Setelah kematian yang tragis, dia membuka matanya dalam tubuh orang lain, seorang wanita yang namanya dibenci, wajahnya ditakuti, dan nasibnya dituliskan sebagai akhir yang mengerikan. Dia kini adalah antagonis utama dalam kisah yang dia kenal, wanita yang dihancurkan oleh sang protagonis.
Namun, berbeda dari kisah yang seharusnya terjadi, dia menolak menjadi sekadar boneka takdir. Dengan ingatan dari kehidupan lamanya, kecerdasan yang diasah oleh pengalaman, dan keberanian yang lebih tajam dari pedang, dia akan menulis ulang ceritanya sendiri.
Jika dunia menginginkannya sebagai musuh, maka dia akan menjadi musuh yang tidak bisa dihancurkan. Jika mereka ingin melihatnya jatuh, maka dia akan naik lebih tinggi dari yang pernah mereka bayangkan.
Dendam, kekuatan, dan misteri mulai terjalin dalam takdir barunya. Tapi saat kebenaran mulai terungkap, dia menyadari sesuatu yang lebih besar, apakah dia benar-benar musuh, atau justru korban dari permainan yang lebih kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Jejak Kegelapan yang Tertinggal
Seraphina dan Lucian berdiri di antara reruntuhan yang masih bergetar, napas mereka terengah-engah setelah pertarungan yang begitu sengit. Meski Xerath telah menghilang, sensasi dingin dan menekan dari kehadirannya masih terasa di udara.
"Kita harus pergi dari sini," Lucian berkata, matanya masih menyapu sekeliling dengan waspada. "Tempat ini bisa runtuh kapan saja."
Seraphina mengangguk, tetapi pikirannya masih terfokus pada sesuatu yang lain. Xerath tahu namanya.
Bagaimana mungkin?
Ia yakin identitasnya telah tersembunyi dengan baik. Namun, jika Xerath mengetahui siapa dirinya, berarti ada kemungkinan besar musuh-musuhnya juga mulai menyadari keberadaannya.
Dan itu bisa berakibat fatal.
Seraphina menatap ke arah tempat di mana Xerath menghilang. Meski ia telah melukai pria itu dengan kekuatannya, ia tahu ini belum berakhir. Xerath bukan tipe orang yang akan menyerah begitu saja.
Lucian melihat ekspresi Seraphina yang tegang dan menyentuh bahunya dengan ringan. "Jangan pikirkan terlalu banyak. Kita sudah menang kali ini."
Seraphina menghela napas. "Ya, tapi untuk berapa lama?"
Mereka berdua akhirnya meninggalkan reruntuhan, bergerak cepat sebelum tanah yang mereka pijak benar-benar ambruk. Namun, sebelum pergi terlalu jauh, Seraphina merasakan sesuatu.
Energi gelap yang samar...
Ia berhenti dan berbalik. Di tengah puing-puing reruntuhan, ada sebuah benda hitam berkilauan.
Lucian mengikutinya, matanya menyipit curiga. "Apa itu?"
Seraphina berjalan mendekat dengan hati-hati. Begitu ia meraihnya, hawa dingin langsung menjalari tubuhnya.
Sebuah pecahan kristal hitam.
Sisa kekuatan Xerath?
Seraphina menggenggamnya lebih erat, merasakan aliran energi yang berdenyut di dalamnya. Jika ini benar-benar berasal dari Xerath, maka ia mungkin bisa menggunakannya untuk melacak pria itu.
Namun, ada risiko.
Energi kegelapan ini bisa saja memiliki efek samping. Bisa jadi ini adalah jebakan lain yang ditinggalkan Xerath untuknya.
Lucian menatapnya tajam. "Aku tidak yakin itu ide bagus untuk membawa benda itu."
Seraphina menatap kristal itu beberapa saat sebelum memasukkannya ke dalam kantong kecil di pinggangnya. "Aku butuh informasi lebih banyak. Kita bisa menganalisisnya nanti."
Lucian hanya mendesah. "Kalau kau mulai merasa aneh atau benda itu bereaksi tidak normal, kau harus menyingkirkannya."
Seraphina mengangguk, dan mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Saat mereka tiba di Kuil Assassin, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Murid-murid yang biasanya sibuk dengan latihan kini terlihat berbisik-bisik di sudut, dan beberapa dari mereka menatap Seraphina dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Seraphina tidak terlalu peduli. Ia melangkah menuju ruangannya, tetapi sebelum ia bisa sampai, seseorang menghadangnya.
"Seraphina Duskbane."
Sebuah suara dingin terdengar, dan saat ia menoleh, ia melihat Severian, salah satu petinggi di kuil. Pria itu adalah seorang pembunuh legendaris yang dikenal dengan tekniknya yang nyaris tak terkalahkan.
"Apa yang kau bawa dari misi terakhirmu?" tanya Severian, matanya menatap tajam ke arah kantong kecil di pinggang Seraphina.
Seraphina tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Hanya sesuatu yang bisa memberi kita keuntungan dalam pertempuran mendatang."
Severian melipat tangan. "Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan. Energi kegelapan bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh."
Seraphina mengangguk. "Aku paham."
Severian tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi sebelum pergi, ia memberi satu peringatan terakhir.
"Jangan biarkan dirimu terpengaruh oleh kekuatan itu, atau aku sendiri yang akan turun tangan."
Seraphina tidak meragukan kata-katanya. Severian bukan seseorang yang berbicara tanpa arti. Jika ia merasa Seraphina telah berubah atau mulai dikuasai kegelapan, ia pasti tidak akan ragu untuk menyingkirkannya.
Lucian, yang berdiri di sampingnya, menyentuh bahunya dan berkata dengan suara rendah, "Sepertinya kau sedang diawasi."
Seraphina hanya tersenyum tipis. "Bukan hal baru."
Malam itu, saat semua orang telah beristirahat, Seraphina duduk sendirian di kamarnya. Ia menatap pecahan kristal hitam di telapak tangannya.
Jika benda ini benar-benar sisa kekuatan Xerath, maka mungkin ia bisa menemukan petunjuk lebih lanjut tentang musuhnya.
Namun, saat ia mencoba menggunakan sihir untuk menganalisisnya, sebuah suara berbisik di kepalanya.
"...Seraphina..."
Matanya melebar.
Suara itu bukan berasal dari pikirannya sendiri.
"Kau tidak bisa lari dariku..."
Dada Seraphina terasa sesak. Ia mencoba menarik napas dalam, tetapi udara di sekitarnya terasa lebih berat.
"Aku akan menemukanmu..."
Tiba-tiba, kristal itu berdenyut kuat, dan dalam sekejap—
Gambar-gambar aneh muncul dalam pikirannya.
Sebuah kota dalam kegelapan. Langit merah seperti darah. Sosok-sosok tak dikenal berjalan di antara bayangan.
Dan di tengah-tengah mereka...
Xerath.
Seraphina tersentak dan menjatuhkan kristal itu ke lantai.
Apa itu tadi?
Ia memegangi kepalanya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Namun, satu hal pasti—
Kristal ini adalah kunci untuk menemukan Xerath.
Dan jika ia ingin mengakhiri semuanya, ia harus mengambil risiko.
Seraphina menggenggam kristal itu erat.
Jika ini adalah jalannya untuk melawan kegelapan, maka ia akan melangkah maju.
---
Seraphina menatap kristal hitam yang berdenyut di telapak tangannya. Sensasi dingin merambat dari permukaannya, menusuk hingga ke tulang. Hanya dengan menyentuhnya, ia bisa merasakan jejak kekuatan Xerath yang begitu dalam.
Aku akan menemukanmu...
Suara itu masih terngiang di kepalanya. Bukan sekadar ancaman kosong, tetapi peringatan bahwa Xerath belum benar-benar lenyap.
Tapi bagaimana?
Ia menggelengkan kepala, mencoba menenangkan pikirannya. Tidak boleh ada keraguan. Tidak boleh ada ketakutan. Ia telah berlatih dan bertarung terlalu lama untuk membiarkan dirinya terpengaruh oleh ilusi.
Dari sudut ruangan, Lucian mengawasinya dengan mata tajam. "Kau terlihat tidak baik," katanya akhirnya, mendekat dengan langkah hati-hati. "Kristal itu mempengaruhimu?"
Seraphina mengangkat kepalanya, menatapnya sejenak sebelum menghela napas. "Mungkin sedikit. Tapi aku bisa mengatasinya."
Lucian menyilangkan tangan. "Kau yakin? Karena dari sudut pandangku, kau terlihat seperti orang yang baru saja mengalami sesuatu yang tidak biasa."
Seraphina tidak langsung menjawab. Sebagai seorang Assassin, Lucian memiliki insting tajam. Tidak ada yang bisa lolos dari pengamatannya.
Akhirnya, ia berkata, "Aku melihat sesuatu. Seperti... penglihatan."
Lucian mengangkat alis. "Penglihatan?"
Seraphina mengangguk. "Xerath. Aku melihatnya di suatu tempat. Kota yang dipenuhi kegelapan. Langitnya merah seperti darah. Seakan-akan itu adalah dunia yang berbeda dari yang kita tinggali sekarang."
Lucian terdiam sejenak, lalu duduk di kursi di dekatnya. "Itu bisa berarti banyak hal. Bisa jadi memori yang tertinggal di dalam kristal itu. Atau bisa juga... semacam pintu komunikasi antara kau dan Xerath."
Seraphina mengepalkan tangan, menekan kristal itu lebih erat. "Aku harus mencari tahu lebih banyak."
Lucian menatapnya dalam-dalam. "Dan bagaimana kau akan melakukannya?"
Seraphina berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku akan masuk lebih dalam ke dalam energi ini. Jika memang ada hubungan antara aku dan Xerath, maka aku bisa menggunakannya untuk melacaknya."
Lucian langsung berdiri. "Tunggu sebentar. Itu terdengar terlalu berbahaya."
Seraphina menatapnya dengan ekspresi datar. "Semua yang kita lakukan selalu berbahaya."
Lucian mendesah. "Maksudku, kau bisa saja terjebak dalam jebakan pikirannya. Bagaimana jika dia bisa mengendalikanmu dari sana?"
Seraphina tersenyum kecil. "Maka kau harus memastikan aku tidak jatuh terlalu dalam."
Lucian menatapnya lama, sebelum akhirnya menyerah. "Baiklah. Aku akan mengawasimu. Tapi jangan salahkan aku jika aku harus membunuhmu untuk menghentikanmu."
Seraphina hanya tertawa pelan. "Kau boleh mencoba."
Seraphina duduk bersila di lantai, kristal hitam di genggamannya. Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menyalurkan mananya ke dalam kristal itu.
Awalnya, tidak ada yang terjadi.
Kemudian—
DOR!
Sebuah ledakan energi menghantamnya dari dalam.
Seraphina merasa tubuhnya terseret ke dalam pusaran hitam. Angin berdesir di sekelilingnya, dingin menusuk kulit. Suasana di sekitarnya berubah drastis.
Saat ia membuka mata, ia tidak lagi berada di kamarnya.
Ia berdiri di tengah kota yang ia lihat dalam penglihatannya sebelumnya. Langit merah membentang luas, dengan bayangan-bayangan besar bergerak di kejauhan. Bangunan-bangunan tinggi tampak runtuh, seolah ditelan oleh kegelapan yang merayap dari bawah.
Dan di tengah semua itu—
Xerath.
Ia berdiri tidak jauh dari tempatnya, mengenakan jubah hitam yang berkibar tertiup angin. Matanya yang berwarna merah menyala menatap langsung ke arah Seraphina, seolah sudah menunggunya.
"Aku tahu kau akan datang."
Suara itu bergema di sekelilingnya, meski bibir Xerath nyaris tak bergerak.
Seraphina tetap tenang. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukan apa pun yang kau rencanakan."
Xerath tersenyum kecil. "Ah, rencana. Kau bahkan tidak tahu separuh dari semuanya, Seraphina Duskbane."
Seraphina menghunus pedangnya, bersiap menyerang. "Lalu kenapa tidak kau jelaskan padaku?"
Xerath terkekeh. "Karena aku lebih suka melihatmu menemukan jawabannya sendiri. Tapi percayalah, saat kau akhirnya tahu kebenarannya... kau akan mengerti bahwa kita sebenarnya tidak jauh berbeda."
Seraphina mengerutkan kening. "Aku tidak akan pernah sepertimu."
Xerath menggeleng. "Kita lihat saja nanti."
Dalam sekejap, ia mengangkat tangannya, dan kegelapan di sekitarnya mulai bergerak. Bayangan-bayangan yang tadinya diam kini mulai bergerak ke arah Seraphina, meluncur cepat seperti tangan-tangan yang ingin meraihnya.
Seraphina tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan cepat, ia menghunus pedangnya dan menebas bayangan pertama yang mendekat. Percikan energi hitam beterbangan di udara, tetapi bayangan-bayangan itu terus bertambah.
Aku harus keluar dari sini.
Seraphina mencoba memfokuskan pikirannya, mencari cara untuk keluar dari dimensi ini. Tetapi, sesuatu menahannya.
Sebuah suara lain—
Bukan Xerath, bukan juga miliknya.
"Seraphina..."
Suara itu terdengar begitu familiar.
Mata Seraphina membesar saat ia mengenalinya.
Ibunya.
Ia menoleh ke belakang, dan di sana—berdiri di antara kegelapan—adalah sosok seorang wanita yang wajahnya ia kenali lebih dari siapa pun di dunia ini.
"Ini tidak mungkin..."
Xerath tersenyum lebar. "Sekarang kau mulai mengerti."
Seraphina merasakan seluruh dunianya bergetar. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya ilusi?
Tetapi jika benar...
Kenapa ibunya ada di sini?
Dan sebelum ia bisa mendapatkan jawaban, semuanya menjadi gelap.
Al-fatihah buat neng Alika beliau orang baik dan Allah menyayangi orang baik, beliau meninggal di hari Jumat bertepatan setelah malam nisfu syabaan setelah tutup buku amalan.. semoga beliau di terima iman Islamnya di ampuni segala dosanya dan di tempatkan di tempat terindah aamiin ya rabbal alamiin 🤲