Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND ~ Bab 19
Ceren sengaja membiarkan ibu dan bapak berjalan duluan, "apa kamu yang minta buat pulang ke rumah, Lang?"
"Makanan disini ndak enak." jawabnya tersenyum, "kalo di rumah kan bisa seharian ketemu kamu juga, selain waktu sekolah."
Namun Ceren masih tetap diam menatap Gilang dengan nanar, sadar akan reaksi tak puas Ceren yang mungkin sebentar lagi akan meledak, Gilang menarik tangan Ceren agar gadis itu menghadapnya, "aku bakal baik-baik aja." Ujarnya lagi mencoba menenangkan tapi nyatanya itu tak serta merta membuat Ceren tenang, justru semakin dilanda kekhawatiran.
"Tapi!" Ceren menggantung ucapannya di udara sadar jika keduanya justru menghalangi jalan, "terserah kamu aja lah." Ceren kembali mendorong kursi roda dengan air mata yang telah meleleh.
Ceren bergerak gelisah, entah kenapa malam ini ia tak bisa tidur. Mungkin karena AC tak ia nyalakan, udara ibukota memang panas.
"Aus gue..." meski matanya sudah terasa lengket, namun tenggorokan dan mulutnya tak bisa mengindahkan rasa haus yang mendera, hingga membuatnya mau tak mau beranjak dari kasur menuju dapur.
Ceklek!
Matanya menyipit karena silau lampu, tumben sekali lampu tidak setemaram biasanya, sejurus kemudian ia mendengar sayup-sayup suara orang beraktivitas.
Tak ia hiraukan, Ceren melanjutkan tujuannya.
"Ibu?"
Bu Ambar menoleh dengan segelas air dan obat di atas nampan yang ia bawa, "Ceren."
"Ibu sakit?"
Ia menggeleng, "Gilang..."
Ceren tak bisa untuk tak memaksa kesadarannya full.
.
.
Shitttt!
"Telat!" Ceren berlari kesana kemari mencari handuk, seragam dan buku pelajaran. Semalam ia begadang menemani Gilang yang mendadak demam.
Hari ini Gilang ijin tak masuk, dan Ceren....
"Sudah telat kan? Kamu duduk di belakang bareng Kaisar. Buruan, saya tunggu di mobil, Kai...ayok!" Titah Hilman yang baru saja datang atas permintaan Gilang, saat mendapati Ceren yang mengunyah rotinya besar-besar, Kaisar bahkan menertawakan aksi Ceren itu, "bu'lek persis kucing di depan komplek." Kikiknya hendak turun dari kursinya dibantu ibu, "awas le, hati-hati. Sini ta lapi dulu mulutnya..." pinta ibu.
"Bisa tah, makan itu pelan-pelan?!" tanya ibu menatap Ceren ngeri, persis liat gelandangan ngga makan 3 hari.
"Udah telat bu." jawabnya menyeruput susu di meja.
"Dibekal saja nduk." sahut bapak. Ceren menggeleng, "ngga usah, pak. Biar istirahat nanti Ceren jajan di kantin saja."
Kai sedang disuapi ibu barang sesuap dua suap, sementara Ceren...ia memilih masuk terlebih dahulu ke kamar Gilang untuk pamit.
Diketuknya pintu kamar, "Lang..." tangannya sudah membuka handle pintu, pemandangan pertama yang ia temukan adalah Gilang yang tengah tertidur pagi itu karena semalam ia tak bisa tidur.
Tangannya merambat memegang dahi Gilang yang ditempeli oleh kompres instan, ada senyum Ceren yang terlukis di bibirnya, "turun."
"Aku pamit sekolah dulu ya, Lang. Nanti masmu ngomel-ngomel kalo aku bolos..." pamitnya berbalik.
.
.
Bapak menghampiri Hilman di halaman, putra pertamanya itu seolah sengaja menghindarinya setelah obrolan tempo hari saat di rumah sakit dan selepas pernikahan Gilang dan Ceren terjadi.
"Bagaimana? Tidak mungkin bapak dan ibu melepas harta warisan Gilang begitu saja, Man...jumlah sahamnya tidak main-main..."
Hilman menghela nafasnya, "lantas kenapa harus Hilman yang bertanggung jawab pak. Tidak mungkin Hilman menikahi adik ipar sendiri, murid Hilman di sekolah..." jawabnya, bapak mengusap keningnya dan terdiam begitupun Hilman, netranya menatap pintu rumah dimana Kai sudah berlari keluar, "yandaaa! Eyanggg!"
"Kai sudah keluar, sebentar lagi Ceren juga keluar. Kita sudahi saja obrolan ini, nanti Hilman pikirkan lagi..." ucapnya masuk ke dalam kursi pengemudi.
Beberapa kali Ceren menguap di kelas, bahkan gadis ini sampai terantuk-antuk di meja, untung saja tak ada guru yang mengajar dan mengawasi, sontak hal ini mengusik kesadaran Fira, setelah keanehannya terhadap Ceren kemarin-kemarin, kini Fira dibuat tak mengenali Ceren, "tumben kamu ngantuk, ceu. Kamu begadang?"
Ceren mengangguk, "iya."
Fira tertawa mencibir, "tumben. Biasanya juga paling ngga bisa sama yang namanya begadang. Jangankan begadang, jam tidur kamu aja lebih awal dari orang pada umumnya. Heloo! Ini Ceren kah?!"
Dan ucapan Fira barusan sukses membuat Ceren mendelik, "gue jagain Gilang, demam dia." ocehnya jujur.
Praktis Fira langsung menoleh, "Gilang?! Jagain?! Semaleman?!" tanya nya melengking horor.
Ceren mele nguh berat, cepat atau lambat Fira memang harus tau tentangnya dan Gilang, mungkin lebih cepat lebih baik, biar ngga ada drama keceplosan yang akan membuat pertemanannya dengan Fira retak.
Ceren menoleh berbalik pada Fira, "Oke, Ra...aku mau cerita rahasia kecilku sama kamu...tapi please jangan pernah kasih tau yang lain tentang ini, janji?!" Ceren menyodorkan kelingkingnya.
"Ck, iya."
(..)
Fira masih terbengong dan tak percaya jika Ceren bisa-bisanya menikah tanpa memberitahunya, sekaligus tak percaya jika ternyata Gilang mengidap penyakit mematikan, "pantes aja! Gilang jarang masuk. Kamu juga, sejak aku taunya kamu pacaran sama Gilang, jadi sering ijin..."
Fira tertawa mencibir, masih jaman ya, pernikahan dini!
Ceren memutuskan untuk bertemu dengan bapak terlebih dahulu siang ini, sebelum benar-benar pulang. Bukan cafe atau resto mahal keduanya berjumpa, bapak meminta Ceren datang ke warteg di dekat butik Ambar sembari ia yang beristirahat dan makan.
Terlihat olehnya dari kaca jendela warteg seorang pria paruh baya dengan batiknya sedang melahap sepiring nasi rames bersana beberapa pengunjung warteg lain.
"Curang, makan duluan..." dengusnya duduk di samping bapak yang menoleh terkejut. Mulutnya yang penuh dengan nasi terpaksa harus mengunyah cepat demi menjawab, "kualat kamu nduk, ngagetin bapak lagi makan! Bapak kutuk kamu jadi kaya raya!"
Ceren justru tertawa, "makanya kalo makan jangan terlalu serius sampai menghayati, pak. Kalo warteg di bom orang bapak ngga sempet kabur!" Ceren mengedarkan pandangannya ke arah deretan makanan yang ada di dalam etalase kaca.
"Bu, aku mau nasi pake cumi balado sama telor ceplok ya. Minumnya teh tawar panas aja." pintanya menurunkan tali tas dari kedua pundaknya.
Ia lantas memperhatikan bapak yang sudah duluan makan, "katanya mau lunch bareng, tapi bapak malah makan duluan...ngga asik!" cibir Ceren.
"Nggayamu lunch, mentang-mentang sudah tinggal di rumah gedongan." Bapak menyeruput teh miliknya sebelum melanjutkan kembali makannya, "gimana disana, betah? Kondisi Gilang sekarang gimana, maaf bapak belum sempat lihat...bu Ambar menyerahkan urusan butik sama bapak, jadi bapak sibuk buanget..."
Ceren paham dan mengangguk, "ngga apa-apa." ia menghela nafasnya berat, entah angin panas darimana kini kelopak matanya terlalu berat untuk ditahan, memang inilah tujuannya bertemu bapak, meledakan isi hati yang telah lama ia pendam, "pak." suaranya parau bergetar.
"Kenapa to?" melihat wajah sendu Ceren, bapak tak bisa untuk tak berhenti makan.
"Kamu berantem sama Gilang?"
Ceren menggeleng, "Gilang----"
Ceren menatap ke bawah meski tak menunduk, "kok aku mulai sayang ya, tapi Gilang----makin kesini kondisinya..." ia akhirnya melelehkan air mata di depan bapak, tangan seorang ayahnya terulur refleks untuk mengusap punggung demi menguatkan sang putri. Gadisnya yang terbiasa tangguh bisa jatuh dan menangis juga.
"Sabar nduk. Jika memang sudah waktunya....kamu harus percaya jika gusti Allah lebih sayang Gilang. Sayangnya Allah itu kekal, nduk dibanding sayangnya makhluk manapun. Yang kuat, ambil hikmahnya, jika kamu pernah memiliki seseorang sebaik Gilang. Jika kamu pernah mengenal lelaki setangguh Gilang."
"Bapak nguati aku sih nguati pak, itu tangan bapak bekas ikan asin! Bau seragamku, pak!" Ceren menggidikan punggungnya.
"Oalah! Asemm kamu nduk, masih inget itu!!"
Meskipun diselingi cerita menyedihkan, namun bersama bapak Ceren merasa setidaknya beban hati yang dipikulnya sedikit berkurang.
.
.
.
.
happy ending buat pasangan mas bodo dan cerenia, happy selalu bersama keluarga...makasih mbk sin, udah bikin novel yg greget kayak maa bodo
next, going to the next novel, gio adik bontotnya mas tama ya
kopi sudah otewe ya..