Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Bayangan
Perjalanan mereka keluar dari gua ternyata jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Jalan setapak yang biasanya terang kini tertutup kabut tebal yang membuat mereka sulit melihat lebih dari beberapa langkah ke depan. Setiap langkah terdengar jelas dalam keheningan yang menyelimuti, menambah kecemasan yang semakin menggelayut dalam hati mereka.
Arlen memandang ke sekitar, matanya menyipit menembus kabut. “Finn, kau melihat sesuatu?”
Finn menggeleng, menggenggam pedangnya erat. “Tidak. Kabut ini tidak biasa. Kau pikir ini juga bagian dari ujian?”
Erland yang berada di depan mereka menghentikan langkahnya, kemudian menoleh dengan ekspresi serius. “Kabut ini bukan kabut biasa. Ada sesuatu... atau seseorang, yang berusaha menghalangi kita.”
Mendengar itu, Arlen menajamkan pandangannya. “Seseorang?”
“Ya,” jawab Erland singkat, namun nada suaranya cukup membuat mereka merasakan ketegangan baru. “Di tempat-tempat seperti ini, kekuatan kegelapan seringkali menebar perangkap bagi siapa pun yang berniat menggali lebih dalam.”
Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari kejauhan, diikuti oleh suara tawa pelan yang terdengar seakan datang dari segala arah. Arlen dan Finn saling pandang, merasakan bulu kuduk mereka meremang. Tawa itu semakin mendekat, seakan mengepung mereka.
Finn mengeluarkan pedangnya, berjaga-jaga. “Siapa itu? Tunjukkan dirimu!” serunya, berusaha terdengar tegas.
Tidak ada jawaban, hanya suara tawa yang berangsur-angsur menghilang, meninggalkan mereka dalam keheningan yang kembali mencekam. Arlen menghela napas, mencoba tetap tenang. “Ini seperti... mereka hanya ingin menakut-nakuti kita.”
Erland mengangguk. “Benar. Kegelapan sering kali memanfaatkan rasa takut kita untuk melemahkan pertahanan kita. Jangan biarkan diri kalian terganggu. Fokus pada tujuan kita.”
Namun, baru beberapa langkah berjalan, kabut di sekitar mereka tiba-tiba berubah menjadi bayangan-bayangan hitam yang berkumpul di satu titik, membentuk sosok manusia. Sosok itu berdiri diam, namun aura kegelapan yang terpancar darinya membuat mereka berhenti seketika.
Arlen menghunus pedangnya, melangkah maju. “Siapa kau?”
Sosok itu tersenyum dingin, matanya bersinar merah. “Aku adalah penuntun kegelapan. Aku di sini untuk menghentikan kalian... atau mungkin, menawarkan pilihan lain.”
Finn mendengus, tidak terpengaruh oleh tawaran yang terkesan licik. “Kami tidak tertarik pada pilihanmu. Kami tahu jalan kami, dan kami tidak butuh arahan dari sosok gelap sepertimu.”
Namun sosok itu tertawa, tatapan matanya menyelidik Arlen dan Finn dengan cermat. “Jangan terlalu yakin, anak muda. Setiap orang memiliki sisi gelap dalam hatinya, keinginan yang terpendam. Apakah kalian yakin benar-benar tidak ingin mendengar tawaranku?”
Erland melangkah maju, menghadang Arlen dan Finn. “Kami tidak punya waktu untuk mendengarkan rayuan kegelapan. Menyingkirlah.”
Namun, sosok itu hanya tersenyum lebih lebar. “Kalian tidak bisa begitu saja menyingkirkanku, seperti kalian tidak bisa menyingkirkan bayangan yang ada di hati kalian. Kalian akan terus dihadapkan pada kegelapan, sampai akhirnya kalian menyerah.”
Arlen menatap sosok itu dengan penuh kebencian. “Kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Kami tidak akan pernah menyerah.”
Sosok itu tertawa lagi, kali ini terdengar lebih menyeramkan. “Kau pikir kau berbeda, anak muda? Bahkan para pahlawan terbesar pun akhirnya menyerah pada kegelapan dalam diri mereka sendiri.”
Finn tidak tahan lagi, ia maju dan mengayunkan pedangnya ke arah sosok itu, namun sosok itu menghilang dalam kabut tepat sebelum pedang Finn mengenai tubuhnya. Hanya suara tawanya yang masih terdengar di udara, bergema di antara kabut yang semakin tebal.
“Percuma. Kalian tak bisa melawanku,” suara itu terdengar lagi, kali ini terdengar jauh lebih dalam, seakan berasal dari hati mereka sendiri. “Aku akan selalu ada di dalam dirimu... menunggu saat kau lemah.”
Finn menggertakkan giginya, terlihat marah. “Aku tidak akan pernah menyerah pada kegelapan. Kau tidak tahu apa-apa tentang kami.”
Kabut perlahan-lahan mulai menghilang, meninggalkan mereka dalam keheningan yang menggantung. Meski sosok itu telah lenyap, kata-katanya masih terngiang di telinga Arlen, menggoyahkan hatinya.
Arlen merasa tangannya bergetar, ia menatap pedangnya sejenak, merenungi apa yang barusan terjadi. “Apakah benar ada kegelapan dalam diriku?” tanyanya lirih.
Erland menepuk bahunya pelan. “Setiap orang memiliki kegelapan, Arlen. Yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya. Jangan biarkan kata-kata sosok itu mempengaruhimu.”
Arlen mengangguk, meskipun di dalam hatinya, perasaan ragu itu masih bersemayam. Ia tidak tahu pasti apakah ia cukup kuat untuk melawan bayangan itu, atau apakah pada akhirnya, ia akan kalah oleh kegelapan dalam dirinya sendiri.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Arlen tak bisa mengusir bayangan sosok itu dari pikirannya. Kata-katanya seolah terus menggema, membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar siap untuk menghadapi ujian yang lebih berat di depan. Namun ia tidak mengatakan apa-apa, hanya melangkah dengan kepala tertunduk, membiarkan keraguan dan ketakutan itu mengendap dalam hatinya.
Di ujung jalan, mereka melihat seberkas cahaya samar. Cahaya itu tampak seperti pintu keluar dari tempat itu, dan di sana, mungkin menunggu ujian berikutnya yang akan lebih menguji kekuatan batin mereka.
Arlen terus melangkah, tetapi keraguan semakin menyelimuti pikirannya. Sosok bayangan itu berhasil menanamkan benih ketidakpastian yang tidak bisa ia abaikan. Ia menoleh ke arah Finn, yang tampaknya tidak terlalu terpengaruh dan melanjutkan langkahnya dengan penuh keyakinan. Finn selalu begitu—penuh tekad dan pantang mundur. Sedangkan Arlen... ia merasa seakan-akan bayangan itu memahami celah dalam hatinya, titik lemah yang ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri.
“Arlen, kau baik-baik saja?” Finn bertanya, matanya menatap Arlen dengan sorot prihatin. “Kau terlihat... bimbang.”
Arlen menghela napas panjang, berusaha mengabaikan perasaan yang bergolak dalam dirinya. “Aku hanya... memikirkan ucapan bayangan itu. Ia bilang setiap orang memiliki kegelapan di dalam hatinya. Apakah... benar begitu?”
Finn tersenyum tipis. “Tentu saja setiap orang punya sisi gelap, Arlen. Tetapi sisi itu tidak menentukan siapa kita. Hanya kita sendiri yang bisa menentukan apakah kita ingin menguasainya atau dikuasai olehnya.”
Erland yang mendengar percakapan mereka berhenti sejenak, lalu berbalik menatap mereka dengan pandangan bijak. “Setiap makhluk di dunia ini memiliki bayangan, Arlen. Bahkan yang paling terang sekalipun. Kegelapan itu bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihadapi dengan keberanian.”
Arlen mengangguk, meski hatinya masih berdebar kencang. Kata-kata Erland memberi sedikit ketenangan, namun tidak sepenuhnya menghapus keraguannya. Ia melanjutkan langkah dengan perlahan, perasaan tak nyaman terus menghantuinya.
Mereka berjalan semakin dalam ke dalam hutan yang penuh dengan pepohonan rimbun. Udara semakin berat, dan suasana terasa semakin dingin. Seakan-akan kegelapan di sekitar mereka bukan hanya berasal dari bayangan, tetapi dari keheningan yang menyelimuti tempat itu.
Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari arah belakang. Finn langsung menoleh, mengangkat pedangnya dengan sigap. “Apa itu?” bisiknya dengan nada waspada.
Erland mengamati sekitar, matanya tajam menyelidik. “Mungkin hanya hewan liar... atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu.”
Langkah-langkah itu semakin mendekat, dan kali ini terdengar lebih dari satu. Arlen merasakan bulu kuduknya meremang. Ia merasakan aura yang tidak asing, seakan-akan... mereka sedang diikuti.
Tak lama, dari balik pepohonan, muncul sosok-sosok gelap yang berjalan mendekat. Mereka tidak bergerak seperti manusia, gerakan mereka terlalu kaku, terlalu menyeramkan. Mata mereka merah menyala di dalam kegelapan, seolah-olah mereka adalah makhluk yang tak bernyawa, dikendalikan oleh sesuatu yang lebih besar.
“Zombie?” Finn bergumam, suaranya tertahan antara takut dan terkejut. “Kita harus keluar dari sini.”
Erland mengangguk. “Mereka mungkin dikirim untuk menghentikan kita. Jangan bertarung tanpa alasan. Lebih baik kita cari jalan keluar dari sini.”
Arlen, Finn, dan Erland segera berlari, mencoba menghindari makhluk-makhluk menyeramkan yang terus mendekat. Mereka menyusuri jalan setapak yang semakin sulit terlihat di tengah kegelapan dan kepungan pepohonan lebat. Napas mereka tersengal, tetapi mereka tidak berhenti.
Tiba-tiba, salah satu zombie berhasil mencapai Finn dan menahan lengannya. Finn tersentak, berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman makhluk itu terlalu kuat.
“Finn!” Arlen berteriak, tanpa pikir panjang ia mengayunkan pedangnya dan memotong tangan makhluk itu. Finn terlepas, tetapi wajahnya menunjukkan ketakutan yang dalam. Mereka sadar, makhluk-makhluk itu bukan hanya bayangan, tetapi nyata, dan berbahaya.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Erland sambil menghunus pedangnya. “Kita harus melawan, atau mereka akan terus mengejar kita.”
Mereka bertiga berdiri bahu-membahu, mempersiapkan diri untuk pertempuran yang tak terelakkan. Makhluk-makhluk itu semakin mendekat, dan dalam hitungan detik, mereka melancarkan serangan.
Arlen mengayunkan pedangnya, mengatasi rasa takut yang masih menghantuinya. Setiap ayunan terasa seperti perjuangan melawan dirinya sendiri—melawan bayangan yang berbisik tentang kelemahan dan ketakutannya. Tetapi, di tengah pertempuran, ia merasakan sesuatu yang berbeda; keberanian yang tak pernah ia sadari muncul di dalam dirinya.
Pertarungan berlangsung sengit. Erland, dengan keahliannya, mampu menahan beberapa makhluk sekaligus, sedangkan Finn melindungi sisi kiri mereka dengan ayunan pedang yang lincah. Arlen terus melawan, berusaha melindungi rekan-rekannya.
Namun, ketika pertempuran tampak seolah tidak ada habisnya, satu makhluk berhasil meloloskan diri dan mendekati Arlen dengan cepat. Sebelum ia bisa bereaksi, makhluk itu hampir mencengkeramnya.
Di saat terakhir, sebuah cahaya terang muncul dari pedang Arlen, menyilaukan makhluk itu dan memaksanya mundur. Arlen tertegun, tidak tahu apa yang baru saja terjadi.
“Apa... itu?” Finn menatapnya tak percaya.
Erland tersenyum tipis. “Kekuatanmu, Arlen. Itu adalah kekuatan yang hanya akan muncul saat kau benar-benar melawan kegelapan dalam dirimu.”
Arlen tidak bisa berkata-kata. Cahaya itu seakan-akan mengalir langsung dari hatinya, memberikan harapan dan keyakinan baru yang ia butuhkan. Mereka bertiga, dengan semangat yang diperbarui, terus melawan makhluk-makhluk itu, hingga akhirnya mereka berhasil membuat semua musuh mereka lenyap dalam kabut.
Saat kabut perlahan menghilang, mereka berdiri dengan napas terengah-engah. Meskipun kelelahan, mereka tahu bahwa kekuatan baru telah bangkit di dalam diri mereka, dan itu akan menjadi bekal yang berharga dalam perjalanan panjang yang masih harus mereka tempuh.