NovelToon NovelToon
Nama Yang Salah Kulangitkan

Nama Yang Salah Kulangitkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Dosen / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ibnu Hanifan

Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pilihan Yang Berat

Minggu pagi itu, seperti biasa, aku bangun lebih awal untuk mempersiapkan dagangan serabi. Namun, kali ini ada hal berbeda. Ibu tiba-tiba berkata ingin ikut ke CFD.  

"Ibu, nggak usah ikut. Biar aku aja yang jualan," kataku mencoba membujuknya.  

"Kenapa sih,Kamu kayanya pengen banget ibu ngga ikut, Orang Ibu cuma pengin bantuin anak Ibu apa salahnya?" jawab ibu dengan nada tegas.  

Aku menghela napas panjang, tahu kalau berdebat dengan ibu tidak ada gunanya. "Ya sudah, Bu. Tapi jangan terlalu capek, ya. Aku ngga mau nanti Ibu sakit"  

Setibanya di alun-alun, aku dan ibu mulai menyiapkan meja, wajan, dan bahan-bahan serabi seperti biasa. Suasana masih sepi, tapi aku tahu sebentar lagi akan ramai. Saat aku sedang memanaskan wajan, tiba-tiba dua sosok yang sudah familiar muncul di hadapanku: Dinda dan Monika.  

"Mas Alan, pagi!" sapa Dinda ceria.  

"Pagi, mahasiswa tua," tambah Monika dengan nada menggoda seperti biasanya.  

Mereka sedikit terkejut melihat ibu yang ada disampingku. Mereka berdua melirik kepadaku seperti seolah bertanya siapa yang sedang bersamaku. 

Aku hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah ibu yang menatap kedua gadis itu dengan ekspresi heran. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Dinda langsung maju memperkenalkan diri.  

"Assalamualaikum, Tante. Saya Dinda, teman Mas Alan di kampus," katanya sopan sambil tersenyum manis.  

Monika pun tidak mau kalah. "Halo, Tante. Saya Monika, juga temannya Alan. Tapi lebih sering jadi korban omelannya."  

Ibu tertawa kecil sambil memandang mereka bergantian. "Wah, Alan nggak pernah cerita kalau punya teman cantik-cantik begini," katanya sambil mencubit lenganku dengan gemas. "Pantas aja tiap Minggu semangat banget jualan."  

Aku meringis sambil menahan rasa sakit. "Aduh, Bu. Jangan gitu dong. Mereka memang sering bantuin, kok."  

Setelah itu, Dinda dan Monika mulai membantu seperti biasa. Tapi, hari ini ada yang berbeda. Mereka terlihat lebih aktif, terutama saat ibu membutuhkan sesuatu. Misalnya, Dinda dengan cekatan membantu ibu menuangkan adonan ke wajan, sementara Monika sibuk melayani pembeli yang datang.  

Aku menggaruk kepala, merasa ada sesuatu yang tidak biasa, tapi aku yang tidak mau ambil pusing memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Yang penting daganganku berjalan lancar.  

Jam delapan lewat sedikit, serabi kami habis terjual. Aku mulai membereskan perlengkapan sambil mengawasi ibu yang terlihat berbincang akrab dengan Dinda dan Monika. Aku hanya bisa tersenyum kecil melihat mereka bertiga tertawa-tawa.  

Saat semuanya sudah siap untuk dibawa pulang, Dinda dan Monika berpamitan pada ibu.  

"Tante, makasih ya. Serabinya enak banget, nggak heran laku keras," kata Dinda dengan nada tulus.  

"Iya, Tante. Kalau ada yang butuh tester, saya siap jadi yang pertama," tambah Monika sambil tersenyum lebar.  

Aku sedikit heran dengan sikap Monika yang bisa sangat ramah ketika berbicara dengan ibu. Karena biasanya dia begitu jutek padaku.

Ibu tersenyum puas. "Makasih ya, kalian udah bantu Alan. Kalau kapan-kapan main ke rumah, kabari dulu. Biar Ibu bikinin serabi spesial."  

Setelah mereka pergi, ibu menatapku dengan tatapan menggoda. "Alan, Alan... ibu nggak nyangka kamu dikelilingi gadis-gadis hebat kayak mereka. Tapi hati-hati ya, jangan sampai mereka berantem gara-gara kamu."  

Aku hanya bisa menggeleng sambil tersenyum masam. "Ah, Bu, Kalo berantem mah udah jadi kebiasaan mereka ketemu, heran aja hari ini mereka ga berantem."  

"Kamu ini yah, Sama aja kaya Almarhum Ayah Kamu" kata ibu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Setelah seharian penuh berjualan di CFD, aku pikir aku bisa menikmati sore yang tenang di rumah. Namun, ibu rupanya punya rencana lain. Saat aku sedang duduk di ruang tamu sambil mengecek ponsel, ibu duduk di sebelahku dengan wajah serius.  

"Alan, Ibu mau ngomong sesuatu," katanya.  

Aku menoleh, sedikit bingung. "Ada apa, Bu?"  

Ibu menatapku sejenak sebelum berkata, "Ibu mau bicara tentang Dinda dan Monika."  

Aku langsung merasa was-was. "Oh... Kenapa memangnya, Bu?"  

"Ibu rasa mereka berdua itu... suka sama kamu," katanya langsung, tanpa basa-basi.  

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata ibu. "Ah, nggak mungkin, Bu. Kami cuma teman biasa. Mereka sering bantuin aku, itu aja."  

Ibu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Nak, Ibu ini udah hidup lebih lama dari kamu. Cara mereka berdua memperhatikan kamu, terutama Dinda yang kelihatan banget perhatian sama Kamu, Monika juga, Meskipun kelihatan sedikit jutek tapi diam-diam perhatian sama Kamu, itu nggak biasa untuk teman biasa."  

Aku menggaruk kepala, merasa tidak nyaman. "Tapi, Bu, aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Aku mau  fokus kuliah, kerja sampingan, dan bantu Ibu. Aku nggak mau terlalu cepat ambil keputusan soal yang kayak gini."  

Ibu menepuk bahuku lembut. "Ibu ngerti kamu punya prioritas, Alan. Tapi yang perlu kamu ingat, nggak baik menggantung perasaan dua orang wanita. Kalau kamu merasa nggak bisa membalas perasaan mereka, lebih baik katakan dengan jujur. Tapi kalau kamu merasa salah satu dari mereka bisa jadi pasanganmu, ya jangan biarkan terlalu lama juga. Bagaimanapun, mereka punya hati."  

Aku menghela napas panjang. Kata-kata ibu benar-benar membuatku berpikir. "Tapi, Bu... Aku nggak tahu harus gimana."

Ibu tersenyum lembut. "Ibu nggak mau memaksamu, Nak. Ibu cuma menyarankan supaya kamu nggak menunda-nunda hal yang penting. Coba renungkan baik-baik, siapa di antara mereka yang lebih cocok untukmu. Kalau memang belum siap, ya bilang jujur saja ke mereka."  

Aku mengangguk pelan. "Iya, Bu. Aku ngerti. Tapi... aku butuh waktu untuk mikir."  

Ibu mengangguk penuh pengertian. "Ya sudah. Tapi ingat, Alan, jangan hanya melihat dari siapa yang lebih cantik atau siapa yang lebih perhatian. Lihat juga siapa yang bisa membuatmu lebih baik dan mendukung masa depanmu."  

"Iya Bu" jawabku pasrah.

1
_senpai_kim
Terpancar perasaan cinta penulis terhadap ceritanya.
Phoenix Ikki
Bukan main bagusnya.
Ibnu Hanifan: terima kasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!