Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan Yang Tertunda
Amara melangkah perlahan menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya. Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah mengingatkan bahwa meski dunia terus berjalan, perasaan di dalam dirinya tetap terhenti. Ia merasa seperti berjalan dalam kabut yang tebal, tak bisa melihat dengan jelas apa yang akan datang di depan.
Setiap langkah terasa semakin berat, membawa pikiran yang tak henti-hentinya menggelayuti kepalanya. Kepergian Satria bukan sekadar kehilangan. Itu lebih seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri, yang tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa peringatan. Semua yang telah dibangun bersama, yang telah mereka jalani selama ini, kini terasa seperti runtuh dalam sekejap.
"Satria..." Amara berbisik pelan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Pikirannya penuh dengan tanya. Apakah Satria akan kembali? Apakah perasaannya akan berubah setelah semuanya ini? Ia berusaha menepis perasaan itu, tapi semakin ia mencoba untuk tidak memikirkannya, semakin Satria muncul dalam bayangannya. Begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan semakin banyak teka-teki yang harus diselesaikan.
Sesampainya di rumah, Amara langsung memasuki kamar tidurnya, menutup pintu dengan pelan. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya justru semakin gelisah. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Malam semakin larut, tapi tidur terasa jauh dari dirinya. Rasa cemas itu tidak juga hilang. Kepergian Satria seperti bayangan gelap yang terus mengikuti setiap langkahnya.
Tak lama setelah itu, ponselnya berdering. Amara mengangkatnya dengan harapan bahwa itu adalah Satria, meskipun dalam hati ia tahu bahwa harapannya mungkin terlalu tinggi. Tapi yang muncul di layar adalah nama Bima.
Amara menelan saliva sebelum mengangkat telepon. "Bima," suaranya terdengar agak terkejut, meskipun ia berusaha terdengar biasa saja.
"Mara, kamu di rumah?" suara Bima terdengar sedikit lebih khawatir dari biasanya.
"Iya, aku baru sampai," jawab Amara pelan, menatap jam di samping ranjang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Aku tahu kamu pasti lagi mikirin banyak hal, tapi boleh nggak kita bicara? Aku ada sesuatu yang penting buat kamu," kata Bima, suaranya penuh keseriusan. Hal itu membuat Amara merasa sedikit cemas.
"Tentu, ada apa?" jawab Amara, mencoba menahan rasa penasaran yang mulai menguasai dirinya.
"Aku nggak bisa bicara lewat telepon, bisa kita ketemu sebentar? Aku butuh ngomong langsung," ujar Bima, yang terdengar semakin mendesak.
Amara menunduk, bingung. Apa yang sebenarnya ingin Bima bicarakan? Apakah ini tentang Satria? Atau ada hal lain yang tidak ia ketahui? "Oke," jawabnya akhirnya, "di mana?"
"Di kafe yang biasa kita datangi. Aku akan tunggu di sana, lima belas menit lagi," kata Bima singkat sebelum menutup telepon.
Amara terdiam sejenak, merasa semakin ragu. Namun, rasa penasaran mengalahkan segala rasa yang ada dalam dirinya. Ia mengganti pakaian dengan cepat dan keluar rumah, melangkah menuju kafe yang sudah cukup lama tidak ia datangi.
Sesampainya di kafe, Amara melihat Bima duduk di sudut yang biasa mereka pilih. Matanya tampak lelah, dan wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat penuh beban. Ketika melihat Amara datang, Bima tersenyum tipis, namun senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke matanya.
"Kamu kelihatan nggak tenang," Amara mulai membuka percakapan, duduk di hadapan Bima. "Ada yang mau kamu ceritakan?"
Bima menarik napas panjang, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Mara, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi ini penting buat kamu."
Amara merasa hatinya berdegup kencang. Ia menunggu Bima untuk melanjutkan kata-katanya. Meskipun ia merasa cemas, ia tahu bahwa ini adalah momen yang mungkin akan mengubah banyak hal.
"Aku tahu Satria nggak ada di rumah beberapa hari ini, kan?" Bima mulai berbicara, suaranya lebih berat dari sebelumnya.
Amara mengangguk perlahan. "Iya, aku tahu. Dia pergi, dan nggak bilang apa-apa. Aku masih bingung tentang itu."
"Aku juga nggak tahu banyak tentang kepergiannya, tapi ada sesuatu yang perlu kamu tahu." Bima terlihat ragu-ragu sejenak, lalu melanjutkan. "Aku nggak ingin kamu salah paham, Mara, tapi Satria nggak pergi tanpa alasan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dia hadapi, dan aku rasa dia nggak ingin kamu terlibat terlalu jauh."
Amara terdiam, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Apa yang sebenarnya Bima coba katakan? Apakah ini tentang masalah pribadi Satria? "Apa maksud kamu?" tanya Amara dengan suara yang bergetar.
Bima menatapnya tajam, seolah ingin memastikan bahwa ia siap mendengar segala kemungkinan. "Aku rasa Satria merasa terperangkap antara kamu dan dia sendiri, Mara. Dia sedang berjuang dengan sesuatu yang sulit, dan aku tahu itu berhubungan dengan... perasaannya." Bima menelan saliva sebelum melanjutkan, "Tapi bukan cuma itu, ada hal lain yang lebih dalam yang dia pikirkan. Ada sesuatu yang dia khawatirkan, dan dia nggak tahu bagaimana harus menghadapinya."
Amara merasa kepalanya berputar. Setiap kata yang keluar dari mulut Bima semakin membuat semuanya terasa rumit dan semakin tidak jelas. Apa yang sedang terjadi pada Satria? Perasaan apa yang membuatnya merasa terperangkap? Dan mengapa Bima yang memberitahunya tentang semua ini? Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul, tapi Amara merasa bingung dan tidak tahu harus mulai dari mana.
"Bima, kamu yakin dengan apa yang kamu katakan?" Amara berusaha memastikan, meskipun ia tahu bahwa Bima adalah orang yang dekat dengan Satria. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Bima menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ini bukan karena kamu, Mara. Tapi Satria perlu waktu untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Mungkin ini bukan waktunya untuk kalian berdua."
Amara terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Bima. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar semakin kabur, seperti menambah kebingungannya yang sudah mendera. Satria merasa terperangkap? Ada sesuatu yang lebih besar yang dia hadapi? Amara merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia sentuh, meski sudah begitu dekat. Semua ini terasa seperti teka-teki yang semakin rumit, semakin tak terpecahkan.
"Bima," suara Amara terdengar lebih pelan, seolah mencari kekuatan untuk mengajukan pertanyaan yang lebih dalam. "Apakah ini tentang aku? Tentang kita?" Suaranya bergetar, seolah menahan tangisan yang ingin keluar, tapi dia berusaha menahannya, tidak ingin terlihat lemah di depan Bima.
Bima menarik napas panjang, tampak berpikir keras sebelum akhirnya menjawab, "Aku nggak bisa bilang itu tentang kamu secara langsung, Mara, tapi aku rasa ini memang ada kaitannya. Satria... dia merasa cemas tentang bagaimana semuanya berjalan, tentang hubungan kalian. Aku nggak tahu pasti, tapi dia sering mengungkapkan rasa takutnya tentang kamu yang terlalu bergantung padanya." Bima menatap Amara dengan tatapan penuh penyesalan, seolah mencoba memberi pengertian bahwa dia tidak ingin menyakiti perasaannya. "Dia nggak ingin kamu merasa terbebani atau merasa bahwa kamu harus selalu bergantung padanya. Satria hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya sendiri."
Amara merasa hatinya nyeri mendengar itu. Bergantung padanya? Apakah selama ini Satria merasa seperti itu? Amara memegangi dadanya, mencoba menahan perasaan yang begitu teriris. "Aku nggak pernah merasa seperti itu," jawabnya perlahan, suaranya hampir tak terdengar. "Aku hanya... hanya ingin dia tahu bahwa aku ada untuknya, bahwa aku bisa membantunya. Kenapa dia nggak memberi tahu aku jika itu masalahnya?"
"Mara, kadang-kadang kita nggak bisa mengungkapkan semuanya," jawab Bima dengan lembut. "Kadang, kita takut bahwa orang yang kita sayangi justru akan merasa terbebani oleh perasaan kita sendiri. Satria nggak ingin kamu merasa seperti itu, apalagi jika dia tahu betapa besar perasaanmu padanya."
Amara merasakan seakan ada batu besar yang menghempas dadanya, membuatnya sulit untuk bernapas. Semua yang selama ini ia yakini tentang hubungan mereka kini terasa goyah. Apakah benar Satria merasa terbebani? Apakah benar ia terlalu bergantung padanya? Pertanyaan itu terus menghantuinya, seperti bayangan yang tak pernah bisa ia singkirkan.
"Tapi kenapa dia nggak bilang langsung ke aku?" Amara hampir berteriak, meskipun suaranya masih terjaga. "Kenapa harus pergi tanpa penjelasan seperti ini? Kenapa dia nggak beri aku kesempatan untuk mengerti?"
Bima menghela napas, terlihat semakin berat dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Karena kadang, kita nggak bisa langsung mengungkapkan apa yang ada di dalam hati kita, Mara. Satria itu bukan orang yang mudah untuk membuka perasaan, bahkan kepada orang terdekat sekalipun." Bima menatap Amara dalam-dalam, dan matanya tampak penuh dengan pengertian, meskipun juga ada rasa cemas yang mendalam. "Terkadang, orang yang kita cintai justru menyakiti diri mereka sendiri dengan cara seperti itu."
Amara merasa seolah waktu berhenti sejenak. Semua perasaan yang selama ini tersembunyi kini terasa begitu nyata, begitu menyakitkan. "Jadi, Satria... dia merasa kalau kita nggak bisa bersama?" Tanya Amara perlahan, matanya kini mulai berkaca-kaca. "Apakah itu yang dia pikirkan?"
Bima terdiam beberapa detik, seolah mencerna pertanyaan itu dengan hati-hati. "Aku nggak tahu jawabannya, Mara. Yang aku tahu, Satria memang merasa dia harus mengambil langkah ini. Mungkin dia nggak tahu harus bagaimana lagi untuk membuat semuanya lebih baik. Aku hanya bisa memberitahumu bahwa ini bukan hanya tentang kamu, ini tentang dia juga."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?" Amara merasa hatinya tercekik oleh kebingungannya. Semua yang dia miliki terasa seperti jatuh begitu saja, seolah tak ada lagi yang tersisa untuk dipertahankan. "Aku nggak tahu harus ke mana, Bima. Aku nggak tahu bagaimana harus bertindak."
Bima menatapnya dengan mata yang penuh pengertian, seolah ingin meyakinkan Amara bahwa semuanya tidak akan berakhir seperti yang ia bayangkan. "Mara, terkadang kita nggak bisa mengontrol apa yang terjadi dalam hubungan kita. Terkadang, orang yang kita cintai butuh waktu untuk menemukan jalan mereka sendiri. Semua ini mungkin akan lebih jelas setelah Satria kembali, dan kamu perlu memberi ruang bagi diri kamu sendiri juga. Jangan terlalu keras pada diri kamu."
Amara menunduk, mencoba menguasai dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Bima terasa seperti menyentuh bagian terdalam dari hatinya, memberikan secercah harapan meski dia tak sepenuhnya mengerti. "Aku cuma takut, Bima," jawab Amara dengan suara lirih, "Aku takut kalau semuanya akan berakhir begitu saja."
Bima mengulurkan tangan, menggenggam tangan Amara dengan lembut. "Aku tahu perasaan kamu, Mara. Aku juga nggak ingin melihat kamu hancur seperti ini. Tapi kamu harus percaya, ada waktu untuk semuanya. Satria butuh waktu, dan kamu juga butuh waktu untuk diri kamu sendiri."
Amara menatap tangan Bima yang menggenggam tangannya, merasakan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, meskipun ada kenyamanan dalam genggaman itu, ia tahu bahwa itu tidak akan pernah bisa menggantikan apa yang hilang dalam dirinya. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Bima," ucapnya pelan, "Tapi terima kasih sudah ada di sini."
Bima hanya mengangguk, tetap menggenggam tangannya dengan erat, seolah ingin memberinya kekuatan yang selama ini hilang. "Kamu nggak sendiri, Mara. Aku akan selalu ada untuk kamu."
Amara mengangguk pelan, namun hatinya tetap terasa kosong, dipenuhi oleh ribuan pertanyaan yang belum terjawab. Semua ini hanya akan semakin rumit, dan ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan memberikan jawaban yang selama ini ia cari.