"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Bri menguap lebar sambil menyambar tasnya yang tergeletak di sofa. Matahari baru saja menampakkan diri, dan pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya—tergesa-gesa.
Ia melirik jam dinding. “Aduh, aku telat!”
Tanpa sempat sarapan, Bri bergegas keluar, mengunci pintu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyeimbangkan tas kerja dan termos kopi. Dengan sedikit terburu-buru, ia menaiki mobilnua dan menyalakan mesin.
“Hari ini harus lancar,” gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri.
Namun, kehidupan tampaknya memiliki rencana lain. Bri menepi sebentar di seberang minimarket untuk membeli beberapa roti. Setelah itu dia berjalan keluar tanpa memperhatikan apa yang ada di sekitarnya. Di persimpangan dekat minimarket, seorang pengendara yang kurang hati-hati menyalip terlalu cepat. Bri mencoba menghindar, tetapi kehilangan kendali.
“Ah!”
Bri terjatuh. Tangannya tergores aspal, dan lututnya menghantam tanah. Kantong belanjaannya jatuh berserakan. Beberapa orang di sekitar segera berlari mendekat.
“Kakak tidak apa-apa?” seorang pemuda dengan helm di tangannya bertanya.
Bri mengerang pelan, mencoba duduk. “Aku baik-baik saja.” Namun, sebelum ia bisa bangkit sepenuhnya, seseorang menariknya berdiri.
Bri duduk di bangku minimarket, Raga yang kebetulan lewat dengan motornya tadi berhenti dan menghampiri Bri dengan perasaan khawatir. Raga langsung memeriksa keadaannya, mengamati luka lecet di lutut dan tangannya.
“Kau baik-baik saja?” suaranya penuh kecemasan.
Bri menghela napas. “Aku hanya jatuh sedikit. Tidak perlu berlebihan.”
Namun, Raga tidak mendengarkan. Ia malah berjongkok, memeriksa kaki Bri seperti seorang dokter profesional.
“Jatuh sedikit katamu? Lihat ini!” katanya sambil menunjuk luka di lutut Bri.
Bri mendengus. “Sudahlah. Jangan berisik.”
Raga tidak puas dengan jawaban itu. “Kau sudah ke dokter?”
Bri menatapnya seakan ia berbicara bahasa alien. “Untuk lecet seperti ini?”
“Ya! Siapa tahu ada sesuatu yang lebih parah!” Orang-orang di sekitar mulai melirik ke arah mereka, membuat Bri semakin tidak nyaman.
“Raga, tolong, jangan berlebihan,” desisnya pelan.
Tapi Raga mengabaikannya. “Aku akan mengantarmu pulang.”
Bri mendelik. “Aku masih harus kerja!”
“Kau baru saja jatuh! Istirahatlah!”
Bri membuka mulut untuk membantah, tetapi melihat sorot mata serius di wajah Raga, ia hanya bisa menghela napas panjang.
“Baiklah,” gumamnya.
Selama beberapa hari berikutnya, Raga terus-menerus muncul di sekitar Bri. Di minimarket, ia tiba-tiba muncul dan menawarkan diri membawakan belanjaan Bri.
Di kantor, ia mengirim pesan mengingatkan Bri untuk makan siang. Di rumah, ia bahkan pernah tiba-tiba muncul di depan pagar hanya untuk memastikan Bri tidak kelelahan.
“Raga, kau seperti hantu,” keluh Bri suatu malam.
Namun, semakin lama, Bri mulai menyadari sesuatu. Raga tidak hanya mengganggu. Ia juga peduli, sangat peduli.
Dan itu membuat Bri merasa aneh.
Suatu malam, ia akhirnya tidak tahan lagi.
“Raga, kenapa kau terus mengikutiku?”
Raga terdiam sesaat sebelum menjawab dengan nada lebih serius dari biasanya. “Karena aku khawatir.”
Bri menatapnya. “Kenapa?” Raga membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia tampak ragu, sebelum akhirnya menghela napas dan mengacak rambutnya sendiri dengan frustrasi.
“Aku tidak tahu. Aku hanya merasa cemas melihatmu terluka.”
Bri terkejut mendengar pengakuan itu.
Dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus berkata apa.
Setelah hari-hari aneh itu, Raga akhirnya tidak lagi muncul sesering sebelumnya. Mungkin karena ia sendiri mulai menyadari betapa berlebihan tindakannya.
Namun, suatu hari, saat Bri sedang duduk di depan rumah menikmati sore, Raga tiba-tiba muncul lagi dari balik tembok pembatas rumah.
“Ada apa?” tanya Bri bingung.
Raga melirik ke arahnya. “Tidak ada apa-apa.”
Raga diam selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Apa lukamu sudah membaik?.”
Bri hampir tersedak. “Kau bisa lihat sendiri.”
Raga menggaruk tengkuknya, tampak sedikit canggung. “Jika kau butuh bantuanku. Aku selalu siap membantumu.” Bri hanya memandanginya dalam diam, tidak tau harus berkata apa.
Raga semakin sering muncul di sekitar rumah Bri, terkadang tanpa alasan yang jelas, hanya untuk memastikan Bri baik-baik saja. Ia bahkan sudah mulai lebih sering berinteraksi dengan tetangga-tetangga di sekitar kompleks, seolah ia menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Bri. Di satu sisi, Bri merasa dihargai, tetapi di sisi lain, ada perasaan tak nyaman yang terus menghantuinya.
Suatu sore, setelah Raga muncul lagi di depan rumahnya dengan senyum yang lebih cerah dari biasanya, Bri tidak bisa lagi menahan perasaannya.
“Raga,” ujar Bri, suara sedikit tegang. “Aku rasa–aku perlu bicara.”
Raga mengangkat alis, heran dengan nada serius yang tak biasa dari Bri. “Ada apa?”
Bri menarik napas panjang. “Aku sebenarnya tidak suka dengan cara kau mendekatiku akhir-akhir ini. Aku merasa seperti terlalu berlebihan.” Ia menatap Raga dengan tajam, matanya menunjukkan ketegasan yang jarang ia tunjukkan. “Aku minta, jangan lagi mendekatiku begitu saja. Aku tidak nyaman.”
Raga terkejut, seolah kata-kata Bri menghantamnya dengan keras. Wajahnya berubah, dan untuk sesaat, ia tampak seperti tidak tahu harus berkata apa.
“Bri, aku hanya—”
“Tolong, Raga.” Bri mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Raga berhenti. “Aku hargai perhatianmu. Tolong berhenti mengikutiku kemana-mana.”
Raga mengangguk pelan, meskipun masih ada kekesalan yang tersisa di wajahnya. “Baiklah, Bri. Kalau itu yang kau inginkan.”
Bri menatapnya, merasa lega namun sekaligus tidak nyaman. Ada sesuatu yang aneh menghangatkan dada Raga, seperti ada ketegangan yang mulai terurai. Namun ia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sementara itu Raga sepertinya sadar bahwa memang tindakannya sudah melewati batasan yang dibuat oleh wanita itu.
"Dulu kau mengusirku pergi dari hadapannmu. Sekarang pun juga begitu. Apa kau begitu membenciku Bri?" ucapnya lirih yang hilang bersama terpaan angin.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Bri mencoba untuk menenangkan perasaan yang sedikit kacau. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia merasa keputusan untuk memberi jarak adalah yang terbaik.
Tiba-tiba, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya pada suatu pagi yang cerah. Bri membuka pintu dan menemukan seorang wanita muda berdiri di sana dengan senyum cerah.
“Selamat pagi, Mbak Bri,” kata wanita itu ramah. “Saya Jelita, keponakan dari Pak RT. Tante Siti memberikan kue ini untuk Mbak.”
Bri mengernyitkan dahi. “Oh, terima kasih. Tolong sampaikan juga ucapan terma kasihku untuk Bu Siti ya."
Dita tersenyum lebar. “Tentu Mbak. Akan Jelita sampaikan. Gadis yang cantik, serupa dengan namanya batin Bri.
Bri mengangguk dan tersenyum sedikit. “Selamat datang. Semoga betah tinggal di sini.”
Namun, yang membuat Bri agak terkejut adalah sikap Jelita yang sangat santai dan akrab. Bri merasa seolah gadis itu sudah lama mengenalnya.
Tak lama kemudian, saat mereka berbincang-bincang, Bri menyadari bahwa Jelita tidak asing bagi Raga. Ternyata, mereka sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan, menurut ceritanya, mereka sering berinteraksi dalam kegiatan di komplek.
“Raga?” tanya Bri, mencoba terdengar tidak peduli, meskipun rasa ingin tahu mulai mengusik hatinya.
“Iya,” jawab Jelita dengan penuh semangat. “Dia teman lama. Kami sudah lama saling kenal, dan sering bertemu dalam berbagai kegiatan di sini.”
Bri merasa sedikit canggung mendengar penjelasan itu. Ada rasa tak nyaman yang mulai menghimpitnya—rasa cemburu? Yang pasti bukan mungkin hanya rasa ingin tahu.
Namun, Bri berusaha untuk tetap tenang. “Wah, baguslah kalau kalian sudah kenal.”
Jeliya tersenyum. “Sebenarnya, Pak RT akan mengadakan acara lomba kompak kampung untuk merayakan ulang tahun komplek kita. Lomba itu seru Mbak! Kami harus membentuk tim.” Bri mengangguk sambil tersenyum, tapi hatinya mulai merasa aneh.
Tak lama mereka berbincang, munculah Raga yang seenaknya masuk ke dalam pekarangan dan menghampiri mereka. Jelita langsung memeluk Raga yang tampak sama bahagianya. Mata Bri menangkap adegan itu dengan jelas. Dia mencoba tidak peduli dengan hal itu namun dia tidak bisa mengabaikannya.
Raga menatap gadis itu. "Kapan sampai?"
"Kemarin sore Mas. Apa kabar? Kelihatannya ada yang beda," ucap Jelita yang masih memegang tangan Raga.
Raga bingung tapi masih tetap melemparkan senyum nakalnya. "Aku semakin tampan ya?".
"Yang benar saja," ucap Bri sambil menahan tawa mendengarnya. Jelita melemparkan pandangan bingung sementara Raga memutuskan untuk tidak mendengar apapun dari wanita itu.
Jelita kembali menatap Raga."Nanti ajak aku jalan-jalan ya Mas. Seperti yang dulu-dulu.
"Tentu saja." Raga menepuk pelan pundak Jelita yang membuat perasaan aneh makin berkecamuk di dalam diri Bri.
Bri mulai jengah. "Permisi. Cucianku menumpuk banyak sekali di belakang. Kalau boleh aku tinggal dulu. Tolong tutup pagarnya ya. Terima kasih," ucap Bri dan menutup pintunya dengan rapat. Bri terpaku bersandar di pintunya sembari menerka apa yang hatinya sedang rasakan saat itu.
Lapangan kecil yang biasanya sepi kini penuh dengan lampu warna-warni yang digantung di antara tiang-tiang bambu, menerangi area perlombaan dengan cahaya hangat. Meja-meja panjang sudah tertata rapi di sudut lapangan, dipenuhi berbagai hadiah lomba yang dibungkus rapi dengan pita berwarna cerah.
Suara mikrofon berderak sebentar sebelum panitia mulai berbicara, mengumumkan lomba yang akan berlangsung. Para warga, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, berkumpul dengan penuh semangat. Beberapa duduk di kursi yang disediakan, sementara lainnya berdiri atau bercanda di pinggir lapangan, menikmati suasana.
Acara lomba kompak kampung pun dimulai. Setiap warga komplek harus membentuk kelompok yang terdiri dari beberapa orang, dengan hadiah utama berupa perabotan rumah tangga. Raga bertemu Jelita beberapa hari sebelum acara, mengajak gadis itu untuk menjadi anggota kelompoknya.
“Jelita, aku sudah menyiapkan beberapa yel-yel untuk tim kita!” Raga berkata penuh semangat. “Kau dan aku pasti bisa menang!”
Jelita tertawa, senang mendengar ajakan itu. “Ayo kita buat grup yang solid! Aku suka tantangan!”
Di sisi lain, Bri merasa sedikit terasingkan. Ia mengetahui bahwa Jelita sudah sangat dekat dengan Raga, dan tampaknya mereka sangat menyatu dalam acara ini.
Bri merasa seakan ia kehilangan kesempatan untuk berinteraksi, dan lebih buruk lagi, ia tak punya teman di kelompoknya.
Jelita kemudian menghampiri Bri yang sedang berbincang dengan tetangganya yang lain Opet. “Mbak, mau ikut lomba juga? Ayo ikut grup kami!”
Bri tersenyum tipis. “Ah, tidak. Aku rasa aku lebih suka dengan Pak Opet di sini.” Opet sendiri merasa ragu untuk bergabung dengan Bri, dia takut kalah.
Jelita menyeringai. “Oh, begitu. Baiklah, kalau begitu. Semoga menang!” Bri melemparkan senyuman terpaksa dan tidak sengaja melihat Raga yang tampak tidak tertarik melihatnya sama sekali.
Bri tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa ada yang aneh saat Jelita pergi dengan Raga.
Di tengah keramaian, Bri merasa gelisah. Ia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakannya. Mengapa ia merasa begitu aneh dengan kedekatan Raga dan Jelita?
Opet yang menangkap keadaan itu tersenyum tipis menatap Bri. "Kau baik-baik saja?" Bri berbalik menatapnya dengan bingung.
"Maksudnya Pak? Saya rasa saya sehat dan baik-baik saja."
"Baguslah kalau begitu. Kalau sakit jangan ditahan," ucap Opet sembari memandangi tim di ujung sana yang tampak kompak. Bri mengikuti arah pandangan pria tua itu dan mengerti apa yang dia maksud.
Seolah perasaan Bri semakin membingungkan, ia hanya bisa berharap bahwa dalam waktu yang singkat, semuanya akan kembali seperti semula—tenang, tanpa drama. Tapi siapa yang bisa mengatur hati dan perasaan?