Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Berangkat
Waktu bergulir begitu saja, sampai tak terasa sudah waktunya Hanung berangkat. Bahkan Surati sudah menunggunya di mobil travel yang terparkir di depan kediaman Pak Kyai.
"Hanung, kalau ada apa-apa segera kabari kami." kata Bu Nyai sambil memeluk Hanung.
"Iya, Umi. Saya titip Gus Zam."
"Tenang saja. Dia bisa mengurus dirinya sendiri."
"Hanung, kalau kamu tidak betah kamu bisa pulang kemari kapan saja!" seru Ning Zelfa.
Semua orang mengucapkan salam perpisahan mereka, kecuali Gus Zam. Ia hanya diam memperhatikan semua orang yang sedih dengan kepergian Hanung. Bukan Gus Zam tidak sedih, tetapi ia sudah berjanji untuk melepaskan Hanung maka ia akan tegar menghadapi perpisahannya. Walaupun pikiran-pikiran buruk sudah bergelayut di benaknya.
"Mas, ingat apa yang aku katakan semalam." Kata Hanung saat mencium punggung tangan suaminya.
"Ya, aku akan ingat."
Semalam Hanung dan Gus Zam tidur sampai larut karena mereka tidak rela untuk memejam mata dan berpisah keesokan harinya. Banyak hal yang mereka bicarakan dan Hanung berpesan kepada suaminya untuk belajar mengurangi konsumsi obat antidepresan yang ternyata memiliki efek samping dan bahaya saat mereka mencari tahu di internet.
"Terimakasih, Mas." Hanung tanpa malu memeluk Gus Zam di hadapan semua orang.
Gus Zam balas memeluk Hanung dan mengecup puncak kepala istrinya. Hatinya benar-benar tak rela melepaskan Hanung. Tetapi klakson mobil menyadarkan mereka dengan perpisahan yang harus mereka hadapi.
"Hanung, pamit. Assalamu'alaikum.." Hanung melangkah keluar dengan tas tenteng berisi pakaiannya dan totebag.
Hanung menyempatkan melambaikan tangan sambil tersenyum kearah semua orang sebelum masuk kedalam mobil. Tetapi begitu di dalam mobil, senyum Hanung memudar.
"Kamu seperti dipaksa saja!" kata Surati setelah Hanung mencium tangannya.
"Memang dipaksa, Bu." jawab Hanung.
"Kamu!" Surati mencoba menenangkan emosinya.
Mobil pun melaju meninggalkan pesantren. Perjalanan dari Bojonegoro menuju Surabaya hanya membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Hanung menghabiskan waktunya dengan membaca buku yang diberikan oleh Ning Alifah. Rata-rata buka yang diberikan oleh Ning Alifah adalah buku panduan untuk menjadi istri. Hanung membacanya dengan serius karena ia harus siap saat nanti ia bisa kembali bersama Gus Zam.
"Untuk apa membacanya? Setelah kamu sampai di Kalimantan, kamu akan bertemu yang lebih baik dari suamimu sekarang." kata Surati yang melihat judul buka yang dibaca Hanung.
"Aku bukan Ibu."
"Bisa tidak kamu tidak menjawab Ibu seperti itu?" Surati kembali emosi.
"Aku punya mulut untuk menjawab dan otak untuk berpikir, Bu. Jangan samakan aku dengan Ibu."
"Seperti inikah didikan orang pesantren? Hebat sekali!"
"Apa yang aku ucapkan tidak ada hubungannya dengan pesantren atau orang yang mendidikku. Aku menjawab sesuai apa yang aku rasakan." Hanung tidak Terima Surati menyalahkan Ibu Jam atau pesantren.
"Katanya kamu mau berbakti? Ini bukan berbakti, tetapi melawan!" Hanung terdiam.
"Berbakti yang seperti apa yang Ibu inginkan?" tanya Hanung kemudian.
"Turuti Ibu, jangan membantah!"
"Oke. Selama tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan nuraniku, aku akan menuruti Ibu."
Surati merasa puas dengan jawaban Hanung. Ia pun tak lagi mempermasalahkan Hanung yang kembali membaca sampai mereka sampai di Bandara. Hanung lebih banyak diam dan mengikuti arahan Surati sampai mereka menunggu di ruang tunggu.
Hanung mengirimkan pesan kepada Gus Zam dan mengatakan bahwa ia sudah ada di ruang tunggu. Gus Zam yang sudah menunggu kabar sedari tadi pun segera membalas pesan Hanung.
Mas Zam: Alhamdulillah.. Bagaimana diperjalanan tadi?
Humaira ku: Alhamdulillah lancar, Mas. Sudah makan siang?
Mas Zam: Belum.
Humaira ku: Segera makan siang, aku menyimpan kejutan di kitchen set paling kiri.
Mas Zam: Apa itu?
Humaira ku: Mas cek sendiri. Sudah ada panggilan, Hanung pamit dulu. Nanti Hanung kabari lagi kalau pesawat sudah landing.
Mas Zam: Ya, Hati-hati istriku..
Gus Zam menatap pesan yang ia kirimkan tidak centang biru, artinya Hanung belum membaca pesan nya. Ia pun meletakkan ponselnya dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Tujuannya adalah kitchen set yang Hanung maksud. Saat membukanya, Gus Zam menemukan kue brownies dengan siraman coklat kacang diatasnya.
"Aku mau.." kata Ning Zelfa dari belakang tubuh Gus Zam.
"Kamu tahu kapan Hanung membuatnya?" Ning Zelfa menggeleng.
"Tadi sambil memasak Hanung membuatnya. Setelah kamu berangkat mandi, baru dia menghiasnya dengan coklat yang kalian beli kemarin." kata Bu Nyai yang baru datang.
"Ayo kak, kita makan sama-sama." Ning Zelfa merebut nampan dari tangan Gus Zam dan segera membelah brownies menjadi beberapa potongan.
"Tapi kenapa kue, Umi?" tanya Ning Zelfa sambil menyiapkan kue kedalam mulutnya.
"Ulang tahun kakakmu kan sebentar lagi."
"Hanung tahu?" Tanya Gus Zam yang memandangi kue yang di depannya.
"Umi yang kasih tahu."
Bu Nyai pun ikut memakan kue tersebut. Pagi tadi, selain membuat kue Hanung juga berpesan kepada Bu Nyai untuk memberikan hadiah. Tetapi beliau menolak karena sebaiknya Hanung memberitahu suaminya sendiri.
Gus Zam mulai menyuapkan kue ke mulutnya. Hanung sangat perhatian kepadanya. Bahkan mulai dari kemarin Hanung menyiapkan semua kebutuhannya. Dan semalam, Hanung tidur berbantalkan lengannya dan memeluknya. Saat bangun tidur juga dengan senyum memberikan kecupan di pipi kanannya. Hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hanung seperti meninggalkan kesan tak terlupakan tetapi justru membuatnya mengaharapkan hal tersebut bisa terjadi setiap hari.
"Adib, apakah Hanung ada mengabari sampai mana?" pertanyaan Bu Nyai membuyarkan lamunan Gus Zam.
"Di pesawat sekarang, Mi."
"Alhamdulillah.. Umi pergi dulu, ada kajian dengan Ibu-ibu komplek."
Bu Nyai pamit, diikuti Ning Zelfa yang ada kelas sore. Gus Zam melihat kembali kue buatan Hanung dan menyimpannya ke dalam kulkas.
Mas Zam: Kuenya enak. Terimakasih istriku..
Satu jam kemudian, ada pesan masuk di ponsel Gus Zam.
Humaira ku: Alhamdulillah Mas Zam, suka. Hanung baru saja keluar Bandara Syamsuddin Noor ini, Mas. Kata Ibu masih harus menunggu jemputan."
Mas Zam: Apakah masih jauh dari bandara?"
Humaira ku: Katanya masih sekitar 6 jam lagi, Mas. Ibu tinggal di kota Batulicin - Kalsel.
Segera Gus Zam membuka laptopnya dan mencari kota yang dimaksud Hanung. Gus Zam juga mencari tahu bagaimana kota tersebut. Siapa tahu memungkinkan dirinya menyusul Hanung. Tetapi sebelum itu, ia harus sembuh dulu. Gus Zam pun menghubungi psikiater yang biasa menanganinya.
"Kenapa Zam?"
"Saya ingin konsultasi."
"Datanglah seperti biasa. Aku akan menunggumu."
"Terimakasih."
"Zam.."
"Ya."
"Dari suaramu seperti nya ada kabar baik."
"Saya tidak tahu." Gus Zam menutup panggilannya.
Psikiater yang ada diujung sana bisa tahu dari suara Gus Zam. Saat ini mental Gus Zam sedang stabil. Tetapi beliau tidak bisa berbahagia dulu karena kasus trauma seperti Gus Zam hanya akan stabil sementara dan akan memburuk jika sedikit terpicu.