Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Bahan material sudah mulai di datangkan, rencananya minggu depan akan mulai di renovasi untuk di bangun menjadi kos kosan. Bekas rumah bulek Tini akan di buat kos khusus untuk putri, dan bekas rumah paklek Teguh akan di bangun kos khusus laki laki. Dan rencananya masing masing akan dibuat dua lantai dengan masing masing kamar yang berbeda di lantai bawah akan di buat delapan kamar dengan kamar mandi luar dan dapur umum. Sedangkan yang lantai dua ada enam kamar yang kamar mandi ada di dalam. Jadi semua total ada dua puluh delapan pintu. Sedangkan rumah yang aku tempati juga di renovasi menjadi dua lantai. Lantai atas akan di bangun menjadi dua kamar, satu kamar mandi, satu ruang santai, dan jemuran. Sedangkan lantai bawah rencananya akan di buat toko kecil kecilan untuk aku jualan, ruang tamu dan dapur.
"Kamu bisa jualan untuk kebutuhan anak kos, Ras. Soal modal kamu tidak perlu khawatir. Insyaallah aku akan membantumu, kamu lebih baik fokus kerja dirumah agar bisa menjaga dan merawat anakmu dengan tenang. Nanti untuk para tukang, kalau kamu gak keberatan aku ingin kamu yang menyediakan sarapan dan makan siangnya, dan juga kopi serta suguhan mereka. Per orang aku kasih jatah lima puluh ribu untuk makannya. Gimana, apa kamu sanggup?" Tanya mas Wardana yang hari ini terlihat rapi dan tampan dengan setelan kasualnya.
"Iya mas, aku sanggup, insyaallah. Terimakasih banyak, mas Wardana sudah sangat membantuku." Balasku dengan hati menghangat.
"Alhamdulillah kalau kamu bersedia. Aku senang bisa membantu, Ras. Oh iya, aku dengar anakmu sekolah di SMP satu negri ya?" Tanya mas Wardana dengan antusias.
"Iya mas, Alhamdulillah. Mulai Minggu depan sudah masuk sekolahnya." Balasku sambil tersenyum tipis, entahlah saat mata ini beradu pandang dengannya, ada getar yang tak bisa aku mengerti. Tatapan matanya seolah memberi keteduhan yang membuat hati ini merasakan kedamaian.
"Ras, boleh aku tanya sesuatu, mungkin ini ahak pribadi?" Sambung mas Wardana yang menatapku lekat dengan mata tajamnya.
"Boleh mas, silahkan." Sahutku dengan tetap berusaha bersikap tenang, meskipun dada ini terus berdetak tak karuan.
"Em, sudah berapa lama kamu pisah dengan suami kamu?" Tanya mas Wardana yang terlihat sedikit canggung.
"Em, belum ada satu tahun mas. Tapi kami sudah mulai ada masalah sudah sangat lama. Bahkan ayahnya Luna hampir gak pernah pulang, kami sudah pisah ranjang bertahun tahun. Sejak aku mengetahui perselingkuhannya dan dia menikah siri dengan perempuan lain. Aku sudah tidak mau di sentuh dan mulai tak lagi perduli padanya." Sahutku dengan berusaha menekan suara ini agar tidak bergetar. Entahlah, rasa sakit itu masih terasa nyata. Sesaknya masih sering membuat hati ini terasa perih setiap kali mengingat semua sikap mas Bimo.
"Aku tak menyangka kalau kita akan dipertemukan lagi sama takdir dengan cara seperti ini. Aku turut prihatin dengan masalah rumah tanggamu, Ras. Kamu perempuan tangguh, kamu pasti mampu melewati ujianmu. Semoga setelah ini, kamu akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, aamiin." Sambung mas Wardana dengan senyuman hangat yang meneduhkan.
"Aamiin, terimakasih banyak mas. Kalau boleh tau, mas Wardana anaknya sudah berapa?" Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang kehidupannya.
"Aku belum punya anak, Ras." Sahut mas Wardana yang terlihat menundukkan wajahnya. Aku jadi merasa bersalah, tak seharusnya aku bertanya sesuatu yang harusnya aku simpan.
"Maafkan aku mas, maaf kalau pertanyaan ku membuat mas Wardana tidak nyaman." Sambungku dengan perasaan bersalah.
"Gak papa, Ras. Itu pertanyaan wajar, apalagi kita bertemu Setelah usia yang boleh dibilang tua." Kekeh mas Wardana yang terlihat berusaha menyembunyikan sedihnya, karena sorot matanya tak bisa berbohong kalau dia menyimpan sesuatu.
"Istri mas Wardana orang mana, kenapa gak diajak kesini, aku juga mau kenalan loh."
"Istriku orang Sunda, Ras. Tapi kami sudah berpisah tiga tahun yang lalu." Balas mas Wardana sambil tersenyum kecut, hembusan nafasnya terdengar dalam dan kasar, seolah ada luka yang masih membekas di dalam hatinya terdalam.
"Oh, maaf sekali lagi, mas." Balasku lirih, sungguh aku merasa tak enak karena sudah lancang menanyakan sesuatu yang sensitif untuknya.
"Gak papa, Ras." Balasnya dengan tatapan sendu dan senyum tipis yang membuatku terpana, sungguh pesona mas Wardana tidak pernah berubah. Kamipun akhirnya saling berbagi cerita tanpa ada segan.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Di lain tempat, Bimo sedang panik karena baru saja kakak perempuannya menelpon dengan suara serak karena menangis.
"Kamu cepat datang kesini, Bim. Tolong bantu aku bawa masmu ke rumah sakit." Isak Iis yang panik karena suaminya tiba tiba tak sadarkan diri. Sudah tiga hari, Kalim suaminya Iis sakit. Badannya demam tinggi dengan tubuh lemas.
"Iya mbak, aku akan kesana secepatnya." Sahut Ali dengan panik. Munaroh yang mendengar suaminya akan pergi langsung naik pitam, pasalnya Brio, anak mereka juga tengah sakit dan harus di bawa ke klinik karena terus muntah.
"Mas, kamu mau kemana?" Teriak Munaroh dengan wajah merah padam.
"Aku akan kerumahnya mbak Iis, suaminya tidak sadarkan diri. Mbak Iis memintaku untuk mengantarkan suaminya ke rumuh sakit." Sahut Bimo cepat dan akan melangkah keluar rumah tapi di cegah Munaroh.
"Gila kamu ya, mas. Anakmu juga sakit, dari tadi muntah muntah terus sampai dia lemes kayak gini, tapi kamu justru lebih mementingkan keluargamu ketimbang anakmu." Sambung Munaroh dengan dada naik turun.
"Heh Munaroh, jaga mulutmu itu. Keluargaku butuh bantuan ku, mbak Iis di sini gak punya siapa siapa selain aku, jadi aku harus membantunya, paham kamu!" Bentak Bimo yang sudah terbakar emosi.
"Terus bagaimana dengan Brio, mas. Dia juga butuh segera di bawa periksa ke dokter. Lihatlah anakmu, dia sudah lemes begini. Jangan egois kamu, mas!" Sahut Munaroh tak mau kalah.
"Gak usah manja kamu jadi perempuan, bawa saja Brio ke puskesmas. Paling juga dia masuk angin. Aku harus segera ke rumah mbak Iis, mas Kalim butuh pertolongan." Sahut Bimo yang tak mau tau dengan penuturan Munaroh. Dengan langkah cepat, Bimo meninggalkan Munaroh, tak perduli jika perempuan itu terus meneriakinya dengan segala caci maki.
"Aaaargh dasar laki laki kejam, gak punya hati. Egois kamu Bimo, anakmu kamu telantarkan demi keluarga kamu itu. Padahal ada saudaranya Kalim di sana, aaaargh laki laki sialan." Teriak Munaroh histeris, dadanya bergemuruh dengan hati sesak.
"Awas saja kamu Bimo, aku akan buat perhitungan denganmu." Geram Munaroh yang sangat kesal dengan sikap Bimo yang mengabaikan anaknya sendiri. Dengan hati panas dan pikiran kacau, Munaroh memutuskan untuk membawa Brio ke puskesmas terdekat.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..