Menikah adalah cita-cita setiap wanita. Apalagi, ketika menikah dengan laki-laki yang begitu didamba dan dicintai.
Namun apa jadinya, ketika dihari pernikahan itu di gelar, justru mendapat kabar dari pihak mempelai laki-laki. Tentang pembatalan pernikahan?
Hal itulah yang tengah dialami oleh Tsamara Asyifa. Gadis yang berusia 25 tahun, dan sudah ingin sekali menikah.
Apakah alasan yang membuat pihak laki-laki memutuskan pernikahan tersebut?
Lalu, apakah yang Syifa lakukan ketika mendengar kabar buruk itu?
Akankah ia mengemis cinta pada laki-laki yang sangat ia cintai itu? Atau justru menerima takdirnya dengan lapang dada.
Hari pernikahan adalah hari yang begitu istimewa.
Tapi apa jadinya, jika di hari itu justru pihak laki-laki membatalkan pernikahan? Tanpa diketahui apa sebabnya.
Hal itulah yang di alami oleh Tsamara Asyifa.
Akankah ia akan mengemis cinta pada laki-laki yang sangat ia cintai itu, untuk tidak membatalkan pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ipah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Mendekati Olive
"Oh iya, menjalin silaturahim itu kan adalah suatu perbuatan yang baik. Boleh kah aku melakukannya pada mu, dengan meminta nomor telepon mu?" tanya Anggara sambil menyodorkan handphonenya.
Olive mengulas senyum, lalu menerima dan menekan sejumlah angka di handphone itu. Lalu menyerahkan kembali pada Anggara. Setelahnya, mereka pun berpisah.
Di dalam mobil, pak Anwar memarahi Anggara habis-habisan. Selain tidak bisa presentasi dengan baik, ia juga mengatainya dengan sebutan tua.
Karena jengkelnya, pak Anwar sampai memukul kepala anaknya dengan map yang ada ditangannya.
"Pa. Maklum saja lah, aku kan belum terbiasa."
"Belum terbiasa bagaimana? Kamu sudah sepuluh kali ikut presentasi kan? Masa gitu saja tidak bisa. Untung papa mu ini pandai merayu. Kalau tidak, gimana kita dapat untung?" gerutu pak Anwar.
"Hem, terserah apa kata papa sajalah." Anggara segera memutar mobilnya dan melajukannya meninggalkan pelataran perusahaan papanya Olive.
Sepanjang perjalanan, keduanya saling terdiam. Tapi Anggara senyum-senyum sendiri. Mengingat wajah cantik Olive tadi. Dan kebetulan pak Anwar yang melihat hal itu, mengernyitkan dahi. Lalu menepuk kepala anaknya dengan map lagi.
"Aduh. Astaga, papa. Kenapa sih, mukul-mukul Angga melulu?" sungutnya kesal.
"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri? Pasti kepikiran sama anaknya pak Sanusi tadi?"
"Tahu saja papa nih. Gimana, cocok ngga kalau aku sama dia. Ganteng dan cantik lhoh. Kalau Angga bisa mendapatkan dia, papa juga bisa kecipratan untungnya. Kalau perusahaan kita lagi butuh suntikan dana, bisa minta tolong sama pak Sanusi. Pasti akan dibantuin. Karena ngga tega dengan besan dan menantunya. Bagus ngga tuh, ide Angga?" Anggara menaikkan sebelah sudut bibirnya, dan menaikkan satu alisnya.
"Kamu terlalu percaya diri. Baru juga kenal sehari. Tapi, boleh juga ide mu. Kamu dekati saja dia. Sampai kita mendapatkan banyak keuntungan."
"Nah, gitu dong. Kita ini harus kerjasama demi cuan, pa." ucap Angga menasehati papanya.
**
Anggara bekerja lebih cepat, untuk mendapatkan hati Olive. Ia tidak mau kehilangan wanita cantik seperti gadis itu.
Setelah sampai kantornya, Anggara memasuki ruangannya. Lalu duduk di kursi kebesarannya, sambil mengirim pesan ke Olive.
Sambil menunggu balasan pesan darinya. Ia iseng melihat story' WhatsApp nomor yang ada di kontak handphonenya.
Ia membulatkan matanya, ketika melihat foto yang diunggah oleh Tsamara. Gadis itu berfoto bersama dengan anggota keluarganya, di sebuah rumah kontrakan, yang dianggap sangat kecil oleh Anggara.
"Ckckck..."
"Aku ngga menyangka, jika Tsamara itu beneran jatuh miskin. Badannya bertambah gendut pula. Kok aku semakin ilfill ya, sama dia. Aku blokir saja kali ya nomornya." gumamnya sambil menarik senyum mencibir di wajahnya.
Sebuah notif pesan masuk, gegas Anggara membukanya. Matanya berbinar, dan senyumnya melengkung diwajahnya. Hanya gara-gara mendapat balasan pesan dari Olive. Sungguh dia itu sudah terlalu lebay, bucin dan terlalu percaya diri pada Olive.
Sampai beberapa jam lamanya, Anggara terus berbalas pesan dengan Olive. Hingga ia tidak menyadari kehadiran papanya yang sudah berdiri di ambang pintu.
Perlahan ia pun mendekat ke arah anaknya yang masih senyum-senyum sendiri. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, karena jengkel dengan sikap Anggara.
"Ngga!" bentak pak Anwar, sambil melempar map di muka Anggara.
Sehingga membuat pemuda itu kelabakan, dan merosot dari tempat duduknya. Tidak hanya itu saja, handphone yang ia pegang pun terjatuh.
"Papa apa-apaan sih?" sungut Anggara kesal, lalu kembali memperbaiki posisi duduknya.
"Kenapa laporan yang kamu buat salah semua? Papa sudah berulang kali kan mengajari mu?" pak Anwar meluapkan amarahnya yang meletup-letup pada anak sulungnya.
"Kalau cuma salah sedikit ya wajar saja kan, pa."
"Masalahnya semuanya tidak ada yang beres. Sekarang, cepat selesaikan pekerjaan mu. Papa tunggu di ruangan ku."
Pak Anwar pun melangkah keluar. Tapi baru dua kali melangkah, dia memutar badannya, dan kembali menatap anaknya.
"Kalau sampai nanti jam lima belum selesai, maka papa memerintahkan mu untuk, lembur." ancam pak Anwar pada Anggara, sambil mengacungkan telunjuknya di wajah anaknya itu.
"Apa! Lembur?" gumam Anggara dengan begitu terkejutnya. Karena seumur-umur, kerja dengan papanya, belum pernah ia sekali pun di suruh lembur.
Bergegas ia mengecek dan memperbaiki laporannya yang salah. Karena malam nanti, ia mau makan malam dengan Olive.
Anggara kadang mencibir kesal, dan menoyor kepalanya sendiri, karena baru menyadari letak kesalahannya.
"Dasar, aku! Masa mengerjakan laporan seperti ini saja tidak bisa." gumamnya.
"Lebih baik aku minta tolong sama mbak Ana, buat membantuku mengerjakan laporan ini."
Anggara menjentikkan jarinya sambil tersenyum sinis. Lalu segera keluar menuju meja orang yang dimaksud tadi.
"Mbak, kerjakan laporan ini untukku. Aku beru waktu sampai jam lima. Kalau tidak bisa selesai di jam itu. Aku suruh kamu lembur." ancam Anggara, menirukan gaya papanya saat mengancamnya tadi. Setelah itu, kembali ke ruangannya sambil terus berbalas dengan Olive.
Karyawan yang di panggil Mbak Ana tadi, hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan anak bosnya yang kurang ajar. Karena tidak memiliki rasa sopan pada karyawannya.