Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua puluh empat
Siang harinya tiba, dan akhirnya rai serta dina harus kembali ke Kota Kencana. Awalnya, Rai mencoba mengabaikan kepulangan itu, hatinya belum siap meninggalkan zeline dan rayan. Namun, Dina dengan lembut mengingatkan, dan mau tak mau rai harus merelakan diri untuk berangkat. Sebelum mereka benar-benar pergi, Rai berlutut di hadapan zeline, memeluk putrinya erat-erat, seolah ingin menyimpan kehangatan itu sebagai bekal saat berjauhan nanti.
“Bunda pergi sebentar ya, nanti bunda balik lagi ke sini. Adek jagain ayah ya nak ” ucap rai lembut, suaranya terselip perasaan berat yang tak bisa disembunyikan. Hatinya terasa enggan melepas gadis kecilnya, dan pelukannya terasa seolah tak ingin terpisah.
Namun, Zeline menggeleng dengan wajah sedih. “Adek mau ikut bunda,” ujarnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca. Gadis kecil itu tak ingin berpisah dari ibunya, tak rela hanya ayah yang akan menemaninya.
Rai mengelus lembut pipi putrinya, berusaha menenangkan. “Adek di sini ya, sama ayah dulu. Nanti bunda balik, janji,” katanya dengan suara menenangkan. Meski hatinya terasa berat, Rai tahu ia harus meninggalkan zeline dan rayan untuk sementara. Zeline memeluk ibunya erat untuk terakhir kali sebelum mereka benar-benar harus berpisah.
Tangisan zeline pun pecah, memecah keheningan siang itu. Gadis kecil itu tak rela melepaskan ibunya, menggenggam erat pelukan rai, tubuh kecilnya bergetar dengan isak yang tak terhenti. Rayan, yang masih terbaring lemah di ranjang, hanya bisa menyaksikan dengan hati yang terasa sesak. Rasa tak berdaya menyelimuti dirinya ia ingin menenangkan putrinya, namun kondisinya belum memungkinkan untuk bangkit.
Rahma mencoba mendekat, berusaha menenangkan zeline. Ia membelai lembut bahu kecil itu, lalu berkata pelan, “Ayo dek. Bunda nanti pasti balik kok.”
Namun, Zeline menggeleng keras, tangisnya semakin deras, “Ndak!” serunya, suaranya pecah, tangannya semakin erat menggenggam baju rai, seolah tak ingin ada jarak sedikit pun. Rai menghela napas, menahan rasa berat yang menumpuk di dadanya. Ia tahu harus segera pergi, namun hati keibuannya tak sanggup meninggalkan anaknya dalam keadaan seperti ini.
Dengan lembut, Rai menggendong zeline, membawanya ke balik tirai tempat tidur mereka tadi, menciptakan ruang lebih privat untuk menenangkan gadis kecilnya. Di sana, Rai berusaha menenangkan zeline, mengusap rambutnya dengan lembut, memeluknya erat, dan dengan suara menenangkan, berkata, “Sayang, Bunda harus pergi sebentar, tapi bunda janji akan kembali lagi. adek tunggu di sini ya, dengan ayah dan tante rahma. Bunda nggak akan lama sayang.”
Rai memandang zeline yang masih terisak di pelukannya, perasaan berat menghimpit hatinya. Melihat mata anaknya yang sembab dan merah, Rai merasa semakin sulit untuk beranjak pergi. Dengan penuh kasih, Rai mengubah posisi zeline, memiringkannya agar nyaman dalam dekapannya, membiarkan gadis kecil itu meringkuk dalam kehangatannya.
Waktu perlahan berjalan, menit demi menit terasa seperti sebuah keputusan yang berat. Rai kemudian mengusap kepala zeline dengan lembut, lalu menyusui putrinya, berharap kehangatan dan ketenangan itu dapat membawa zeline ke alam mimpi, membiarkannya beristirahat dengan damai. Napas kecil zeline yang tersendat-sendat di antara tangisannya mulai melambat, dan matanya perlahan terpejam, meski masih terisak pelan.
“Bunda akan kembali secepatnya sayang. Adek istirahat dulu ya.” Rai mengecup dahi zeline, mengukir janji tak terucap dalam hatinya. Dan ketika dirinya ingin bangkit, rai merasakan hisapan kuat zeline, yang terasa lebih dalam dan berisi, seolah anaknya benar-benar tidak rela ditinggalkan. Setiap tarikan kecil itu membuat hati rai semakin berat, perasaannya terguncang antara tanggung jawab yang menunggu dan keinginan untuk tetap berada di samping zeline. Rai mengusap lembut rambut putrinya, mencari cara untuk menenangkan hati kecil yang begitu menggantungkan diri padanya.
“Pelan-pelan dek ” Rai berbisik, suara lembutnya penuh cinta. “Bunda gak jadi pergi…” katanya pelan, terpaksa mengucapkan kata-kata itu agar zeline percaya. Mendengar suara tenang ibunya, Zeline merespons dengan perlahan mengurangi hisapannya. Ketenangan mulai mengalir di wajah gadis kecil itu, seolah jaminan dari ibunya telah menenangkan hatinya yang sempat gelisah.
Lama-kelamaan, napas zeline melambat, beralih dari gelombang resah menjadi irama tidur yang damai. Rai menatap putrinya yang akhirnya terlelap dalam dekapan, wajah kecil itu tampak begitu polos dan damai. Rai menarik napas panjang, membiarkan kehangatan itu meresap, meski dalam hatinya ia tahu perpisahan yang sementara itu harus segera terjadi. Dengan hati-hati, Rai mengecup lembut kepala zeline, menahan air matanya yang hampir jatuh.
Dengan lembut, Rai menurunkan zeline ke atas tempat tidur, memastikan putrinya yang terlelap tetap nyaman dalam tidurnya. Ia menarik selimut hingga menutupi dada zeline, lalu mengusap rambutnya sekali lagi sebelum beranjak pergi. Dengan langkah perlahan, Rai bergerak meninggalkan sisi putrinya, sambil membetulkan kancing bajunya yang sempat terbuka.
Di balik tirai, Dina menunggu dengan pandangan penuh pengertian. “Kita pergi sekarang?” tanya dina lembut, mengingatkan rai akan perjalanan yang menanti. Rai mengangguk pelan, lalu berjalan mendekati rayan yang masih terbaring.
“Rai pergi dulu, nanti rai balik lagi. Kamu istirahat ya, biar cepat pulih,” bisik rai lembut, penuh kasih. “Jangan lupa makan sama minum obat.” Rai mengusap lembut rambut suaminya sebelum mengecup keningnya. Rayan tersenyum kecil, mengangkat tangannya untuk membelai pipi Rai.
“Hati-hati di jalan ya. Jangan sedih, nanti mereka malah khawatir sama rai,” kata rayan, menguatkan rai meski ia sendiri merasa berat melepasnya. Rai mengangguk sambil menahan air mata yang hampir jatuh, lalu mendekatkan wajahnya pada suaminya. Rayan pun mengecup kening dan kedua pipinya, memberi pelukan terakhir yang hangat.
“Rai pergi ya, nanti rai hubungi lagi ” ujar rai, memaksa senyum agar terlihat tenang di hadapan rayan. Setelah itu, ia melangkah keluar bersama dina, meninggalkan kamar inap rayan dengan harapan dan doa untuk segera kembali.
Rayan menghembuskan napas panjang, merasakan ruang kosong yang baru saja ditinggalkan rai. Perasaannya berat, dan tanpa sadar, air mata mengalir membasahi pipinya. Ia menutup mata, memilih untuk terlelap dalam harapan bahwa tidur mungkin akan membawa ketenangan, walau hanya sementara. Dengan begitu, rasa sedihnya bisa sedikit terobati, dan beban kehilangan bisa sejenak terlupakan.
Di sisi lain, Rai melangkah keluar dari rumah sakit dengan langkah berat. Di balik masker dan kacamata yang dikenakannya, air mata turut mengalir tanpa henti. Ia harus kembali ke tempat yang seharusnya menjadi rumah, namun kini lebih terasa seperti jerat yang menyakitkan. Kota Kencana, tempat di mana ia akan bertemu dengan sosok penyebab luka besar dalam hidupnya, ibunya. Sosok itulah yang telah memisahkan dirinya dari anak dan suaminya, menanamkan jurang pemisah yang mendalam di antara mereka.
Setiap langkah menuju kota itu terasa seolah menambah luka yang sudah tergores di hati rai. Namun, meski sesakit apa pun, ia tahu ia harus kembali, menahan pedih demi sesuatu yang lebih besar demi keluarga kecilnya, demi zeline dan rayan, yang menunggu dalam doa dan harapannya untuk bisa bersama lagi.