Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23 : Jebakan yang Tersembunyi
Selly, Bunga, Mayang, dan Mita bergerak cepat di dalam gudang, dengan hati-hati melumpuhkan beberapa penjaga di sepanjang jalan. Mereka semakin mendekati ruangan utama, tempat Pak Mike diduga bersembunyi. Tapi Selly merasa ada sesuatu yang aneh. Semuanya berjalan terlalu lancar, seolah-olah mereka sedang diarahkan ke suatu tempat.
"Jangan lengah," bisik Selly kepada yang lain, matanya tajam mengamati sekitar.
Namun, firasatnya terbukti benar. Saat mereka mencapai koridor yang menuju ke ruangan belakang, pintu besar tiba-tiba tertutup di belakang mereka dengan suara keras. Anak buah Pak Mike, yang sejak awal sudah mencurigai gerakan mereka, langsung muncul dari balik bayangan dan mengepung mereka dengan senjata di tangan. Dari arah depan, terdengar suara tawa dingin.
"Kalian benar-benar berpikir bisa menipu kami?" suara berat Pak Mike menggema di ruangan. Dari sudut gelap, dia muncul dengan langkah pelan, diapit oleh beberapa pria berbadan besar yang tampak siap bertindak kapan saja.
Selly, Bunga, Mayang, dan Mita mundur perlahan, berusaha mencari jalan keluar, tapi mereka sudah terperangkap. Pintu-pintu di sekeliling mereka telah dikunci, dan tidak ada celah untuk kabur. Pak Mike tersenyum puas, matanya penuh dengan kebencian yang terpendam.
"Selly, Bunga, Mayang, Mita... Aku sudah tahu sejak awal kalian datang. Salah satu dari kalian membuat kesalahan di jalan raya. Dan sejak saat itu, anak buahku tidak pernah lepas dari kalian," lanjut Pak Mike sambil mendekat dengan penuh keyakinan.
Selly menahan amarahnya. Dia tahu situasi ini gawat, tapi tidak ada gunanya panik. "Dasar pengecut. Beraninya menyiksa dan memanfaatkan orang-orang tak bersalah," kata Selly dengan nada tegas, meski dadanya berdebar kencang. Dia tidak akan menunjukkan ketakutannya di hadapan musuh.
"Kalian terlalu berani untuk sekelompok wanita. Sayangnya, kebodohan kalian hanya menyumbang nyawa saja," ucap Pak Mike dingin.
Dengan isyarat tangannya, anak buahnya pak mike mulai bergerak maju, menyiapkan borgol dan tali untuk mengikat Selly dan yang lainnya. Meski Selly dan kawan-kawannya sempat melawan, jumlah mereka terlalu sedikit. Dalam waktu singkat, keempatnya tertangkap dan diikat dengan kasar di tiang besar di tengah ruangan.
"Rangga... di mana Rangga?" Mita berbisik pelan, suaranya gemetar.
Selly melirik pintu belakang. "Dia berhasil kabur... mungkin sekarang dia sedang mencari bantuan," jawab Selly, berusaha menenangkan dirinya dan yang lain. Tapi situasi semakin tegang. Mereka kini menjadi tawanan, dan Pak Mike punya kuasa penuh atas mereka.
Sementara itu, Rangga yang berada di sisi timur gudang, merasakan firasat buruk saat mendengar suara pintu ditutup dengan keras dari arah tempat Selly dan yang lainnya berada. Dia segera berlari menuju posisi mereka, tapi anak buah Pak Mike sudah mendahuluinya. Mereka berhamburan keluar dari gudang dengan tujuan menangkap siapa pun yang tersisa.
Tanpa buang waktu, Rangga memutuskan untuk melarikan diri ke arah hutan, dengan napas memburu dan detak jantung yang kian cepat. Di tengah malam yang gelap, dia bergerak lincah di antara pepohonan, mencoba mencari jalan yang aman agar bisa kembali ke kota dan meminta bantuan. Setiap langkahnya terasa seperti dikejar bayang-bayang kematian.
Rangga tahu dia harus bertindak cepat. Selly dan yang lainnya sudah tertangkap, dan jika dia tidak segera mendapatkan bala bantuan, nasib mereka mungkin akan bernasib sama seperti Tiara dan Putri. Pak Mike akan menikmati tubuh mereka dengan kejam, Rangga tahu bila Pak mike masih dendam karena Tiana dan Putri berhasil lolos. Sambil menahan diri agar tetap tenang, Rangga menyusun rencana dalam pikirannya. Langkah pertama adalah menghubungi Pak Arif dan memastikan mereka tahu apa yang terjadi.
Setelah beberapa kilometer berlari di tengah hutan, Rangga berhenti sejenak, bersembunyi di balik semak-semak untuk menarik napas dan mengintai sekeliling. Dia tahu anak buah Pak Mike masih mencarinya. Namun, dari kejauhan, ia bisa mendengar suara langkah-langkah berat mendekat. Waktu semakin sempit, dan dia harus bertindak cepat.
Dengan perasaan cemas, Rangga merogoh ponselnya. Namun, sinyal di tengah hutan sangat lemah. Dia mencoba beberapa kali mengirim pesan singkat ke Pak Arif, tapi pesan-pesannya selalu gagal terkirim. Kesadarannya kini hanya satu: dia sendirian, dan harus keluar dari hutan ini sebelum tertangkap.
"Tenang Ga, kamu harus tetap tenang," gumamnya pada diri sendiri. "Aku pasti bisa keluar dari sini."
Rangga kemudian memutuskan untuk terus bergerak, meski kakinya mulai terasa lelah. Satu-satunya harapannya adalah menemukan jalan setapak yang akan membawanya ke peradaban. Setiap detik yang berlalu terasa seperti ancaman. Di belakangnya, suara pecahan ranting dan desahan napas orang-orang yang mengejarnya semakin jelas.
Kembali di gudang, Selly, Bunga, Mayang, dan Mita kini berada di bawah pengawasan ketat anak buah Pak Mike. Mereka diikat dengan kuat, sementara Pak Mike berdiri di depan mereka dengan senyum licik.
"Kalian pikir ini sudah selesai?" tanya Pak Mike dengan nada dingin. "Kalian baru saja memulai perjalanan panjang menuju penderitaan."
Selly menatap tajam ke arahnya, sementara Bunga dan Mayang mulai merasakan ketegangan yang tak tertahankan. Mita, yang biasanya ceria, kini terdiam dengan wajah pucat.
"Rangga akan datang kembali untuk kami," kata Selly tegas, meskipun di dalam hatinya, dia tidak tahu seberapa besar harapan itu masih bisa digantungkan. Namun, dia tidak ingin menyerah tanpa perlawanan.
Pak Mike terkekeh pelan. "Oh, Rangga? Aku meragukan itu. Jika dia berani kembali, dia akan bernasib sama seperti kalian atau bahkan lebih buruk."
Dalam situasi genting ini, Selly berusaha keras memikirkan cara untuk melarikan diri. Mereka perlu bertahan, menunggu kesempatan sekecil apa pun. Tapi waktu terus berjalan, dan nasib mereka kini ada di tangan Pak Mike.
Di tengah hutan, napas Rangga mulai teratur setelah berlari sejauh mungkin dari pengejaran. Dia bersandar pada batang pohon yang besar, mengangkat teleponnya dengan tangan gemetar, dan menghubungi Pak Arif. Suara Pak Arif terdengar penuh harapan di ujung sana, namun cepat berubah tegang saat Rangga mulai bercerita.
“Pak Arif… saya gagal,” Rangga membuka percakapan dengan nada penuh rasa bersalah. “Selly, Mita, Bunga, dan Mayang… mereka tertangkap. Saya tidak bisa menyelamatkan mereka. Mereka disekap di sebuah gudang oleh anak buah Pak Mike.”
Hening sesaat menggantung di antara mereka. Jantung Rangga berdegup kencang, menunggu reaksi Pak Arif.
Pak Arif menarik napas panjang. “Tenang, Rangga. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Yang penting sekarang kamu selamat. Dengarkan saya baik-baik, ada gua di lereng gunung tak jauh dari tempatmu sekarang. Bersembunyi lah di sana untuk sementara waktu. Kami akan mencari cara untuk menyelamatkan yang lain.”
Rangga, meskipun masih merasa bersalah, mengangguk kecil. “Baik, Pak. Saya akan menuju ke sana sekarang.”
Setelah mematikan panggilan telepon, Rangga segera bergegas mengikuti instruksi Pak Arif. Langkah kakinya semakin cepat ketika dia merasakan angin malam yang semakin dingin. Dalam pikirannya, dia tahu bahwa keselamatan Selly, Mita, Bunga, dan Mayang ada di tangan Pak Arif, dan dia harus mempercayai pria itu sepenuhnya.
Sementara itu, di sebuah tempat persembunyian yang jauh dari keramaian, Pak Arif menatap ponselnya dengan ekspresi penuh beban. Dengan hati-hati, dia menyembunyikan kecemasannya di balik wajah tenang. Meskipun semua orang di dalam rumah kecil yang mereka tumpangi merasa lega setelah berhasil melarikan diri dari anak buah Pak Mike, Pak Arif tahu bahwa masalah yang lebih besar sedang menanti di depan mereka.
Dia mendekati Diana yang sedang berbicara dengan Tiara dan Putri. Di dalam ruangan yang sederhana itu, kehangatan seakan menyelimuti mereka semua, meskipun situasi di luar sangat berbahaya. Pa Arif terpaksa memikirkan cara lain untuk menjaga ketenangan mereka.
"Diana," panggil Pak Arif dengan lembut. “Saya perlu keluar sebentar. Ingin membeli beberapa keperluan di supermarket. Mungkin akan butuh sedikit waktu.”
Diana menoleh dengan alis mengernyit. “Supermarket? Sekarang?”
Pak Arif tersenyum kecil. “Iya, ini kesempatan terbaik. Sebelum keadaan semakin kacau, lebih baik kita siapkan bekal.”
Meskipun ragu, Diana akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi hati-hati. Jangan terlalu lama, ya. Kami di sini akan baik-baik saja."
Pak Arif tersenyum, berusaha menenangkan dirinya. Ia menyadari bahwa Diana dan yang lain tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia terpaksa berbohong agar mereka tidak khawatir. Di hatinya, rasa tanggung jawab semakin besar. Dia harus menemukan cara untuk menyelamatkan Selly dan yang lainnya sebelum segalanya terlambat.
Begitu keluar dari rumah, langkah Pak Arif semakin cepat. Dia tidak menuju ke supermarket seperti yang dikatakannya kepada Diana. Sebaliknya, dia langsung memikirkan rencana untuk menyelamatkan Selly dan yang lainnya dari cengkeraman Pak Mike. Matahari sudah mulai terbenam, dan waktu semakin sempit.
“Semoga aku tidak terlambat,” gumam Pak Arif pada dirinya sendiri, sambil terus mempercepat langkahnya.
Sementara itu, Rangga tiba di lereng gunung, menghadap pada pintu masuk gua yang nyaris tersembunyi di balik semak-semak lebat. Keringat membasahi dahinya meski udara malam semakin dingin. Dia melangkah masuk ke dalam gua yang gelap dan lembab, merasa sedikit lega setelah akhirnya menemukan tempat persembunyian yang aman. Suara angin yang berhembus di luar membawa perasaan tenang, tapi Rangga tahu bahwa ketenangan ini hanya sementara.
Di dalam gua, Rangga menatap ponselnya lagi. Tidak ada sinyal di tempat ini. Itu berarti dia tidak bisa lagi berkomunikasi dengan Pak Arif atau siapa pun untuk sementara waktu. Sambil menghela napas panjang, dia memutuskan untuk beristirahat sejenak, meski pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang nasib Selly dan yang lainnya.
“Pak Arif pasti punya rencana,” kata Rangga pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan kegelisahannya.
Namun, di dalam kegelapan gua itu, waktu terasa berjalan sangat lambat. Setiap detik yang berlalu membuat ketegangan semakin meningkat.