak khawatir, mereka seakan tahu apa yang terjadi.
_____
Siti duduk seakan menjadi pesakitan, di tengah tatapan seluruh keluarga besarnya juga keluarga suaminya.
"Kata suamimu kamu meminta cerai. Apa itu benar Nak?" tanya Abah melihat Siti.
Semua orang melihat Siti penasaran.
Siti yang menundukkan kepalanya mengangguk kecil.
"Boleh Abah tahu alasannya?"
Siti terlihat ragu menjawab.
"Maaf Abah. Sepertinya sudah ada yang menghasutnya untuk meminta cerai dari saya." Yusuf bersuara sambil melihat Aisha.
"Saya yakin jika Siti sudah menerima untuk di poligami, saya tahu dia sudah ikhlas. Rumah tanggga kami juga baik-baik saja selama ini. Tapi entah mengapa tiba-tiba setelah dia sembuh dari sakitnya dia meminta cerai dengan alasan tidak bisa ikhlas harus berbagi suami." Yusuf berbicara dengan lantang.
Siti hanya bisa menangis tak menerima dengan semua perkataan suaminya.
"Orang yang menuduh orang lain bersalah tidak akan selalu berakhir menjadi orang yang dipandang benar." Aisha berdiri dari duduknya.
"Ada yang merasa benar hingga membuatnya tak mau merenung dan introspeksi diri." Aisha tersenyum sinis.
"Asal Anda tahu. Kakakku cukup kuat untuk menahan rasa sakit, bukan berarti dia layak untuk terus mendapatkannya." Aisha melihat Yusuf geram.
"Dia wanita kuat yang bersikap seolah semuanya baik-baik saja, dia tersenyum di pagi hari karena tahu akan menangis di malam hari, hatinya terluka namun memilih untuk tetap setia pada suaminya yang tak bisa berlaku adil pada kedua istrinya."
Abah termangu mendengarkan semua perkataan Aisha, begitu juga dengan semua orang. Terkecuali Yusuf yang menahan geram.