"Patah hati yang menyakitkan itu, ketika kita menunggu ketidakpastian."
(Sinta Putri Adam)
---------------------------------------------------------------------------
Tidak ada cinta. Namun, anehnya ku sematkan dia di setiap doa ku.
Lucu bukan? tapi itulah kenyataannya.
Enam tahun, ku jaga hati untuk dia yang dulu datang dengan janji manis. Memberikan sepucuk surat cinta dan cincin sebagai tanda ikatan. Hingga hari, di mana berjalan dengan cepat, kami bertemu. Namun, enam jam aku menunggu seperti orang bodoh, dia tidak datang. Jika sudah begini kemana harapan itu pergi. Aku kecewa, sakit, dan merasa bodoh.
"Aku membenci mu Muhamad Farel Al-hakim."
"Aku membencimu."
Ikutin kisahnya yuk hu...
IG: Rahma Qolayuby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahma qolayuby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Pergi!
Farel sangat bahagia karena hari ini ia bisa keluar. Sinta mengizinkan Farel keluar sambil melatih Farel juga.
Walau Farel sedikit heran, kenapa kedua orang tuanya semakin ke sini jarang menjenguknya. Namun, keberadaan Sinta mengalihkan pikiran Farel.
Sinta mendorong kursi roda masuk kedalam lift. Mengantarkan mereka ke lantai bawah. Tujuannya mereka menuju taman.
Farel memejamkan kedua matanya menghirup udara segar. Sudah lama sekali Farel tak merasakan udara segar ini. Menatap taman yang cukup luas. Farel merentangkan kedua tangannya.
"Anda mau, apa?"
Tanya Sinta menahan pundak Farel. Farel seketika teringat jika kakinya masih sakit.
"Sial."
Gerutu Farel pelan mencoba menahan kekesalannya. Saking senangnya Farel melihat dunia luar sampai Farel lupa akan berdiri. Untung saja Sinta menahannya kalau tidak mungkin Farel akan tersungkur.
Dua perawat laki-laki menghampiri Sinta.
"Kita akan lakukan fisioterapi lagi."
Ujar Sinta membuat Farel paham kenapa ada dua perawat laki-laki. Farel mengangguk setuju membuat Sinta bernafas lega. Setidaknya tidak ada perlawanan dari Farel seperti sebelum-sebelumnya.
Dua perawat laki-laki membantu Farel berdiri. Mereka menjadi dua kaki bagi Farel. Dengan hati-hati Farel berdiri di bantu dua perawat laki-laki.
"Awwss!"
Pekik Farel hampir saja tersungkur. Kalau tidak sigap dua perawat laki-laki menahannya.
"Kenapa lebih sakit dari yang pertama?"
Keluh Farel memegang erat pundak salah satu perawat laki-laki. Farel benar-benar merasakan sakit yang luar biasa pada kakinya. Bahkan ini lebih sakit dari percobaan yang pertama.
"Itu hal wajar. Jika Anda sering melatih kaki anda. Lama-lama sakitnya akan hilang. Ini karena anda belum terbiasa."
Terang Sinta mengamati kaki Farel. Farel memang sudah kembali duduk tak bisa lama-lama.
Farel memijit betisnya yang terasa kebas. Merasakan tak enak yang luar biasa. Sinta meminta dua perawat laki-laki tadi pergi. Sinta akan memanggilnya jika di butuhkan.
Sinta berjongkok mencoba memeriksa kaki Farel. Mengoleskan sebuah jel membuat Farel merasakan nyaman.
"Apa, lebih baik?"
Deg!
Sinta terdiam dengan jantung nyaris meledak mendapati Farel menatapnya. Sesaat mereka terdiam.
"Lebih baik."
Farel yang pertama memutus pandangannya beralih pada kedua kakinya. Sinta langsung bangkit duduk di sebuah kursi.
"Terimakasih, sudah merawat saya."
Ujar Farel tiba-tiba. Farel sadar dia harus berterimakasih pada Sinta yang dengan sabar merawatnya tanpa ada keluhan sama sekali. Semenjak Sinta merawat Farel. Farel menyadari sesuatu. Dia harus sembuh, Farel tak mau terus terlihat lemah di mata Sinta.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab saya."
"Saya tahu. Bisakah saya tak menganggap kamu dokter saat ini?"
"Maksud nya?"
Sinta mengerutkan kening menatap Farel sekilas lalu membuang pandangannya ke depan.
"Dari awal harusnya saya bicara. Maaf, jika saya terlalu pengecut. Saya terlalu, malu dan naif. Harusnya saya tak menghindar dari kenyataan."
Jujur Farel, sekuat tenaga Farel menahan rasa malunya. Farel sadar siapa dia sekarang. Tapi, Farel hanya ingin memastikan sesuatu. Farel tak ingin semakin menyesal di kemudian hari.
Kini Sinta sadar kemana arah pembicaraan Farel. Farel ingin, saat ini mereka bukan pasien dan dokter. Melainkan dua orang yang terikat akan sebuah janji. Sinta tak tahu harus menanggapinya seperti apa. Bibirnya terasa kelu.
"Saya sudah melupakannya."
Sakit rasanya mendengar pernyataan Sinta. Melupakannya? Apa artinya Sinta tidak peduli lagi dengan janji itu? Farel mencoba mengendalikan diri.
"Apa itu artinya tak ada harapan lagi untuk saya?"
"Anda bicara apa? Janga--"
"Apa karena saya cacat."
Potong Farel merasa sakit hati. Nyatanya orang yang ia cintai sudah tak menunggunya lagi. Apa janji mereka dulu sudah selesai di sini.
Sinta menghela nafas berat. Sungguh sangat berat mengatakannya. Sinta bukan orang yang mudah menyampaikan perasaan. Sinta tak mau Farel salah paham tapi Sinta tak tahu harus memulainya dari mana.
"Bukan itu maksud, saya."
"Lalu?"
"Dokter Sinta!"
Sinta menahan ucapannya mendengar seseorang memanggil namanya. Farel dan Sinta mengalihkan pandangannya pada orang yang menghampiri mereka.
"Akhirnya aku bertemu, kamu."
Farel memicingkan kedua matanya menatap Sinta tajam. Sinta langsung gugup seolah ketahuan menyembunyikan sesuatu.
"D-doktet Rafael."
"Ternyata kamu tidak melupakan saya."
"Mana mungkin saya melupakan anda, dok. Anda it--"
Uhuk!
Sinta langsung menatap Farel yang berbatuk membuat Sinta panik.
" Kenapa? Minum dulu?"
"Eh, maaf saya tidak menyadari ada pasien."
"Pala, Lo!"
Geram Farel pada dokter sok ramah itu. Farel benar-benar kesal melihat interaksi mereka. Mereka seolah sudah saling kenal. Bahkan Sinta terlihat berbinar saat bicara dengan dokter Rafael. Membuat Farel ingin sekali meninju wajah dokter Rafael.
"Tunggu-tunggu! Bukankah anda tuan muda ke tiga Al-karim."
Pekik dokter Rafael menyipitkan mata mencoba mengenali wajah Farel. Dokter Rafael tidak salah, ini benar tuan muda ke tiga.
Farel memasang wajah dingin membuat dokter Rafael merasa tak enak. Ternyata benar dari rumor yang beredar jika tuan muda ke tiga sangat tak bersahabat.
Orang-orang emang menyebut Farel tuan ke tiga Al-karim. Karena terlahir dari generasi ke dua dan anak bungsu generasi ke dua.
Tuan muda pertama di sandang oleh Malik yang di juluki tuan muda Ramah terlahir dari generasi pertama. Tuan muda ke dua oleh Adam yang di juluki dosen dingin. Anak pertama dari generasi ke dua. Dan Farel tuan muda ke tiga karena adik dari Adam.
Siapa yang tidak tahu keluarga terhormat itu.
"Perkenalkan say--"
"Pergi!"
Usir Farel membuat Sinta terkejut. Sinta tak tahu harus bersikap seperti apa. Sinta jadi meras tak enak pada dokter Rafael. Walau bagaimanapun, dokter Rafael adalah senior Sinta.
Dokter Rafael sendiri tercengang akan usiran Farel secara gamblang. Dengan kesal bercampur malu dokter Rafael menarik kembali tangan nya. Lalu menatap dokter Sinta.
"Pulang jam berapa?"
"Mungkin, jam tujuh malam."
"Baik, nanti saya tunggu."
"Do-- anda mau kemana?"
Cegah Sinta panik tak jadi meneruskan pembicaraan dengan dokter Rafael. Sinta menahan kursi roda Farel. Namun, Farel tak mengindahkan ucapan Sinta. Farel terus memutar kursi rodanya dengan kedua tangan. Farel benar-benar kesal akan interaksi Sinta dan dokter Rafael. Membuat Farel gagal mengungkapkan isi hatinya. Benar-benar menyebalkan.
Sinta jadi bingung sendiri harus berbuat apa. Sinta menatap sendu dokter Rafael.
"Tak apa?"
Teriak dokter Rafael mengerti. Dokter Rafael menghela nafas berat menatap kepergian Sinta. Baru saja ia bahagia bisa bertemu Sinta tapi pasien tak sopan itu mengacaukannya.
Dokter Rafael tersenyum tipis, setidaknya ia sudah bertemu Sinta. Dokter Rafael berharap bisa ketemu Sinta lagi dan berbincang banyak.
Sudah lama sekali dokter Rafael menaruh suka pada Sinta. Gadis tak tersentuh oleh siapapun. Dokter Rafael tahu, dulu banyak banget senior yang lain yang menyukai Sinta tapi tak ada satupun yang di terima Sinta. Itulah kenapa dokter Rafael sampai saat ini tak berani mengungkapkannya. Dokter Rafael terlalu takut akan penolakan. Semoga saja masih ada kesempatan untuk dokter Rafael.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen, dan Vote Terimakasih