Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 04 - Sejatinya Perempuan
Langkah Hudzai terhenti, kali pertama dia dengar Alisya bicara dengan suara tinggi. Cukup terkejut, karena sebelum ini Hudzai harus menajamkan telinga tatkala berusaha mendengar wanita itu bicara.
"Apa aku sehina itu sampai sakralnya pernikahan kalian jadikan candaan?"
Lagi, setelah sebelumnya pertanyaan itu hanya terbesit dalam hati, kali ini benar-benar Alisya lontarkan hingga membuat pria di hadapannya berbalik seketika.
Diamnya sang suami Alisya artikan jika memang mendengar, karena itulah dia kembali meneruskan kata-katanya tanpa peduli akan dianggap tidak sopan atau semacamnya.
"Sejak awal sudah aku katakan ikhlas ... tidak perlu diteruskan, ditinggalkan Abimanyu sama sekali bukan masalah, tapi kamu sendiri yang menawarkan diri dan aku tidak pernah memintanya dan sekarang ...." Alisya menarik napasnya dalam-dalam, seolah tak sanggup untuk meneruskan pembicaraan.
"Sekarang dengan mudahnya bicara begitu? Jika niatmu hanya sebatas itu kenapa mau menikahiku? Demi keluargamu? Lalu bagaimana dengan aku? Dipermainkan dua laki-laki sekaligus dalam satu waktu apa mungkin aku tidak malu?"
"Juga, sejauh yang kutahu sejatinya perempuan itu bukan permainan ... Rasulullah saja memuliakan perempuan, tapi kenapa umatnya tidak demikian?!"
Tanpa melepaskan Hudzai dari tatapannya, Alisya berucap dengan tangan terkepal dan dada yang seakan remuk redam. Telanjur basah, Alisya memilih mandi sekalian.
Terserah Hudzai hendak menilainya bagaimana, tapi yang jelas Alisya merasa dia memiliki hak untuk bicara. Hanya karena dia wanita yang tak diharapkan calon suaminya, bukan berarti dia bisa terima-terima saja permainan semacam ini.
Bukan berarti dia berharap lebih juga diterima sebagai istri, tapi Alisya merasa dia harus memberikan perlawanan agar Hudzai tidak semena-mena dan menginjak harga dirinya, terlebih lagi keputusan itu Hudzai ambil dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun.
Sementara itu, Hudzai yang sejak tadi sengaja diam dan memberikan ruang untuk istrinya bicara perlahan menghela napas panjang. Istrinya salah paham, pria itu menggigit bibir dan berpikir dimana letak kesalahan dalam tutur katanya.
"Alisya aku ...." Hudzai sempat kehilangan kata-kata.
Kemarahan sang istri membuat Hudzai bingung seketika. Bukan karena takut, tapi suara Alisya yang bergetar bersamaan dengan air mata di pipinya sudah cukup untuk menegaskan bahwa ada sesuatu yang membuatnya terluka.
"Bukan begitu maksudku ... tidak ada niatku untuk mempermainkanmu, tidak sama sekali."
Hudzai mulai dengan pembelaannya demi meluruskan kesalahpahaman yang terjadi sampai menggores hati Alisya.
"Lalu apa? Dinikahi kemudian diminta untuk pergi ... bukankah itu sama halnya dengan membuangku juga sebagaimana yang Abimanyu lakukan?"
"Siapa yang memintamu pergi? Hem?" Hudzai mendekat, mungkin bicara dengan jarak yang terpisah beberapa senti akan lebih masuk hati.
Tak ubahnya bak memberi penjelasan pada Haura, begitu juga yang Hudzai lakukan padanya, lembut sekali.
"Aku bilang jika mau, kamu boleh pergi ... bukan harus pergi andai nanti Abimanyu kembali, dengan kata lain aku tidak melarangmu dan semua keputusan ada pada dirimu karena di sini aku hanya pengganti yang mungkin sebenarnya tidak kamu ingini," papar Hudzai penuh dengan kehati-hatian karena takut yang di hadapannya ini akan menangis lagi.
Sama seperti yang tadi Alisya lakukan, Hudzai juga tak sedetik pun melepaskan sang istri dari tatapannya. Berharap dengan begini sang istri akan mengerti dan tidak menarik kesimpulan sendiri lagi.
Sebenarnya Hudzai menyadari, kesalahpahaman Alisya juga akibat dari ulahnya. Entah karena kata-kata atau waktu ketika mengucapkannya salah, Hudzai tidak tahu juga karena jika dari cara bicara dia sudah lembut dan biasa saja.
Pun setelah dijelaskan, Alisya tidak memberi tanggapan. Paham atau tidaknya, karena kini dia masih terdiam seolah tengah mencerna kata-kata yang Hudzai ucapkan.
"Sekali lagi aku katakan, Ji-ka mau ... paham, 'kan?"
Ya, Hudzai sampai menekankan penjelasannya kembali demi membuat Alisya benar-benar mengerti.
Sebagaimana yang Hudzai katakan, Jika mau dan keputusannya ada pada Alisya sendiri. Hudzai tidak bermaksud menyakiti, hanya saja dia menempatkan diri sebagai pengganti.
Sejenak Alisya mengalihkan pandangan, tutur kata Hudzai yang tetap lembut kala menjelaskan membuatnya sedikit menyesal. Terlebih lagi, tadi dia bicaranya sampai pakai urat dan yang begitu bukan dirinya sama sekali.
"Paham ... dan aku tidak mau," sahutnya kembali terdengar seperti berbisik, padahal tadi persis berteriak pakai toa masjid.
"Tidak mau?" tanya Hudzai kembali mendekat karena takut telinganya salah dengar.
"Iya, tidak mau," jawabnya lagi-lagi sekecil itu.
Tidak hanya suaranya yang mengecil, tapi nyalinya juga ikut mengecil bahkan terus menunduk hingga tidak bisa melihat senyum tipis yang terukir di wajah Hudzai saat ini.
Sebagaimana wanita pada umumnya, walau salah dia tidak akan melontarkan kata maaf. Untuk hal ini Hudzai bisa mengerti, bisa jadi kekesalan di hatinya terlalu besar sampai tidak berpikir ke sana.
.
.
Cukup lama Alisya bertahan di posisinya, baru setelah Hudzai memintanya untuk istirahat dia menurut.
Dari kejauhan Hudzai melihat sang istri berjalan dan segera naik ke atas tempat tidur. Sudah persis kerbau dicolok hidungnya, memang benar penurut dan tidak banyak tingkah.
Sementara itu, Hudzai berlalu ke kamar mandi untuk sejenak menenangkan diri. Walau dirinya terlihat tenang, tapi kepala dan jiwanya berisik dan panas sekali.
Tindakan Abimanyu secara tiba-tiba masih membuatnya begitu marah. Hanya demi menjaga perasaan orang-orang di sekitar, Hudzai menahan semuanya.
"Aku sudah memberikan pilihan padanya ... dan kau tahu? Dia tidak mau. Jadi, jangan pernah menyesali keputusanmu, Abimanyu," gumam Hudzai menatap bayang dirinya di cermin.
Bisikan-bisikan untuk melampiaskan kemarahan seperti yang dilakukan papanya terus terngiang. Tidak ingin fasilitas di rumah om-nya rusak lagi, Hudzai memilih keluar dan berlalu dari kamar mandi.
Hudzai berjalan dengan langkah gontai, lelah sekali rasanya dia hari ini. Padahal tidak melakukan pekerjaan berat, tapi mungkin karena mentalnya tertekan tatkala Opa seperti akan sekarat, tenaganya seolah terkuras.
Karena itulah, tanpa basa-basi Hudzai menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur dan membuat yang di sisinya terkejut.
Walau tanpa suara, Alisya menyempatkan diri untuk menoleh beberapa saat setelahnya. Rasanya belum lima menit Hudzai ikut naik, tapi matanya sudah terpejam.
"Tidur?" Alisya mendekatkan wajahnya, bermaksud memastikan.
Tidak ada dengkuran halus yang bisa dijadikan patokan jika sang suami benar-benar tidur. Akan tetapi, Alisya mencoba menggerakkan telapak tangan di depan wajah Hudzai beberapa kali.
Belum sempat menemukan jawaban pasti sang suami sudah tertidur atau belum, Alisya dibuat terperanjat kaget tatkala pergelangan tangannya tertangkap seketika.
"Apaaa?" Bersamaan dengan matanya yang terbuka, Hudzai bertanya dengan suara serak karena memang mengantuk luar biasa.
Alisya yang lagi-lagi telanjur malu tampak kebingungan mencari alasan. Dia mengalihkan pandangan sementara tangannya masih dalam genggaman sang suami.
"Alisya?"
"Heuh?" Persis tertangkap basah tengah mencuri Alisya gugup setengah mati.
"Kamu kenapa? Minta nafkah?"
.
.
- To Be Continued -