Seorang wanita muda bernama Ayuna berprofesi sebagai dokter Jantung yang berdinas di rumah sakit pribadi milik keluarganya, dia terpaksa dijodohkan oleh orang tuanya karena dia lebih memilih karir dibandingkan dengan percintaan.
Sebagai orang tua. tentunya sangat sedih karena anak perempuannya tidak pernah menunjukkan laki-laki yang pantas menjadi pasangannya. Tidak ingin anaknya dianggap sebagai perawan tua, kedua orang tuanya mendesaknya untuk menikah dengan seorang pria yang menjadi pilihan mereka. Lantas bagaimana Ayuna menyikapi kedua orang tuanya? Mungkinkah ia pasrah menerima perjodohan konyol orang tuanya, atau melawan dan menolak perjodohan itu? ikuti kisahnya hanya ada di Novel toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Menantu yang tak Dianggap
"Akhirnya kau pulang juga!"
Sepulang dari rumah sakit Ayuna disambut oleh Omanya. Hari itu, omanya ada janji bertemu dengan keluarga Moffat, berhubung istri dari Moffat telah jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit, dirinya harus mengundurkan waktu untuk bertemu dengan keluarga Moffat.
"Hmm, ini semua permintaan dari Oma, sebenarnya aku masih punya kesibukan. Berhubungan Oma memintaku buat pulang lebih cepat, akhirnya aku usahakan pulang cepat. Aku tidak terlambat kan oma?" tanya Ayuna.
"Hmm, iya. Kamu memang tidak terlambat, tapi sayangnya keluarga Moffat telah menunda pertemuan ini. Istri Moffat sedang sakit dan dia telah dirawat di rumah sakit. Rencananya oma akan menjenguknya, tapi masih belum dapat kabar di rumah sakit mana dia dirawat," ungkap Martha.
'Syukurlah, aku masih aman. Semoga saja aku tidak jadi dijodohkan dengan cucu Moffat, aku sangat benci perjodohan. Semoga saja keluarga Moffat mengurungkan niatannya untuk menjodohkanku dengan cucunya.' Dalam hati Ayuna menggumam, tak sudi dijodoh-jodohkan dengan pria yang belum diketahuinya. Apalagi jaman sekarang banyak manusia bermuka dua, ia tak mau dipermainkan perasaannya oleh orang-orang yang tidak tahu diri.
Ayuna tersenyum tipis memasuki rumahnya, sangat senang karena pertemuan yang tidak diinginkan kini telah gagal total.
"Yuna! Kamu sudah pulang sayang?" tanya Lidya mendapati anak perempuannya yang memasuki dapur untuk mengambil air minum.
Ayuna menoleh pada Mamanya yang tengah menyiapkan makan malam.
"Mama, aku barusan pulang Ma. Mama sedang apa?" tanya Ayuna.
"Ini Mama lagi siapin makan malam. Syukur kalau kamu pulang sebelum makan malam, jadi kita bisa makan malam bersama," ucap Lidya.
"Iya Ma," jawab Ayuna.
"Oh ya Ma. Hari ini aku seneng banget," ucap Ayuna.
"Seneng? Seneng kenapa?" tanya Lidya.
"Ya seneng aja, karena oma gagal bertemu dengan keluarga Moffat, dan Ayuna juga nggak jadi ketemu sama keluarga mereka Ma. Yuna berharap, oma dan keluarga Moffat tidak jadi menjodohkan Ayuna dengan cucunya. Yuna tidak mau Ma, Yuna ingin cari pendamping sendiri, Yuna nggak buru-buru juga kok, Yuna masih ingin bekerja, ngumpulin uang banyak untuk persiapan masa depan Yuna, biar Yuna tidak dianggap sebagai parasit di rumah ini."
Ayuna sadar, Mamanya yang tidak pernah dihargai oleh omanya, membuatnya kesal. Berharap dirinya sukses menjadi seorang dokter, dan bisa membeli rumah untuk Mamanya, agar tidak lagi ada yang menyakitinya.
"Maafin Mama Yuna, Mama bukan orang kaya, yang kehidupannya terjamin. Mama hanya pedang kue yang mendapatkan rezeki mendapatkan pinangan dari Papa kamu. Kini setelah bertahun-tahun tinggal bersama keluarga dari Papa kamu, Mama nggak pernah dihargai, bahkan Mama dianggap sebagai parasit di rumah ini."
Lidya menangis merutuki kebodohannya. Seandainya saja dulu dia tidak kenal dengan Mahendra dan menjalin hubungan dengannya, mungkin saat ini hidupnya bakalan tenang tanpa hujatan dari mertua galaknya.
"Udah! Mama tenang aja. Aku nggak akan diam seperti Papa Ma. Aku punya prinsip untuk bisa melindungi dan membahagiakan keluargaku. Untuk saat ini, kita harus bertahan dan bersabar aja. Tapi setelah ini, aku nggak akan tinggal diam di saat Mama disalahkan. Aku akan bawa Mama pergi dari Mansion ini Ma," ungkap Ayuna.
Lidya menangis memeluk anak bungsunya. Tidak tahu harus berbuat apa lagi menyikapinya mertuanya yang sadis dan suka menyiksa batinnya. Tapi saat anaknya memberi harapan untuk keluar dari Mansion itu, ada secerah harapan untuk bisa bebas dari jeratan mertuanya.
"Terimakasih sayang? Semoga saja keinginanmu terkabul. Aku sebagai orang tuamu, hanya bisa mendoakanmu. Mama sudah tidak kuat lagi berada di rumah ini nak, Mama tidak pernah dihargai. Seperti inikah rasanya menjadi orang miskin."
Lidya telah menyesal setelah menikah dengan Mahendra. Tidak menyangka akan memiliki suami yang hanya tunduk pada orang tuanya dan tidak bisa melindunginya dikala dirinya dihina oleh orang tuanya.
"Jujur Ayuna, Mama itu tidak pernah merasakan nyaman berada di sini. Bukannya Mama menyesal menikah sama Papa kamu, tapi Mama sangat kecewa, karena Papa kamu tidak pernah membela Mama, di saat orang tuanya dan juga saudaranya mencaci Mama. Sakit nak? Andai saja Mama bisa kabur dari sini, pasti akan Mama lakukan," ungkap Lidya.
"Sabar ya Ma, bersabarlah sebentar saja. Setelah ini kita akan pergi dari Mansion ini. Aku juga tidak ingin melihat Mama mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga ini," ungkap Ayuna mencoba memberikan ketenangan pada Mamanya.
"Lidya!"
Marta memekik keras memanggil Lidya.
Lidya buru-buru menghapus air matanya, menghilangkan jejak kalau habis menangis.
"Iya Ma," jawab Lidya dari dalam dapur.
"Apa kamu masih lama menyiapkan makanannya? Ini sudah hampir tiba waktu makan malam, jangan lelet seperti itu. Apa kau sudah tidak mau lagi bekerja di sini," cercah Martha mengomel menuju dapur.
Ayuna mengepalkan tangannya mendapati Mamanya diomeli oleh mertuanya.
"Oh! Rupanya kau juga ada di sini Yuna, sedang apa kau di sini?" tanya Marta menatapnya datar.
"Aku sedang mengambil air minum," jawab Ayuna.
"Yaudah, selesai minum lekas bersihkan dirimu, setelah itu kita makan," tutur Ayuna.
"Iya, tapi tolong oma, jangan bentak-bentak Mamaku kayak gini. Mamaku juga manusia. Dia di sini melahirkan tiga cucumu, harusnya oma menghormatinya," jawab Ayuna.
"Hey! Apa yang kau katakan itu. Aku bahkan tidak ingin membuat keributan dengan Mama kamu. Aku hanya mengingatkannya saja, biar dia tidak selalu terlambat menyiapkan makan malam," jawab Martha.
"Tapi kenapa harus Mamaku oma, kan masih banyak bibi yang lain. Oma, jangan kau sia-siakan keberadaan Mamaku di sini. Dia ini menantu oma, istri dari Papa, yang tidak lain anak kandungmu," cecar Ayuna.
Ayuna yang sudah sangat marah, dia tidak lagi menghormati omanya. Bahkan dia sangat berani melawan omanya hanya karena ingin membela Mamanya yang diperlakukan buruk oleh omanya.
"Yuna, jangan kau lakukan itu Nak, jangan bantah ucapan oma, nggak baik," tutur Ayuna.
"Tapi oma tidak pernah bersikap baik pada Mama. Oma tidak menghargai kerja keras Mama di sini, lantas, apa salahnya aku juga berani menegurnya."
Ayuna menatap geram pada omanya. Ingin sekali secepatnya pergi dari Mansion itu dan memilih hidup bahagia tanpa tekanan dari omanya.
"Lihatlah kelakuan anakmu. Makin ke sini, makin tidak memiliki aturan saja. Dia seorang dokter, sudah disumpah untuk menjadi orang yang jujur dan bersikap baik, tapi apa nyatanya, dia melawan ku. Ini semua gara-gara kamu, kamu tidak becus mendidiknya," cercah Martha langsung meninggalkan dapur.
"Ma! Aku minta maaf. Aku sudah sangat salah tidak bisa mendidik anak-anakku dengan baik, maafkan mereka Mama," ucap Lidya.
Lidya menangis dengan mengusap dadanya merasa gagal menjadi seorang ibu yang tidak bisa mendidik anaknya dengan baik.
Ayuna menggeleng-gelengkan kepanya menatap iba pada Mamanya.
"Mama! Apa yang Mama lakukan. Mama tidak bersalah, Mama tidak perlu meminta maaf padanya. Mama jangan terlalu merendahkan diri Mama. Jangan membuatmu semakin sedih karena ulahku Ma, aku hanya ingin membela Mama."
"Tidak nak, seperti apapun sikap oma kamu ke Mama, kamu nggak perlu ikut campur. Nggak usah belain Mama, jangan cari masalah dengan oma, Mama nggak Papa kok nak?"
Lidya tidak ingin semua orang membencinya karena sudah terang-terangan membantah omanya hanya karena ingin membelanya.
Ayuna masih terdiam dengan tangannya yang masih mengepal. Digenggam dan diusap tangan itu oleh sang Mama untuk sedikit menenangkannya.
"Nak, berjanjilah pada Mama. Jangan kau ulangi lagi sikapmu itu pada oma. Jangan pernah berantem sama oma, Mama mohon," ucap Lidya dengan menatap nanar pada Ayuna.
Ayuna menghela nafasnya, air bening keluar dari kelopak matanya, sangat sakit ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri, orang tuanya tidak pernah dihargai dan dianggap sebagai pembantu.
"Maafin Ayuna Ma. Ayuna sudah bikin gaduh dengan oma. Ayuna hanya tidak ingin oma menyakiti perasaan Mama terus, Ayuna juga nggak bisa janji, kalau Ayuna melihat Mama direndahkan seperti itu, Ayuna sakit hati Ma!"
Ayuna menahan untuk tidak terlihat sedih. Tapi ia berjanji akan memberikan yang terbaik untuk orang tuanya.