Zella, gadis bar-bar yang baru berumur 19 tahun, sekaligus pemilik sabuk hitam karate. dia terkenal di kalangan anak seusianya karena memiliki sifat ceria dan blak-blakan serta tak kenal takut.
Hingga suatu hari saat dia hendak berangkat ke tempat latihannya, dia tersandung batu dan membuat tubuhnya nyungsep ke dalam selokan dan meninggal di tempat.
Zella kira dia akan masuk ke dalam alam baka, namun takdir masih berbaik hati membiarkan dia hidup meski di tubuh orang lain.
Zella bertransmigrasi ke dalam novel yang sudah lama dia baca, dan menjadi tokoh antagonis yang selalu menyiksa anaknya.
Akankah Zella mampu mengubah sebutan 'Penjahat' pada dirinya? dan meluluhkan hati anaknya yang sudah di penuhi dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
...Di paksa maju oleh perasaan, tapi di pukul mundur oleh kenyataan....
...>Zella <...
...☠️☠️☠️...
Mansion mewah bergaya modern milik keluarga Allyshon, terlihat sedang di liputi kebahagiaan. Kabar bahwa putri sulung mereka berhasil meraih penghargaan bergengsi kali ini, membuat mereka sangat bangga.
"Pah, kita harus menyiapkan pesta yang mewah nanti saat Silla pulang!" ujar perempuan paruh baya bernama Nadin Allyshon.
"Tentu saja, kita perlu menunjukan pada dunia siapa itu Silla dan keluarganya," sahut Toni Allyshon.
Nadin mengangguk antusias, sampai datang pertanyaan sang suami yang membuat senyum di wajah Nadin meredup, di gantikan raut sinis di wajahnya.
"Mah, kita ke rumah Zella yuk, udah lama kita nggak pernah jenguk dia,"
"Ngapain ke sana sih, Pah? Anak itu nggak berguna! Dia cuma bikin aib buat keluarga kita," protes Nadin.
Toni meraih lembut tangan istrinya, dia mengelus punggung tangan Nadin.
"Zella juga anak kita, Mah, bagaimana pun juga Papah menyayangi dia, Zella anak yang baik dia sudah bertahan sejauh ini demi keluarga kita, sekarang waktunya kita menemui dia," usul Toni.
Nadin berdecak sebal, namun dia tetap menyetujui ajakan suaminya. Toni menyambut hangat persetujuan sang istri, dia mengecup singkat punggung tangan Nadin lalu meminta Nadin bersiap-siap sebelum hari semakin siang.
...***...
Beberapa menit kemudian, Nadin dan Toni sudah berada di dalam mobil mereka. Perjalanan menuju kediaman Zella memakan waktu cukup lama, saat melewati toko kue Toni meminta supirnya berhenti sejenak. Dia berniat membelikan kue kesukaan putrinya, baru saja Toni membuka pintu seruan sang istri menghentikan pergerakannya.
"Pah, buat apa repot-repot beli kue segala? Anak itu bisa beli sendiri, jangan terlalu di manja, Pah! Nanti Zella besar kepala." Tukas sang istri.
"Mah, meski pun sekarang Zella sudah berkeluarga tapi bagi Papah dia masih anak kecil, apa Mamah nggak malu ke sana tanpa membawa apa pun?" sahut Toni.
Kesabarannya hampir habis menghadapi protes Nadin sejak tadi, jika saja dia tidak mencintai istrinya mungkin saat ini pertengkaran sudah terjadi di antara mereka.
Nadin membuang muka ke samping, membiarkan Toni turun dan membeli kue kesukaan Zella.
Satu jam kemudian mereka berdua sampai di mansion Zella, namun rumah itu nampak sepi hanya ada tukang kebun dan beberapa pelayan yang sedang bersih-bersih.
Toni turun lebih dulu, dia menghampiri satu pelayan yang sedang membersihkan kaca.
"Permisi, apa nyonya kalian ada di rumah?" tanya Toni sopan.
Pelayan itu menggeleng pelan, dia lalu menjawab, "Nyonya sedang pergi ke time zone, Tuan besar."
"Sudah berapa lama dia pergi?" lanjut Toni.
"Sudah tiga jam, Tuan, mungkin sebentar lagi nyonya pulang." Sahut pelayan tersebut.
Toni mengangguk-anggukan kepalanya, dia kembali melangkah menuju mobil untuk mengajak Nadin menunggu di dalam rumah.
"Zella sedang keluar, lebih baik kita tunggu di dalam," usul Toni.
Meski malas Nadin tetap mengikuti langkah suaminya, mereka di pandu menuju ruang tamu. Para pelayan mulai menyiapkan camilan serta dua cangkir teh untuk kedua orang tua Zella.
Nadin mengamati kondisi mansion itu, terlihat foto-foto pernikahan yang dulu berjejer rapi di meja kaca serta nakas kini sudah menghilang. Hanya ada satu foto yang masih terpajang di pojok ruangan itu, yaitu foto Arzen dan juga Zella tanpa adanya Zion di antara mereka.
Nadin merasa ada yang aneh, dia tahu betul seperti apa Zella dan seberapa besarnya rasa suka yang dia miliki. Tapi sekarang yang dia lihat seolah Zella sedang membuang Zion dari kehidupannya.
...***...
Di sisi lain, Zella dan ketiga orang lainnya baru saja keluar dari time Zone. Mereka berbincang-bincang ringan seraya berjalan menuju restauran, sesekali Zella melihat Arzen curi-curi pandang padanya, Zella hanya berpura-pura tidak melihat hal tersebut dia tak ingin membuat Arzen merasa kikuk.
Saat mereka tiba di restauran, mereka langsung memesan beberapa makanan yang menurut Zella itu sangat mahal.
'Astaga, mahal banget! Ini sih bisa buat gue ongkos ke kampus.' Batin Zella teringat kenangannya di masa lalu.
Ziven mengernyitkan kedua alisnya saat melihat Zella sedang menghitung jemarinya, makanan di atas meja tersaji dengan baik mereka mulai menikmati makanan itu dengan santai.
Beberapa menit berlalu, ponsel di saku jaket Zella berdering. Dia meletakan sendok dan garpunya di atas piring, Zella mengeluarkan ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar.
Perempuan itu segera mengangkat panggilan dari nomor rumahnya, saat sudah terhubung Zella segera menanyakan alasan mereka menghubunginya.
Awalnya ketiga pemuda yang duduk di satu meja dengan Zella masih acuh tak acuh, akan tetapi mereka semua menjadi cemas saat Zella tiba-tiba menggebrak meja namun mengenai piringnya, hingga membuat piring di depan Zella terbelah menjadi dua.
"Sialan! Sialan," racau Zella.
"Zel, lo kenapa?" tegur Ziven menepuk pundak Zella pelan.
Arzen melihat tangan ibu tirinya memerah, dia ingin memberitahu Zella bahwa tangannya memar. Namun belum sempat Arzen berkata, Zella sudah berbicara lebih dulu.
"Arzen, Mommy pulang dulu. Kamu jangan pulang ke rumah sampai Mommy jemput kamu, kamu bisa main ke rumah Orvie dulu sambil nunggu Mommy, yah?" ujar Zella penuh harap.
Arzen menaikan satu alisnya ke atas, dia kembali bertanya, "Kenapa gue nggak boleh pulang?"
"Bukan nggak boleh pulang, Sayang, tapi Mommy ada urusan penting di rumah, kamu bisa penuhi permintaan Mommy, kan?" ujar Zella memelas.
Dia tidak ingin menunjukan sisi beringasnya lagi pada Arzen, karena dia sendiri takut nanti akan lepas kendali saat bertemu orang tuanya.
Arzen mengangguk paham, meski dia penasaran dan ingin menanyakan lebih lanjut namun sepertinya perempuan itu tak ingin membahasnya.
Zella menoleh ke arah kiri, di sana terlihat Ziven sedang menatapnya dengan kening berkerut.
"Gue titip anak-anak, Ven, anterin dia ke rumah Orvie lo bisa?"
Tanpa ada keraguan sedikit pun, Ziven mengangguk, "Bisa, lo tenang aja anak-anak pasti aman sama gue."
"Makasih, Ven, gue pergi dulu." Pamit Zella seraya berdiri dari kursinya.
Sebelum pergi dia mengusap pucuk kepala Arzen, senyum lembut Zella berikan padanya. Setelahnya dia berlari kecil menuju mobil yang terparkir di halaman restauran, mereka bertiga datang dengan kendaraan masing-masing, karena Arzen masih enggan satu mobil dengannya.
Melihat kepergian Zella, Arzen merasa ada hal tidak beres yang di sembunyikan oleh ibu tirinya. Tak ingin membuang waktu Arzen berdiri dari kursi dia berniat menyusul Zella, tapi saat dia hendak keluar pergelangan tangannya di tahan oleh Ziven.
"Kamu mau kemana? Tadi ibu kamu nyuruh kamu tetap di sini, kan?" ujar Ziven.
"Minggir, gue nggak punya urusan sama anda!" Arzen menyentak tangan Ziven dengan kasar.
"Kamu mau bikin ibumu cemas hm?" lanjut Ziven kembali mencegah langkah Arzen.
Tanpa menoleh Arzen menjawab, "Justru karena gue cemas, gue harus pulang."
Ziven tertegun, nada suara Arzen terdengar gemetar dan panik. Dia berniat kembali mencegah langkah Arzen, namun Orvie menyelanya.
"Jangan, Om. Mungkin ini satu-satunya cara biar hubungan Tante Zella dan Arzen bisa menjadi lebih baik," ujar Orvie.
"Maksudmu?" Ziven terlihat kebingungan.
Namun Orvie tak menjawab, dia memilih diam dan melanjutkan makanannya. Membiarkan Ziven bermain-main dengan pemikirannya sendiri.