Ayu Lestari, seorang wanita yang harus rela pergi dari rumahnya saat warga mengetahui kehamilannya. Menghabiskan satu Malam dengan pria yang tidak di kenalnya, membawa petaka dan kemalangan pada Ayu, seorang wanita yang harus rela masa depannya terenggut.
Akankah Ayu menemukan siapa ayah bayi yang di kandungnya? bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa pria yang menghamilinya adalah seorang pria yang di kenal culun?
Penasaran kan? yuk ikuti terus kisahnya sampai akhir ya, jangan lupa tambahkan subscribe, like, coment dan vote nya. 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdebat
“Awas aja kalian semua! Aku pastikan hidup kalian tidak akan menderita karena memilih percaya dengan wanita tidak tahu diri itu dan juga anak haramnya, dari pada aku yang jelas-jelas bagian dari mereka!”
“Kita lihat saja nanti. Ayu dan anaknya itu pasti akan membawa kesialan bagi keluarga Wiratma! Apalagi Gibran yang lugu dan culun itu tidak bisa melihat kebenaran, mentang-mentang hasil tes menyatakan itu anaknya. Dia berani melakukan penghinaan padaku, dasar keluarga gila. Aarrghh!”
Ghina pergi dengan rasa kesal menyeruak ke relung hati. Dia tidak terima atas perlakuan Gibran padanya yang membuat dendam tersebut mulai tertanam.
Kehadiran Ayu dan Raja memang diterima oleh keluarga Gibran, tetapi tidak dengan Ghina. Wanita itu tetap pada pendiriannya jika kehadiran mereka ke keluarga Wiratma hanyalah soal harta dan kekuasaan, bukan karena memang mencintai pria culun tersebut.
Memang Ghina sudah mengetahui tentang kejadian di masa lalu antara Gibran dan Ayu tercipta akibat kesalahpahaman atau kecelakaan yang dijebak oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Sampai detik ini pun Wiratma belum menemukan siapa dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Ayu juga Gibran, sehingga melahirkan Raja dengan cara seperti ini.
Cuma yang jelas, status Raja sudah tidak menjadi pertanyaan kembali. Mungkin dulu banyak yang menanyakan siapa ayah kandung dari anak tak berdosa itu, ke mana ayahnya pergi, juga kenapa tidak pernah muncul. Namun sekarang tidak lagi.
Dengan adanya bukti tes DNA itu Raja kini telah memiliki status yang resmi yaitu, menjadi bagian dari keluarga Wiratma yang kaya Raja juga putra sulung dari Gibran. Pria yang terlihat culun, tetapi memiliki sejuta cinta untuk menyayangi sang anak.
***
Kembali lagi di rumah utama. Gibran langsung menatap manik mata Ayu. Dia tahu bagaimana sakitnya kata-kata Ghina yang saat ini telah melukai hatinya.
“A-aku minta maaf, jika perkataan tanteku telah membuatmu sakit hati. Aku berjanji selagi aku bersama kalian. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kalian. Bagiku penghinaan ini sama saja seperti penghinaan untukku, jadi izinkan aku melindungi kalian. Aku bersumpah atas nama kedua orang tuaku mulai detik ini kebahagiaan kalian adalah tanggung jawabku!”
Baru kali ini Wiratma melihat sisi lain dari Gibran. Diam-diam pria itu menyimpan sifat tanggung jawab yang begitu besar, belum tentu pria lain bisa melakukan hal seperti apa yang dilakukan olehnya.
“Sepertinya si Culun itu telah berubah. Jujur aku syok mendengar kalimat dewasa terucap dari bibirnya. Namun aku bangga padanya. Semoga ini pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya!” batin Wiratma.
Senyuman tipis terukir jelas di sudut bibir Wiratma. Dia terlihat santai menyaksikan huru-hara di rumahnya, tanpa bertindak semestinya.
Biasanya pria tua ini selalu menggunakan sifat tegas juga kerasnya untuk memutuskan apa yang baik dan apa yang buruk bagi keluarganya. Akan tetapi, perubahan Gibran yang membuat syok telah mewakilkan sifat yang selama ini diajarkan.
Hanya saja Ayu menatap tajam dengan bola mata yang sudah penuh dengan air mata. Dunianya hancur lebur setelah mendengar kalimat yang sangat melukai hati kecilnya.
“Kamu pikir kamu siapa bisa berkata seperti itu, hah? Setelah sekian lama kamu tidak terlihat dan sekarang hanya dengan seutas kertas dengan hebatnya kamu berkata seperti itu? Munafik!”
“Apa kamu tahu, hahh? Bertahun-tahun aku hidup menderita dengan semua ucapan orang yang mengatai aku ini wanita murahan. Parahnya semua warga mengusirku dari kampung sampai aksesku untuk bertemu bahkan berkunjung ke rumah ayah dan ibu sudah tertutup rapat. Kamu tahu gimana rasa sakitnya hatiku ini, hahh? Tahu nggak, enggak ‘kan!”
Suara lantang disertai bentakan-bentakan kini telah menyudutkan Gibran. Baru sekarang pria itu berani menatap wajah Ayu sedekat ini, bahkan dia tak peduli kemarahan apa yang akan dilontarkan wanita di hadapannya ini untuk meluapkan rasa sakit hatinya atas perkataan Ghina.
“Kamu tahu, bertahun-tahun aku hidup dengan hinaan yang dilontarkan untukku. Itu aku masih sanggup menerimanya, tetapi jika wanita tadi menghina anakku tepat di depannya itu yang membuat hati seorang ibu hancur, Gibran. Hancur!”
Ayu memukul dada bidang Gibran sekuat tenaga. Pria itu hanya terdiam menerima pukulan demi pukulan yang diberikan oleh wanita yang selama ini berjuang seorang diri untuk menghidupi anak kandungnya.
Gibran bisa merasakan apa yang Ayu rasakan. Dia pun tidak terima atas hinaan yang Ghina berikan pada Raja. Seakan-akan harga diri mereka sebagai orang tua terlalu rendah di mata wanita jahat itu.
Cuma Gibran tidak bisa melakukan banyak hal. Dia hanya menatap wajah Ayu yang sudah bercucuran air mata dengan mata penuh amarah menatapnya.
“Jika memang kalian semua tidak bisa menerima kehadiranku dan Raja bilang dari sekarang, bilang! Jangan sampai ada kejadian menjijikan seperti ini. Aku tahu kok, kalian itu orang kaya raya, orang yang memiliki kekuasaan. Dengan uang bahkan telunjuk jari kalian sudah bisa menghancurkan hidup seseorang. Namun tidak denganku!”
“Hidupku dan Raja dari dulu sudah dipenuhi dengan rasa sakit juga kesedihan, tapi aku mohon dengan sangat! Please … jangan siksa anakku dengan tingkah orang kaya tidak terhormat seperti ini!”
Wiratma terdiam. Dia bisa merasakan betapa beratnya menjadi Ayu yang dari dulu hidupnya penuh dengan penderitaan.
Rasanya Wiratma ingin membuka suara, tetapi belum saatnya. Dia ingin melihat lebih dulu bagaimana Gibran dapat menyelesaikan masalah ini dan menenangkan keadaan Ayu yang sedang meradang emosi.
“Oke, aku salah! Bertahun-tahun aku telah meninggalkan luka yang cukup mendalam untuk kamu, keluargamu, bahkan Raja putraku. Seandainya waktu bisa diputar kembali. Aku juga tidak ingin semua ini terjadi pada kalian. Jika saat itu aku tahu wanita itu kamu, pasti aku akan langsung tanggung jawab. Bukan sekarang!”
“Kami kira hanya kamu yang sakit dengan perkataan Tante Ghina tadi, hahh? Aku juga sama, Yu. Sama! Hatiku sakit sekali mendengar kata-kata itu keluar dari mulut kotornya. Aku tahu seberat apa perjuanganmu untuk membuat Raja hidup bahagia, aku tahu! Tapi, please … kasih aku kesempatan untuk membayar semua rasa pahit yang telah kalian alami. Kasih tahu aku caranya bagaimana aku bisa menebus semua dosaku ini pada kalian. Kasih tahu aku, Yu. Kasih tahu!”
“Atau aku perlu sujud di hadapanmu supaya kamu bisa memberiku sekali kesempatan untuk membalikkan keadaan seperti semula. Ya, memang tidak bisa karena itu mustahil. Setidaknya aku bisa berusaha berjuang untuk mengembalikan keadaan kalian menjadi lebih baik hingga semua orang tidak lagi memandang rendah kalian!”
Suara lantang Gibran berhasil menghentikan emosi Ayu. Kedua mata cantiknya berhasil menangkap kejujuran di dalam hati pria itu jika memang dia telah berniat untuk memperbaiki keadaan.
Mata Ayu melirik ke arah Wiratma yang dari tadi terdiam memperhatikan mereka serta mendengar perdebatan mereka tanpa menyuarakan perkataannya.
Wiratma sangat menghormati masalah Ayu dan Gibran, sehingga dia hanya ingin menjadi pendengar yang baik supaya tidak ikut campur terlalu jauh.
Hanya saja perkataan Gibran ada benarnya. Wiratma berdehem dan membuka suara bukan untuk membela sang anak, melainkan mencari jalan tengah dari inti masalah mereka.
“Ekhem … Bisakah kalian duduk dulu, Papa ingin berbicara. Dari tadi kalian sudah menyuarakan pendapat kalian. Bagaimana jika saya bergantian untuk menyuarakan isi hati saya?”
Suara dalam Wiratma terdengar menyeramkan, tetapi diselimuti oleh kewibawaan yang melekat jelas di padanya.
Ayu membuang napas, lalu duduk dalam keadaan wajah yang terlihat frustrasi. Begitu juga Gibran. Pria itu menatap lekat wajah sang ayah tanpa menunduk sedikit pun.
“Terima kasih!”
“Sebelumnya saya minta maaf padamu, Ayu. Atas semua sikap adik saya yang sudah merendahkan bahkan menjatuhkan harga diri kalian. Namun apa yang dikatakan Gibran memang ada benarnya. Mau sampai kapan kalian seperti ini, hem? Sekarang kalian sudah tahu Raja itu anak kandung Gibran, lalu apa lagi permasalahannya?”
“Itu berarti kamu dan Gibran orang tua kandungnya yang sudah jelas kalian pasti akan melindungi martabat anak kalian. Jadi, untuk apa kalian bertengkar jika tujuannya sama-sama ingin menjaga Raja? Bukankah memang sudah seharusnya sebagai orang tua seperti itu? Jikalau pun memang kalian masih belum terima dengan kenyataan ini, silahkan selesaikan masalah kalian. Bukan malah saling menonjolkan sisi egois untuk menyalahkan satu sama lain!”
“Di sini posisi Gibran dan kamu tidak ada yang salah. Kalian berdua korban dari oknum yang tidak bertanggung jawab, seharusnya kalian paham itu. Bertahun-tahun saya dan Gibran juga mencari siapa wanita yang tidur bersamanya untuk bertanggung jawab. Namun kami baru menemukannya sekarang, apakah itu salah?”
“Jika memang kamu masih tidak terima dengan semua ini. Silahkan katakan apa yang ingin kamu minta dari kami, pasti kami akan melakukannya asalkan kalian bisa berdamai mengurus Raja dan membesarkannya sebagai anak yang baik juga bertanggung jawab. Anggaplah ini sebagai hukuman untuk Gibran, gimana caranya supaya dia bisa bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukan pada kalian.”
Ayu yang dari tadi terdiam mendengarkan perkataan Wiratma, membuat matanya melirik ke arah Gibran. Di mana wajah keseriusan yang diperlihatkan serta rasa bersalah berhasil mengetuk pintu hati sang wanita.
“Katakan, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian. Aku janji, nyawa pun akan aku berikan untuk melindungi harga diri kalian!” tegas Gibran. Entah ini pertanda sifat pria itu mulai berubah atau memang jiwa seorang ayah melekat jelas di hatinya.
“Baiklah, ada satu cara yang bisa kalian lakukan demi menebus semua yang pernah dilakukan, yaitu, kamu dan keluargamu harus bisa mengembalikan nama baik saya, Raja, juga keluarga saya. Di mana saya rindu sekali berkunjung ke rumah Ibu dan Bapak tanpa adanya dinding yang menghalangi kami. Jika kalian bisa membalikan nama baik tersebut aku akan memaafkan dan mengikhlaskan apa yang terjadi. Cuma semua itu tetap butuh proses, tidak ada yang instan. Gimana?”
Permintaan yang Ayu berikan membuat Gibran tersenyum. Apa yang ada di dalam pikirannya ternyata terkoneksi di dalam pikiran sang wanita.
Memang dari lubuk hati yang paling dalam Gibran sudah berniat ingin mengembalikan nama baik Ayu di mata masyarakat. Dengan begitu wanita itu bisa mengunjungi rumah orang tuanya kapan pun dia inginkan tanpa ada lagi hinaan, cacian, bahkan fitnah belaka.
“Baiklah, aku setuju. Besok kita pergi ke rumah orang tuamu. Aku berjanji akan mengembalikan apa yang pernah direnggut darimu. Baik kebahagiaan, keceriaan, kesenangan, maupun keluargamu. Aku janji!” ucap Gibran dengan nada penuh keseriusan.
“Saya setuju. Besok saya dan istri saya akan menemani Gibran untuk menjelaskan pada mereka dan membersihkan nama baik kamu, Raja, juga keluargamu. Sekarang lebih baik kalian temui Raja, berikan dia nasihat supaya bisa lebih semangat. Mungkin kejadian tadi telah membuatnya sedikit syok.”
Ayu mengangguk, lalu berpamitan untuk pergi ke kamar Raja. Gibran pun ikut pergi melihat kondisi sang anak yang pasti butuh sekali hiburan.
Sementara Wiratma hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan kegaduhan di rumahnya atas ulah adik kandungnya sendiri.
Beruntungnya hubungan Ayu dan Gibran masih bisa diselamatkan, hanya saja Wiratma harus mempersiapkan semuanya untuk membersihkan nama baik keluarga sang wanita yang telah tercemar.
***