Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Agnes melangkah cepat menuju ruangan Bu Nana, dadanya terasa sesak dengan berbagai pikiran. Ia terpaksa melakukan ini, bukan karena ingin terus dekat dengan Fajar—jangan salah paham! Tapi karena ia tidak mau Fajar benar-benar membuat pengumuman konyol itu, pernikahan mereka.
Tok tok tok.
"Siang, Bu Nana," sapa Agnes dengan suara yang ia usahakan tetap terdengar tegas setelah mendengar persetujuan masuk.
"Siang, Agnes. Ada apa?" Bu Nana menjawab sambil tersenyum tipis, tapi sebelum Agnes sempat mengutarakan maksudnya, Bu Nana lebih dulu berbicara, "Kalau soal dosen pembimbing, saya sudah menghubungi Bu Marta. Kamu bisa mulai bimbingan dengannya minggu depan."
Agnes menelan ludah. Rencananya untuk berbicara dengan tenang langsung berantakan. Ia menarik sudut bibirnya, berdehem kecil untuk menyusun kata-kata.
"Bu... maaf, kalau misalnya saya tidak jadi menyerahkan slot bimbingan Pak Fajar ke Sherly, apa masih bisa?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.
Bu Nana menghentikan gerakan tangannya yang tadi sibuk mencatat sesuatu. Ia melepas kaca matanya dan menatap Agnes tajam, alisnya terangkat tinggi. "Agnes, kamu sadar kan ini bukan hal yang bisa diubah-ubah semaumu? Kamu sendiri yang meminta pindah. Sekarang apa alasanmu ingin kembali ke bimbingan Pak Fajar?"
Agnes merasakan tenggorokannya kering seketika. Jantungnya berdegup lebih kencang, hampir seperti memprotes dirinya sendiri. Ia menunduk sejenak, mencoba mengatur napas. "Bu, saya tahu ini terlihat seperti saya tidak konsisten," ia memulai, suaranya nyaris gemetar, "Tapi saya pikir ulang keputusan saya. Saya rasa, untuk penelitian saya, Pak Fajar adalah pembimbing yang paling cocok."
Tatapan Bu Nana masih menusuk, seperti berusaha menyingkap sesuatu di balik ucapan Agnes. "Jadi, ini murni soal penelitian?" tanyanya tajam. "Atau ada alasan lain yang tidak kamu sampaikan?"
Agnes tercekat. Astaga, kenapa Bu Nana selalu bisa membaca hal yang bahkan tidak ia utarakan? "Tidak, Bu. Tidak ada alasan lain. Saya hanya ingin fokus menyelesaikan studi saya dengan baik," katanya berusaha meyakinkan, meskipun hatinya hampir menjerit, tidak mungkin saya bilang ini karena takut Fajar mengumumkan pernikahan kami ke satu universitas kan!
Bu Nana menghela napas panjang sambil meletakkan penanya. "Baik, Agnes. Tapi, kalau kamu mau mengubah ini lagi, kamu harus bicara dengan Sherly. Saya tidak bisa seenaknya membatalkan, apalagi Sherly sepertinya sudah mulai bimbingan dengan Pak Fajar."
"Hah?" Agnes ternganga, tangannya terkepal. Jika Sherly sudah memulai bimbingan, itu artinya Fajar sudah menerima Sherly sebagai mahasiswanya. Tapi kalau begitu, kenapa pria itu malah menyuruhnya untuk mengubah keputusan? Kepalanya terasa berputar.
"Ibu yakin Sherly sudah bimbingan dengan Pak Fajar?" tanyanya, berusaha memastikan meskipun firasat buruk mulai menyelimuti pikirannya.
"Tentu saja. Begitu kamu menyerahkan slot itu, Sherly langsung ke ruangan Pak Fajar," jawab Bu Nana dengan tenang.
Agnes memejamkan mata sesaat. Rasanya ia ingin menenggelamkan diri ke kursi itu. Kenapa semuanya jadi serumit ini? Fajar, dengan segala kepintarannya, benar-benar suka membuatnya kehilangan akal.
"Em... tapi Bu—"
"Gini aja, Nes. Saya akan panggil Sherly ke sini, jadi kita bisa membicarakan ini baik-baik." Bu Nana memijat pelipisnya pelan, "Kamu bikin saya sakit kepala, Nes."
Agnes tersenyum kecut, mencoba menahan diri untuk tidak melirik sinis. "Sebenarnya bukan saya, Bu, yang bikin Ibu sakit kepala. Pak Fajar—"
"Apa kamu bilang?" Bu Nana menajamkan tatapannya saat mendengar nama lelaki yang ia sukai itu.
Agnes menarik sudut bibirnya, senyum kecil yang penuh akal. Kalau Fajar bisa mengerjainya, kenapa ia tidak bisa membalas? "Bu, sebenarnya kalau boleh jujur, Pak Fajar yang menginginkan saya melakukan ini. Saya jadi curiga deh, Bu... apa Pak Fajar melakukan ini agar bisa terus berinteraksi sama Ibu, ya?"
Bu Nana yang awalnya memijat pelipisnya kini menurunkan tangannya perlahan. Tatapan tajamnya berubah menjadi penuh minat. "Kamu serius?"
"Sepertinya, Bu. Coba Ibu pikirkan lagi. Kenapa hanya dalam hitungan menit Pak Fajar mau saya tetap jadi mahasiswa bimbingannya? Padahal Ibu sudah capek-capek menyelesaikan masalah itu. Nih, Bu... menurut saya, Pak Fajar mulai luluh. Jadi sekarang dia membuka jalan agar Ibu dan Pak Fajar bisa lebih dekat," jelas Agnes penuh percaya diri, meski dalam hati ia tertawa kecil atas cerita karangannya sendiri.
Bu Nana menatap Agnes dengan ekspresi campuran antara syok dan geli. "Kamu ini..."
"Saya cuma membantu analisis, Bu," Agnes menyahut dengan nada polos. "Mungkin Pak Fajar perlu diajak ngobrol lebih lanjut, Bu. Siapa tahu..."
Sebelum Agnes menyelesaikan kalimatnya, Bu Nana sudah menyela, "Aku paham, Nes. Oke, aku akan menghubungi Pak Fajar dan Sherly ke sini agar kami bisa berbicara baik-baik."
Agnes langsung mengangkat kedua ibu jarinya sambil tersenyum puas. Dalam hatinya, ia tertawa, Rasain kamu, Fajar! Mau main-main sama istri? Terima akibatnya.
Beberapa saat berlalu, semua yang dipanggil oleh Bu Nana kini sudah berada di ruangannya, Pak Fajar dan Sherly.
"Ada apa ini, Bu Nana?" Pertanyaan Pak Fajar diarahkan pada Bu Nana, tetapi pandangannya justru tertuju pada Agnes yang sedang tersenyum-senyum sendiri. Fajar bisa menebak bahwa istrinya pasti merencanakan sesuatu yang tidak biasa.
"Hmm... Jadi begini, Pak Fajar. Agnes bilang Bapak ingin dia tetap menjadi mahasiswa bimbingan Bapak. Ini membuat saya jadi sakit kepala, Pak," ujar Bu Nana dengan nada yang sengaja dibuat-buat, seolah-olah ingin menambah tekanan pada situasi.
Fajar melirik Agnes sekali lagi, dan istrinya masih menunjukkan ekspresi yang sama, kini malah menambahkan gerakan bahu yang terangkat seolah-olah tidak tahu apa-apa.
Pak Fajar menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Maaf, Bu Nana, mungkin ada kesalahpahaman di sini. Saya tidak pernah secara eksplisit meminta Agnes tetap menjadi mahasiswa bimbingan saya."
Agnes langsung memotong, "Oh, jadi waktu Bapak bilang saya 'nggak boleh pindah karena cuma Bapak yang ngerti topik penelitian saya,' itu bukan permintaan, ya? Cuma guyonan aja gitu?" Nadanya terdengar santai, tapi jelas ada nada menggoda di baliknya.
"Sepertinya kamu salah tangkap, Agnes. Saya bilang, kamu harus kembali menjadi mahasiswa bimbingan saya jika tidak, saya akan..."
Agnes yang sudah berdebar-debar mendengar ucapan Fajar langsung menyela, "Tuh, benar kan, Bu Nana? Pak Fajar yang meminta saya untuk tetap menjadi mahasiswanya."
Ia langsung beralih pada Fajar dengan nada setengah menyindir. "Pak Fajar, jangan menambah beban Bu Nana hanya karena kepentingan pribadi Pak. Kasihan Bu Nana jadi sakit kepala."
"Agnes, kamu—"
"Sudah, stop! Jangan berdebat lagi. Saya jadi tidak enak hati di sini," sela Bu Nana dengan nada malu-malu, berusaha meredam ketegangan.
Bu Nana menatap mereka berdua sebelum akhirnya memutuskan, "Kalau seperti ini, saya hanya bisa membantu kamu, Agnes, untuk tetap menjadi mahasiswa bimbingan Pak Fajar."
Sherly, yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tidak bisa."
"KenaPa?" tanya Bu Nana dengan bingung.
Sherly menarik sudut bibirnya, menatap Fajar dan Agnes secara bergantian, lalu berkata dengan nada penuh arti, "Karena mereka itu adalah..."