NovelToon NovelToon
Seketaris Sang Pemuas

Seketaris Sang Pemuas

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / CEO / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:14.5k
Nilai: 5
Nama Author: rafi M M

Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22: Sentuhan Pertama

Malam sudah larut ketika Adara menyelesaikan laporan terakhir yang harus dikirim malam itu. Kantor sudah sepi, hanya ditemani suara lembut AC dan gemuruh jauh dari jalanan kota. Biasanya, ia akan pulang lebih awal, tetapi pekerjaan yang mendesak dari Arga memaksanya bertahan lebih lama di kantor. Sambil menarik napas, ia membereskan dokumen di mejanya.

Saat itulah pintu ruangannya terbuka, dan Arga muncul tanpa suara. Penampilannya tampak lelah, tetapi tatapan matanya tetap tegas. Ia menatap Adara dalam hening, seolah mempertimbangkan sesuatu yang sulit diucapkan.

“Adara, kamu masih di sini?” tanyanya, dengan suara sedikit serak.

Adara mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Masih ada beberapa dokumen yang perlu saya rapikan sebelum dikirim ke klien besok.”

Arga mendekat, memandang meja kerja Adara dengan perhatian yang lebih dari biasanya. Ada kehangatan aneh di tatapannya malam itu, berbeda dari biasanya yang penuh disiplin dan ketegasan.

“Kamu bekerja terlalu keras,” gumamnya, nyaris berbisik.

Perhatian seperti itu dari Arga selalu membuat Adara canggung. Sejak hari pertama bekerja, ia tahu Arga adalah tipe bos yang menjaga jarak dari karyawannya, terutama dalam urusan pribadi. Namun, beberapa minggu terakhir, hubungan mereka perlahan berubah. Ada percakapan-percakapan kecil di sela-sela pekerjaan yang terasa lebih hangat, lebih dekat.

“Ini sudah menjadi bagian dari pekerjaan, Pak. Tidak masalah,” jawab Adara dengan tersenyum tipis, mencoba menjaga profesionalitasnya.

Arga tidak beranjak, hanya berdiri di sana, di dekat mejanya. Tatapan matanya menyapu sekeliling ruangan, namun akhirnya kembali tertuju pada Adara.

“Kalau begitu, saya bantu sebentar,” ucapnya sambil meraih salah satu tumpukan dokumen yang ada di meja.

“Tidak perlu, Pak Arga! Biar saya saja,” kata Adara terburu-buru.

Namun, Arga tetap bersikeras. “Tidak apa-apa, ini tidak akan lama.”

Mereka berdua mulai bekerja dalam hening, menyelesaikan dokumen yang tersisa. Selama beberapa menit, satu-satunya suara yang terdengar adalah kertas-kertas yang dibolak-balik dan klik-klik keyboard. Adara mulai merasa lebih nyaman. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Arga yang begitu serius. Setiap kali ia melakukannya, jantungnya berdebar tak menentu.

Hingga tiba-tiba, tanpa sengaja, tangan mereka bersentuhan saat mengambil pena yang sama. Keduanya terdiam, mata mereka saling bertemu, dan waktu seolah berhenti. Adara merasakan sentuhan itu begitu kuat, hangat, dan menggetarkan. Ada kilasan rasa yang tidak pernah ia duga akan muncul dari sebuah sentuhan sederhana.

“Maaf,” gumam Arga dengan suara nyaris tak terdengar. Tapi ia tidak menarik tangannya.

Adara juga tak bergerak, terjebak dalam tatapan intens yang membuatnya tidak mampu berkata-kata. Sesuatu dalam diri Arga, dalam pandangan matanya, menyiratkan kehangatan dan kesepian yang sulit dijelaskan. Ia merasa dirinya hanyut, terlena dalam detik yang terasa lebih panjang dari biasanya.

“Ada sesuatu yang ingin saya katakan, Adara…” Arga akhirnya memecah keheningan, namun suaranya tetap lembut.

Adara masih diam, hanya menatapnya dengan hati berdebar. Tatapan Arga kali ini bukanlah tatapan bos terhadap bawahannya. Ada yang lebih dalam, lebih dekat, dan itu membuat seluruh tubuh Adara dipenuhi perasaan tak karuan.

Arga menarik napas panjang, lalu berbisik, “Saya tahu ini mungkin salah... Tapi sejak beberapa waktu terakhir, saya merasa... ada yang berubah.”

Adara tidak tahu harus berkata apa. Namun, hatinya seolah menjawab dalam diam. Ia juga merasakan hal yang sama, tetapi tidak pernah berani mengakui, apalagi mengatakannya secara terbuka.

“Pak Arga…” bisik Adara pelan, penuh kebingungan.

Namun, sebelum ia melanjutkan, Arga mendekat sedikit lagi, nyaris tak terduga. Kini jarak mereka hanya beberapa inci. Adara bisa merasakan nafas Arga, hangat dan pelan, membelai wajahnya.

Sebuah keraguan menghiasi wajah Arga. Ia seperti seseorang yang terjebak antara keinginan dan tanggung jawabnya. Namun pada akhirnya, ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Adara dengan lembut. Sentuhan itu begitu halus, hampir tidak terasa, tetapi mengirimkan getaran yang membuat Adara merinding.

“Adara…” suara Arga bergetar. “Kamu tahu... perasaan ini sulit untuk diabaikan. Aku sudah mencoba, sungguh. Tapi, semakin hari, semakin sulit.”

Mata Adara mulai basah, namun bukan karena kesedihan. Ada perasaan hangat yang perlahan membanjiri dirinya. Ia menyadari betapa ia merindukan momen ini, momen ketika mereka berdua tidak perlu berpura-pura lagi. Di balik perbedaan posisi mereka, di balik semua batasan profesional yang selama ini mereka coba jaga, ada sesuatu yang tidak bisa ditepis—perasaan tulus yang perlahan berkembang tanpa mereka sadari.

Sadar situasinya, Adara menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. “Arga, kita… seharusnya tidak seperti ini.”

“Ya, mungkin. Tapi terkadang, hal-hal yang salah justru terasa benar,” bisik Arga penuh keyakinan.

Sentuhan di pipinya perlahan bergeser, kali ini mengusap lembut rambutnya. Jantung Adara semakin tak karuan. Ia merasakan kehangatan Arga, namun juga ketakutan akan batas yang mereka lewati. Semua perasaan itu berkecamuk di dalam dirinya, namun ia tahu satu hal: malam ini akan menjadi awal yang berbeda bagi mereka.

Adara menutup matanya, membiarkan dirinya hanyut dalam momen itu, membiarkan perasaan yang selama ini ia pendam perlahan menguasainya. Tangan Arga menyentuh jemarinya, menggenggamnya dengan lembut, seolah mengatakan bahwa ia tidak sendiri dalam pergulatan ini.

“Kita punya pilihan, Adara,” bisik Arga lagi. “Kita bisa mengakhiri ini sekarang, atau kita bisa mencoba memahami perasaan ini bersama.”

Adara membuka matanya, menatap Arga dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu jalan yang mereka hadapi tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada keberanian untuk menghadapi apapun, selama mereka melakukannya bersama.

“Arga, jika kita memilih ini... apa yang akan terjadi nanti?” tanyanya lirih, penuh kekhawatiran.

Arga tersenyum tipis, kali ini dengan kelembutan yang belum pernah Adara lihat sebelumnya. “Aku juga tidak tahu. Tapi aku siap untuk menempuhnya, selama kamu bersamaku.”

Hening kembali menyelimuti ruangan itu. Namun, kali ini bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh arti. Sentuhan pertama yang mereka bagi bukan sekadar sentuhan fisik. Di baliknya, ada harapan, ada janji, dan ada keberanian untuk merangkai kisah yang mungkin tak pernah mereka duga sebelumnya.

1
zizi 😉
Luar biasa
Rafi M Muflih: makasih 😁
total 1 replies
Rajemiati S.Pd.I
lanjutannya.mana
Rafi M Muflih: kemungkinan besok ka, sekarang lagi buat dulu bab nya
total 1 replies
Scorpio Hidden
Semangat terus ka ❤️ jangan lupa mampir yah 🤭
Rafi M Muflih: baik ka
total 1 replies
Rina haryani
update lagi dong
Rina haryani
awalan yang bagus
Rina haryani
sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!