"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Menjauhkan
Di kediaman Diva
Diva menatap kertas di tangannya, meremasnya perlahan sebelum akhirnya melemparkannya ke meja. Informasi itu akhirnya terungkap. Ia sekarang tahu siapa sosok di balik investasi besar yang telah menyelamatkan perusahaan dan mengukuhkan posisi Ziyo.
Namun, bukannya marah, bibirnya justru melengkung membentuk senyuman. Mata dinginnya berkilat penuh arti. "Mari kita kunjungi putraku tercinta," gumamnya. "Aku ingin melihat bagaimana wajahnya sekarang."
***
Di kamar perawatan Ziyo
Ruangan itu dipenuhi aroma antiseptik yang khas, cahaya matahari samar masuk melalui jendela, membentuk bayangan lembut di lantai. Ziyo duduk bersandar di tempat tidurnya, wajahnya yang baru terbebas dari perban tetap datar, tak menunjukkan ekspresi berarti. Hania berdiri di sampingnya, diam namun sigap, seolah tak ingin melewatkan satu detail pun dalam tugasnya merawat pria itu.
Saat pintu terbuka, suara langkah pelan menggema di ruangan. "Ziyo," suara lembut Diva terdengar, penuh kehangatan yang palsu.
Ziyo tetap diam, hanya kepalanya yang sedikit miring ke arah suara tersebut. Ia tidak bisa melihat, tetapi ia bisa merasakan hawa keberadaan ibu tirinya.
Diva melangkah mendekat, menatap wajah Ziyo dengan sorot mata menilai. "Wajahmu… semakin tampan," ucapnya dengan nada manis, nyaris terdengar bangga. "Dokter telah melakukan pekerjaan yang luar biasa."
Ziyo tetap tak bereaksi. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia akhirnya berbicara dengan suara datar, tetapi ada ketajaman yang tersembunyi di baliknya. "Bagus kalau begitu. Sekarang aku tak hanya buta dan lumpuh, tapi juga tampan. Sungguh kombinasi yang menarik, bukan?"
Diva tersenyum tipis, sedikit terkejut dengan responsnya, tetapi segera mengendalikan ekspresinya. "Ziyo, kau tetaplah anakku. Aku hanya ingin memastikan kau mendapat perawatan terbaik."
Ziyo mengangguk kecil, seolah menerima kata-kata itu, tetapi sudut bibirnya terangkat tipis. "Tentu. Aku tahu betul betapa besar perhatianmu padaku... terutama saat aku tak lagi bisa mengawasi perusahaan."
Keheningan memenuhi ruangan. Senyum Diva tetap terjaga, tetapi sorot matanya sedikit mengeras. Ia bisa merasakan sesuatu dalam nada Ziyo, sesuatu yang mengisyaratkan bahwa pria itu tak sepenuhnya buta terhadap niatnya yang sebenarnya.
Untuk mengalihkan suasana, Diva mengalihkan pandangannya ke Hania. Wanita berpenampilan sederhana itu berdiri tegak di samping Ziyo, sikapnya penuh kewaspadaan.
Diva tersenyum lebih lebar. "Hania, kau benar-benar perawat yang luar biasa. Ziyo terlihat lebih sehat dibanding terakhir kali aku melihatnya. Aku sangat berterima kasih atas kerja kerasmu."
Hania menundukkan kepala dengan sopan. "Sudah tugas saya, Nyonya."
Namun, di balik senyum ramahnya, Diva menatapnya dengan penuh perhitungan. Wanita ini bukan hanya sekadar perawat biasa. Ia bukan hanya menemukan kesalahan obat yang ingin ia sabotase, tetapi juga terlihat begitu setia pada Ziyo, jauh lebih baik dari yang Diva perkirakan.
Ia merekrut Hania dengan alasan yang sangat jelas, karena dia tampak sederhana, tidak berpendidikan tinggi, dan bisa digaji murah. Ia berpikir suatu saat bisa membodohi atau bahkan memanipulasi wanita itu. Tapi sekarang, semua di luar ekspektasinya. Hania lebih sulit dikendalikan dari yang ia kira.
Diva berdehem kecil, lalu kembali menatap Ziyo. "Ziyo, istirahatlah yang cukup. Aku akan memastikan segalanya berjalan baik di perusahaan selama kau pemulihan."
Ziyo tersenyum kecil, tetapi senyumnya dingin. "Tentu. Aku percaya kau akan melakukan yang terbaik... untuk dirimu sendiri."
Diva menahan ekspresinya agar tidak berubah. Sekilas, ia melirik Hania sekali lagi sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Ziyo menghela napas pelan. "Dia datang bukan untuk menjenguk, tapi untuk memastikan aku masih tak berdaya."
Hania tetap diam, tetapi tangannya mengepal kecil di sisi tubuhnya. Ia tahu, pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan dari Ziyo.
Pria itu begitu tenang, seolah tidak ada satu pun hal yang mampu mengguncangnya. Bahkan di tengah situasi sulit, ia tetap berpikir jernih, tak terpengaruh emosi.
"Dia benar-benar pria yang tenang..." pikir Hania, tatapannya melekat pada sosok Ziyo yang duduk tegak dengan ekspresi tak terbaca. "Apa yang bisa menggoyahkan ketenangannya? Apa pernah ada sesuatu yang membuatnya kehilangan kendali?"
Sebuah keinginan aneh merayap di hatinya. Ia ingin tahu. Ingin melihat sisi lain dari pria itu. Ingin menjadi orang yang bisa mengguncang dunia tenangnya, atau justru tenggelam dalam ketenangan itu sendiri.
***
Di ruang tamu yang luas dengan jendela besar menghadap taman, Diva duduk dengan anggun di atas sofa mewah.
Diva menatap putranya yang duduk di sofa dengan ekspresi bosan. Zian sibuk memainkan ponselnya, tetapi sesekali ia melirik ke arah jam dinding, seolah sedang menunggu sesuatu. Diva mendesah pelan.
“Kau ingin menjenguk kakakmu lagi?” tanyanya, meski sudah tahu jawabannya.
Zian mengangkat wajahnya. “Ya. Kak Ziyo baru saja menjalani operasi. Aku ingin melihat keadaannya.”
Diva tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan ketidaksukaannya. “Zian, Mama tahu kau peduli padanya, tapi dokter bilang dia masih butuh banyak istirahat. Lagipula, kau 'kan sibuk dengan sekolah dan ekskulmu. Kakakmu pasti mengerti.”
“Tapi, Ma—”
Diva meraih tangan Zian, menepuknya lembut. “Nak, Mama hanya ingin kau fokus pada masa depanmu. Kau ingin membantu Kakakmu di perusahaan, 'kan saat sudah dewasa nanti?”
Zian terdiam. Diva tahu, putranya memiliki ambisi, dan itulah yang akan ia manfaatkan.
“Kak Ziyo bisa mengurus dirinya sendiri. Apalagi ada perawat yang menjaganya,” lanjut Diva dengan nada meyakinkan. “Lagipula, terlalu sering menjenguknya mungkin hanya akan membuatnya merasa semakin terpuruk. Dia butuh waktu untuk menerima keadaannya.”
Zian mengernyit. “Tapi, Ma, Kak Ziyo tetap kakakku. Aku tidak bisa membiarkannya sendiri.”
Diva menarik napas panjang, lalu menghela dengan nada penuh keprihatinan. “Mama hanya takut kau terlalu bergantung padanya, Nak. Kau tahu sendiri, Kak Ziyo selalu mendominasi sejak kecil. Mama ingin kau belajar berdiri sendiri, membuat keputusan tanpa harus selalu mendengar pendapatnya.”
Zian terdiam. Keraguan mulai muncul di wajahnya. Diva tersenyum dalam hati.
“Berjanjilah pada Mama,” lanjutnya dengan suara lembut namun tegas, “untuk tidak terlalu bergantung pada Kak Ziyo. Kau harus mulai memikirkan langkahmu sendiri.”
Zian menatap ibunya sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baik, Ma.”
Diva tersenyum puas. Ia tahu, ini baru langkah awal. Jika ia ingin memastikan posisinya tetap aman, ia harus membuat Zian menjauh dari Ziyo, sebelum kakaknya itu kembali bangkit dan mengacaukan semua rencananya.
Suasana hening sejenak hingga Diva kembali bersuara. "Oh, ya, Mama sudah memutuskan,” kata Diva dengan nada tenang namun penuh otoritas. “Kau akan masuk ke sekolah asrama.”
Zian mengernyit, tubuhnya menegang. “Apa?”
“Sekolah ini memiliki kurikulum terbaik. Mereka sudah mencetak banyak lulusan yang diterima di universitas ternama, baik dalam maupun luar negeri,” lanjut Diva seolah tidak melihat reaksi putranya.
“Bukankah Mama sudah setuju aku melanjutkan di sekolah yang aku inginkan?” Zian menatap ibunya dengan mata yang penuh kecurigaan. “Apa ini ada hubungannya dengan Kak Ziyo?”
Diva menghela napas, meletakkan cangkir tehnya di atas meja kaca. “Zian, ini demi masa depanmu. Kau harus mulai memikirkan langkah ke depan. Bukan terus-terusan mengkhawatirkan kakakmu.”
Zian menggeleng. “Aku tidak mau. Aku bisa tetap belajar di sini tanpa harus masuk asrama.”
Diva tersenyum tipis. “Di sana, kau akan mendapatkan pendidikan terbaik, koneksi yang luas, dan kebebasan untuk berkembang tanpa bayang-bayang siapa pun.”
“Tapi aku akan kesulitan bertemu Kak Ziyo!” suara Zian meninggi. “Apa itu yang Mama inginkan? Menjauhkan aku dari Kak Ziyo?”
Diva tetap tenang, meski tatapan matanya sedikit mengeras. “Kau akan tetap bisa menjenguknya saat libur.”
Zian mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan pergi.”
Diva berdiri dan menatap putranya dengan lembut namun tegas. “Mama sudah memutuskan.”
Zian membeku. “Mama tidak bisa memutuskan ini sendirian.”
“Aku ibumu,” jawab Diva santai. “Tentu saja aku bisa.”
Mata Zian berkilat marah, tetapi ia tahu betul, saat ibunya sudah mengambil keputusan, akan sulit baginya untuk melawan. Ia mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
“Aku tidak akan membiarkan Mama menjauhkan aku dari Kak Ziyo,” gumamnya dengan suara rendah, hampir seperti ancaman.
Diva tersenyum tipis. “Kita lihat saja nanti, Sayang.”
Ia bangkit dari duduknya, tidak memberi ruang bagi putranya untuk berdebat lebih jauh. Saat melangkah pergi, matanya sedikit menyipit, sementara pikirannya bergemuruh.
"Semakin lama, anak ini semakin dekat dengan Ziyo. Dia lebih mendengarkan kakaknya daripada ibunya sendiri. Apa dia hanya ingin menjadi bayang-bayang Ziyo? Menjadi kacung kakaknya? Dasar anak bodoh! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....