NovelToon NovelToon
THE REGRET OF MY SEVEN BROTHERS

THE REGRET OF MY SEVEN BROTHERS

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Keluarga / Angst
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

"The Regret of My Seven Older Brothers"

Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.

Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.

Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.

Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.

Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18 : Seonho dan Yongki

Sudah tiga bulan berlalu sejak kejadian tragis yang menimpa Jihwan, kejadian yang memaksanya kehilangan salah satu ginjalnya. Tragedi itu bukan hanya membuat kondisi fisik Jihwan goyah, tetapi juga memaksa penundaan world tour concert yang sedianya akan digelar di berbagai negara. Kesehatannya yang tidak memungkinkan untuk bepergian jauh membuat rencana itu harus tertunda.

Para penggemar setia Jihwan tetap memberikan dukungan tanpa henti, memenuhi laman media sosialnya dengan komentar-komentar positif, seolah berusaha menyuntikkan semangat di tengah kondisinya yang lemah. Namun, di balik dukungan yang mengalir, ada kekhawatiran yang tak terkatakan di hati saudara-saudaranya.

Meski awalnya kondisi Jihwan terlihat stabil, dalam beberapa minggu terakhir, keadaannya justru memburuk. Satu-satunya ginjal yang tersisa mulai menunjukkan tanda-tanda masalah serius, memaksa keluarganya kembali menghadapi ketakutan yang sama. Namun, mereka memilih untuk berpura-pura tenang di hadapan Jihwan, menyembunyikan kecemasan mereka dengan harapan Jihwan tak menyadari kerapuhan tubuhnya.

Yang paling mengkhawatirkan adalah fakta bahwa Jihwan sama sekali tidak tahu bahwa ia hanya hidup dengan satu ginjal. Sebuah rahasia besar yang disembunyikan dengan sangat hati-hati oleh keluarga demi menjaga mental dan semangatnya.

"Jihwan, kamu baik-baik saja?" tanya Seonho sembari menatap Jihwan yang hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya, tampak enggan untuk makan.

"Aku baik, Hyung... entah kenapa akhir-akhir ini nafsu makanku semakin menurun," lirih Jihwan, suaranya terdengar lemah.

Semua orang di meja makan saling bertukar pandang, rasa khawatir terukir di wajah mereka. Hingga akhirnya Yongki mencoba memecah suasana.

"Mungkin kamu belum sepenuhnya pulih akibat luka itu. Dengan berjalannya waktu, semuanya akan baik-baik saja," ujar Yongki menenangkan, berusaha memberi harapan kepada Jihwan.

"Ada gejala lain yang kamu rasakan?" tanyanya lembut, meski jelas ada ketegangan di suaranya.

"Aku lebih sering ingin buang air kecil, dan beberapa kali muntah. Kadang juga merasakan sakit di punggung bagian bawah." Ucap Jihwan mengangguk pelan. Seonho menahan napas sejenak mendengar pengakuan itu, rasa cemasnya semakin menguat.

"Nanti kita ke rumah sakit, ya?" ujarnya sambil memaksakan senyum, berusaha terlihat tenang. Dia kemudian berjalan mendekati Jihwan dan dengan lembut menyuruh Jungsoo untuk pindah tempat duduk.

"Sini, Hyung suapin," katanya sambil mengambil alih piring di depan Jihwan.

"Hyung, aku bisa makan sendiri," ujar Jihwan, sedikit tersipu, merasa tidak enak karena mengganggu acara makan malam keluarga.

"Tidak apa-apa... Hyung kan saudaramu sendiri. Ayo, kita makan bersama," kata Seonho, terkekeh ringan, lalu menyodorkan sesendok nasi ke mulut Jihwan.

Jihwan akhirnya menyerah dan membuka mulutnya, menerima suapan dari Seonho. Makan malam pun kembali berlangsung dengan tenang, tanpa ada pembahasan lebih lanjut tentang kondisi Jihwan. Semua berusaha menjaga suasana tetap nyaman, meski kekhawatiran masih tergantung di udara.

••

Setelah makan malam selesai, semua anggota keluarga kembali ke kamar masing-masing. Namun, Seonho memilih untuk menenangkan diri di bangku kecil di samping kolam renang. Dia duduk sendirian, menatap pantulan cahaya bulan yang berkilauan di permukaan air kolam, pikirannya melayang tak tentu arah.

Dia memikirkan Jihwan kondisi adiknya yang semakin rapuh, semua pengorbanan yang telah mereka buat untuk merahasiakan kebenaran itu. Beban berat yang ia pikul terasa semakin menekan, terutama dengan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui.

Kepergian ayah dan ibu mereka yang tak pernah kembali juga masih membekas di hatinya, seolah menjadi luka yang belum pernah sembuh. Semua itu bercampur menjadi satu, memenuhi pikirannya saat ia terus menatap hampa ke arah cahaya bulan yang seakan berbicara kepadanya, namun tak ada jawaban yang bisa dia temukan.

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, Seonho merasakan keheningan malam yang dingin dan sunyi, namun tiba-tiba terdengar langkah-langkah ringan yang mendekat. Ia melirik ke arah samping dan melihat Yongki, pria tampan yang kini menghampirinya dengan membawa dua gelas minuman di tangannya.

Tanpa sepatah kata, Yongki duduk di sampingnya, kemudian menyodorkan segelas minuman kepada Seonho.

"Ini," ujarnya singkat sambil tersenyum tipis.

Seonho menerima minuman itu tanpa banyak kata. Mereka duduk bersebelahan dalam diam sejenak, hanya suara angin malam yang menemani. Tapi Yongki segera memecah keheningan.

"Apa yang Hyung pikirkan?" tanyanya sambil menatap lurus ke depan, meski jelas-jelas rasa penasaran tergambar di wajahnya.

Seonho terdiam sejenak, bibirnya seakan enggan bergerak, tapi akhirnya dia menghela napas dalam dan berkata.

"Begitu banyak yang sudah terjadi, bukan?" Ucapannya diiringi tatapan sekilas ke arah Yongki.

" Hyung memikirkan Jihwan, ya?" Tanya nya.

"Eumm..." jawabnya singkat, sebelum ia meneguk sisa minuman yang diberikan oleh Yongki. Rasa dingin minuman itu tak mampu meredakan api yang berkecamuk di dadanya.

"Kenapa semua masalah selalu datang bertubi-tubi pada kita?" Suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang dibawa angin malam.

Yongki menatap Seonho dalam diam, sebelum akhirnya ia juga melontarkan pertanyaan yang sama-sama tak mereka punya jawabannya.

"Aku pun tidak tahu, Hyung. Apa sebenarnya salah kita? Kenapa selalu seperti ini?" Ucap nya yang tak kalah lirih.

"Daddy... Mommy... Semuanya pergi meninggalkan kita. Bahkan Harabeoji dan Halmoni seolah menjauhi kita sejak kepergian Daddy dari hidup kita." Mata Yongki menerawang jauh, pandangannya kosong, seolah mencari jawaban di balik langit malam yang gelap.

Kata-kata Yongki menggantung di udara, membuat Seonho merasakan perih yang sama. Mereka berdua hanyut dalam kenangan yang pahit, dalam rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar bisa mereka terima. Keduanya kini hanya bisa bersandar pada satu sama lain, di tengah badai yang terus menguji ketahanan mereka.

Seonho menatap ke depan, meneguk sedikit minumannya dalam satu kali tegukan, seolah berharap rasa pahit itu bisa menghilangkan beban di dadanya, namun nyatanya tak pernah semudah itu.

( Catatan: Halmoni (할머니) dalam bahasa Korea berarti nenek, dan Harabeoji (할아버지) berarti kakek. Jadi, halmoni dan harabeoji adalah sebutan untuk kakek nenek dalam bahasa Korea Selatan untuk konteks keluarga kandung . Koreksi jika author keliru).

"Itu benar... terkadang aku lelah terus hidup seperti ini, Yongki-ah," ucap Seonho dengan nada berat, kata-katanya seolah membawa beban yang tak pernah terucapkan sebelumnya. Matanya tetap menatap lurus ke depan, namun di balik pandangan kosong itu, ada perasaan yang mendalam, terpendam begitu lama.

Yongki terdiam, tak tahu harus merespon bagaimana. Hanya keheningan yang tersisa di antara mereka, hingga Yongki akhirnya membuka suara dengan hati-hati.

"Bukankah kita terlalu egois selama ini, Hyung?" tanyanya pelan, suaranya terdengar penuh keraguan, seolah-olah dia takut akan kebenaran di balik pertanyaannya sendiri.

"Selama ini, aku selalu mengedepankan kepentingan kalian semua daripada diriku sendiri. Terkadang aku sampai melupakan siapa aku sebenarnya. Aku kecewa, Yongki. Kecewa dengan sikap mereka yang tidak pernah mau mendengarkan aku. Kecewa karena, pada akhirnya, aku yang membesarkan kalian... dan entah kenapa, aku merasa seperti gagal." Seonho tertawa pelan, tetapi tawanya lebih terdengar seperti tawa getir daripada sebuah kebahagiaan.

"Jungsoo... wah, aku bahkan tidak menyangka jika anak itu sudah sedewasa sekarang. Taehwan, Jihwan... mereka tumbuh begitu cepat. Padahal, beberapa tahun lalu kita masih bisa menggendong dan bermain dengan mereka, kan?" Ucapan Seonho penuh dengan kepahitan, namun juga dengan kejujuran yang selama ini terbungkam. Meskipun Yongki tahu jarak usia mereka tidak begitu jauh , tapi dia juga tidak bisa memungkiri jika semua ucapan Seonho adalah kebenaran.

Seonho terkekeh kecil, tapi di balik kekehannya, ada rasa kerinduan yang mendalam terhadap masa lalu. Ia mengingat dengan jelas bagaimana dulu, di tengah kesibukannya berkuliah dan bekerja, dia tetap berusaha mengantar-jemput adik-adiknya ke sekolah. Perjuangan yang seakan tidak pernah berhenti, hari-hari yang terasa begitu melelahkan, namun juga penuh makna. Semua itu terasa seperti kemarin, namun kini, waktu berlalu begitu cepat.

"Aku sering berpikir... apakah semuanya sia-sia?, Kita semua telah berubah, dan aku tidak tahu apakah aku sudah melakukan yang terbaik untuk kalian." Seonho menatap Yongki, ekspresinya sulit diterka, campuran antara kesedihan, kelelahan, dan ketidakpastian.

Yongki hanya bisa menatap kakaknya itu dengan rasa campur aduk di dadanya. Ia tahu apa yang Seonho rasakan beban sebagai anak tertua, tanggung jawab yang tak pernah benar-benar bisa dibagi, dan rasa kehilangan yang sering datang tanpa peringatan. Namun, di saat yang sama, Yongki tak bisa menghilangkan rasa bersalah yang tumbuh dalam dirinya.

"Kamu sudah melakukan lebih dari yang seharusnya, Hyung... Mungkin kita memang terlalu banyak menuntut tanpa menyadari pengorbananmu " Yongki akhirnya berucap, suaranya rendah dan penuh ketulusan.

"Benarkah?" Seonho terkekeh mendengar pernyataan adiknya, suaranya mengandung kehangatan yang jarang terlihat. Mereka memang sudah tumbuh dewasa, tetapi saat-saat seperti ini mengingatkan Seonho pada masa kecil mereka , masa ketika segalanya terasa lebih sederhana.

Malam itu, dua pria dewasa yang dulu adalah anak-anak kecil dengan mimpi dan harapan, duduk dalam keheningan. Mereka berbagi beban yang tak terucapkan melalui pandangan dan keheningan. Tak perlu kata-kata, karena mereka saling memahami satu sama lain dengan cara yang hanya dimengerti oleh saudara.

"Hyung benar... Maafkan aku karena tidak bisa banyak membantu," ujar Yongki dengan nada pelan, matanya tertunduk, seolah rasa bersalah menggerogoti hatinya.

Seonho tersenyum kecil, menepuk lembut pundak adiknya, memberikan rasa nyaman dan kepastian.

"Kamu yang terbaik," katanya, tulus, sambil meneguk minumannya perlahan. Sementara itu, Yongki, yang awalnya berniat minum, membatalkan niatnya.

Pria berkulit pucat itu memilih menyenderkan kepalanya di pundak sang kakak. Gerakan sederhana, tapi sarat makna itu cara Yongki menunjukkan bahwa dia membutuhkan Seonho, meskipun dirinya tampak kuat di depan yang lain.

"Hyung... apa Hyung tidak pernah terpikirkan untuk menikah?" tanya Yongki pelan, masih dengan posisi kepala yang bersandar di pundak kakaknya.

Seonho melirik sekilas ke arah adiknya yang masih nyaman bersandar padanya. Tidak ada rasa terganggu, karena di balik sosok dingin Yongki, Seonho tahu betapa manja adiknya itu sebenarnya. Dia mungkin terlihat acuh di mata dunia, tetapi di hadapan Seonho, dia adalah adik yang selalu butuh perhatian.

"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?" Seonho balik bertanya, penasaran dengan arah pembicaraan ini.

"Entah... aku hanya terpikirkan, bagaimana jika suatu hari nanti Hyung menikah, lalu tinggal dengan istri Hyung, meninggalkan kami semua?" Ucap Yongki sembari menarik napas, mencoba merumuskan pikirannya.

"Lantas kenapa? Kalian sudah dewasa, Yongki. Kamu, Haesung, Namjin, Jihwan, Taehwan, Soo-ah... semuanya sudah tumbuh besar. Apalagi yang kalian takutkan?" Ujar Seonho tertawa kecil, tetapi bukan tawa yang meremehkan. Yongki terdiam sejenak, memikirkan kata-katanya dengan hati-hati.

"Aku tidak tahu. Rasanya... aku hanya ingin kita semua tinggal bersama selamanya seperti ini." Suaranya terdengar lirih, nyaris seperti bisikan. Ada kerinduan yang mendalam dalam kata-katanya, kerinduan untuk mempertahankan keutuhan yang dia tahu tidak mungkin selamanya.

"Dengarkan aku, Yongki-ah," ucap Seonho dengan nada bijak, seolah nasihatnya berasal dari pengalaman yang tak terhitung jumlahnya.

"Dunia ini terus berputar tanpa henti. Tidak peduli seberapa keras kita berharap, jarum jam tidak akan pernah bergerak ke kiri. Kita harus terus bergerak, bahkan jika kadang harus merangkak. Karena berhenti bukanlah pilihan." Ucap Seonho menatap adiknya dengan tatapan lembut, penuh pengertian.

Yongki menarik napas dalam, matanya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menindihnya.

"Jika bisa... aku ingin meminta pada Tuhan untuk menghentikan waktu saat keluarga kita masih utuh, Hyung," ucapnya, suaranya pecah oleh emosi yang telah lama dipendam. Seonho menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan lembut.

"Permintaanmu... adalah keinginanku juga." Kata-kata itu keluar dengan ketulusan yang dalam, membawa perasaan yang sama-sama mereka rasakan namun tak pernah diutarakan.

Keduanya terdiam. Malam yang hening, diselingi oleh suara samar air kolam renang, membawa mereka pada pikiran masing-masing, menyusuri memori masa lalu yang tak mungkin kembali. Di saat suasana semakin tenang, Seonho akhirnya kembali membuka suara, mencoba memecah keheningan yang terasa begitu berat.

"Bagaimana perkembangan pencarian Mommy?" tanya Seonho dengan nada serius, memecah hening di antara mereka. Pertanyaannya membuat Yongki terdiam sejenak, terkejut.

"Hyung tahu?" Yongki bertanya dengan nada ragu, sedikit heran mendengar bahwa kakaknya ternyata juga terlibat dalam pencarian ini.

"Hyung juga mencari Mommy," jawab Seonho dengan tenang, tetapi ada beban berat yang tergantung dalam suaranya.

"Belum ada hasil. Aku... aku benar-benar belum tahu ke mana Mommy pergi setelah tega meninggalkan kita selama ini." Yongki menundukkan kepalanya, rasa frustasi tergambar jelas di wajahnya. Seonho menghela napas panjang, lalu mencoba meredam ketegangan yang terbangun di antara mereka.

"Jangan benci Mommy. Dia pergi bukan karena tidak peduli pada kita. Mommy meninggalkan kita karena dia tidak sanggup menahan rasa sedih setelah kehilangan Daddy," ujarnya lembut, seperti nasihat yang sudah sering diulang untuk menenangkan hati adiknya.

"Bukankah yang kehilangan Daddy bukan hanya Mommy, Hyung? Kita juga kehilangan Daddy... kita kehilangan sosok ayah yang selalu ada untuk kita. Dan ketika Mommy pergi, kita kehilangan lebih dari itu. Kita kehilangan kasih sayang seorang ibu juga," suara Yongki bergetar, penuh dengan kekecewaan yang terpendam.

Seonho mendengarkan, membiarkan adiknya menumpahkan perasaannya. Dia paham betul rasa luka itu, karena dia juga merasakannya.

"Dia kehilangan belahan jiwanya, Yongki. Dan kita kehilangan separuh hidup kita. Sama-sama tidak adil, bukan? Tapi, pada akhirnya, dia tetap orang yang paling kita rindukan, kan?" Seonho menatap adiknya dengan pandangan lembut, mencoba menyalurkan pengertian dan pengampunan melalui kata-katanya.

Yongki terdiam lagi. Kata-kata Seonho seolah membentur dinding hatinya yang rapuh. Di satu sisi, dia ingin menyalahkan, tapi di sisi lain, dia tahu kakaknya benar. Keduanya tenggelam dalam keheningan yang penuh makna.

"Aku berharap kita bisa segera menemukan Mommy... tapi setelah sekian lama mencarinya, aku mulai ragu. Mungkin Mommy sudah pindah ke luar negeri? Apakah kita mencari di tempat yang salah?" tanya Yongki, nadanya lelah, seolah pengharapannya mulai memudar.

Seonho menatap jauh ke depan, pikirannya melayang pada masa-masa pencariannya yang juga penuh kegagalan.

"Emm... Molla. Hyung sudah berusaha mencarinya di seluruh negeri, tetapi belum ada tanda-tanda. Mommy seolah hilang begitu saja tanpa jejak." Jawab Seonho.

Hening kembali menyelimuti mereka, hanya suara lembut angin malam yang menemani kedua saudara itu dalam perenungan yang dalam. Mereka berdua tahu, pencarian ini mungkin tak akan pernah membawa mereka pada jawaban yang diharapkan, namun mereka juga tahu, berhenti bukanlah pilihan.

( Catatan: "Molla" (몰라) dalam bahasa Korea berarti "Aku tidak tahu" atau "Tidak tahu." Ini adalah ungkapan informal yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menunjukkan ketidaktahuan atau ketidakpastian. Tolong koreksi jika author salah ) .

"Aku akan berusaha lebih lagi, Hyung," ujar Yongki dengan nada tulus. Seonho menatap adiknya dengan senyum lembut, menyadari betapa keras kepala adiknya dalam segala hal, termasuk soal kerja.

"Hyung percaya padamu. Tapi, jangan bekerja terlalu keras, Yongki-ah. Kamu sudah melakukan banyak hal selama ini," tutur Seonho, sambil mengusap lembut kepala Yongki yang masih menyenderkan kepalanya di pundaknya, seolah memastikan adiknya tahu bahwa dia tidak harus selalu memikul beban sendirian. Yongki, yang biasanya begitu dingin di depan orang lain, kali ini terlihat sangat rapuh.

"Aku sayang padamu, Hyung," ucapnya dengan begitu tulus, membuat Seonho tersenyum hangat.

"Apalagi Hyung," sahut Seonho sambil terkekeh geli, mencoba meredakan keharuan yang tiba-tiba muncul. Dia tahu betapa manis hati adiknya ini, meski sering menyembunyikannya di balik sikap dinginnya.

"Hyung, aku tidur denganmu malam ini." Tiba-tiba, Yongki mengangkat kepalanya sedikit dan berkata dengan nada manja.

"Jungsoo akan cemburu," balasnya, Seonho tertawa kecil dan seperti sudah terbiasa dengan sikap manja Yongki yang muncul di saat-saat tak terduga seperti ini. Yongki mengerucutkan bibirnya sedikit, lalu menjawab cepat.

"Jungsoo sudah tidur, dia tidak akan tahu." Wajahnya terlihat serius dalam upayanya membujuk sang kakak, meski ada senyum tipis di sudut bibirnya.

"Kenapa kamu manja sekali," katanya, tapi ada rasa sayang yang begitu besar dalam nada suaranya.

"Hanya sekali ini," jawab Yongki cepat, tetap berusaha meyakinkan Seonho. Matanya memancarkan keinginan yang tulus untuk menghabiskan malam dengan sang kakak. Di balik sikap tegar dan dinginnya, Yongki memang selalu butuh kehangatan dari kakaknya, terutama di saat-saat seperti ini.

Seonho akhirnya mengalah, seperti biasanya saat Yongki mulai menunjukkan sisi manjanya.

"Baiklah, cepat bersihkan dirimu dulu sebelum naik ke atas ranjangku," katanya, sambil menghela napas ringan.

Mendengar persetujuan itu, Yongki tersenyum sumringah, seperti anak kecil yang baru saja diizinkan untuk tidur dengan mainan favoritnya. Tanpa berkata banyak, dia segera bangkit, bergegas pergi untuk mempersiapkan diri.

Seonho menatap kepergian adiknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sambil tersenyum kecil.

"Kenapa dengan anak itu..." gumamnya pelan, masih tidak habis pikir dengan betapa manis dan manja Yongki bisa menjadi, meskipun di mata dunia dia adalah pria dingin yang tak tersentuh.

Sejenak, Seonho hanya duduk di sana, merasakan kehangatan yang ditinggalkan oleh kepala adiknya yang tadi menyandar di pundaknya. Malam itu, dalam keheningan yang penuh keakraban, ada kenyamanan yang hanya bisa dirasakan di antara kakak beradik.

....

Mentari pagi bersinar begitu terang, tetapi tidak menyiratkan kehangatan bagi seorang gadis yang sedang mematut diri di depan cermin. Yoora menarik napas panjang, mengagumi pantulan dirinya sejenak, sebelum getaran singkat dari ponsel di meja menghapus senyum tipis yang sebelumnya menghiasi wajahnya.

" Tidak perlu pergi ke sekolah. Di luar ada sopir. Ikut dengannya....

Yoora menatap pesan itu dengan dingin, jemarinya gemetar ringan. Tanpa ekspresi, ia mulai mengetik balasan.

'' Mau ke mana?.....

Pesan terkirim, dan tak lama kemudian tanda "dibaca" muncul di layar. Namun, jawaban yang diharapkan segera menyusul, dengan nada dingin yang tidak asing lagi baginya.

'' Tidak perlu banyak bertanya. Kau tinggal menurut padaku, apa susahnya?...

Tatapan Yoora kembali kosong. Tanpa kata-kata, ia mengganti seragamnya dengan pakaian santai, matanya tidak lagi bersinar. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke arah pintu belakang, mengikuti perintah si pengirim pesan.

Saat hendak keluar, pandangannya terhenti oleh pemandangan di ruang makan. Di sana, keluarganya tengah tertawa dan bersenda gurau. Matanya tertuju pada Jihwan yang sedang disuapi oleh Seonho, tampak seolah dunia mereka bebas dari beban yang selalu Yoora rasakan.

"Akh... Hyung, sudah lah... aku kenyang," ujar Jihwan dengan mulut masih penuh, berusaha menolak suapan berikutnya.

"Sedikit lagi, oke?" Seonho tetap mencoba menyuapinya, senyumnya lembut tapi tegas.

"Hyung, dari tadi bilang sesuap lagi, tapi tidak berhenti-berhenti!" protes Jihwan, tersenyum getir.

Yoora memerhatikan interaksi itu dengan perasaan campur aduk. Ia ingin mendekat, bergabung, tetapi hatinya terlanjur jauh. Terlalu banyak perasaan yang terpendam.

"Hyung tidak pernah menyuapi kita waktu kita sakit! Tapi pada jihwan Hyung setiap kali dia makan Hyung selalu menyuapinya ntah itu sarapan atau makan malam " Suara ledekan dari Taehwan dan Jungsoo memecah suasana.

"Haruskah kita cek CCTV?" Ucap Seonho sembari terkekeh kecil.

"Sebaiknya kita memang harus melihat CCTV, Hyung," tambah Haesung dengan nada bercanda, matanya berbinar penuh semangat.

"Betul itu! Kita bisa lihat siapa yang selalu merengek tidak mau tidur sendiri, bahkan mandi pun tidak mau sendiri," jawab Yongki, tawa renyah mereka meluncur bebas, menambahkan kehangatan di meja makan. Keduanya terlihat begitu bahagia bisa meledek Jungsoo dan Taehwan, seolah sedang merayakan sebuah kemenangan kecil.

"Nah, bukan hanya makan, tapi sampai mandi pun harus dimandikan. Pria dewasa mana yang melakukan hal itu?" ucap Haesung dengan ekspresi mengejek, membuat Jungsoo dan Taehwan semakin cemberut, wajah mereka memerah karena malu.

"Tapi kan kita juga adik kalian," ujar Jungsoo dan Taehwan secara bersamaan, suara mereka terdengar defensif, berusaha membela diri di tengah gempuran ledekan.

"Siapa yang bilang bukan?" balas Yongki sambil tersenyum lebar, senyumnya penuh dengan keisengan.

"Akh, Yongki Hyung!" teriak keduanya menggelegar, suara mereka menggema di seluruh penjuru mansion, menciptakan suasana ceria yang hangat.

"Sudah... Habiskan dulu makanan kalian. Ini sudah siang, kau harus pergi ke kampus, dan Taehwan, bukankah kau bilang kau punya janji?" tanya Seonho, nada suaranya tegas namun penuh kasih, tetap fokus pada Jihwan yang tampak menikmati perhatian dari sang kakak.

Taehwan dan Jungsoo terlihat tak menanggapi pertanyaan sang kakak, keduanya langsung melengos dari meja makan tanpa mengatakan apapun lagi. Semua orang tahu jika dua adiknya itu pasti cemburu dengan Jihwan yang mendapat perhatian lebih.

"Hyung..." tutur Jihwan, suara kecilnya mengungkapkan rasa bersalah karena merasa lebih disayang.

"Biarkan saja, nanti juga baik lagi," ujar Seonho dengan sabar, paham dengan sikap kedua adiknya yang kadang bisa cukup cemburu, namun tetap menyayangi mereka tanpa syarat.

Semua orang di meja makan tertawa riuh. Namun, Yoora, yang berdiri di ambang pintu, hanya bisa menyaksikan. Ia tidak tertawa. Ia merasa seolah sedang menyaksikan sebuah adegan dari kejauhan tanpa bisa menjadi bagian dari itu.

Dentang halus dari peralatan makan, suara tawa yang menggema, semuanya memudar di telinganya. Ia menghela napas panjang, memalingkan wajah, lalu melangkah keluar menuju sopir yang telah menunggunya di depan.

Dalam hati, Yoora hanya berharap... andai saja, di antara tawa dan canda itu, ada ruang untuknya.

1
Nunu Izshmahary ula
akhir nya ada satu saudara Yoora yang tobat 🥹 wahhh
Nunu Izshmahary ula
ouh jadi Min-ho ya yang waktu itu baik sama Yoora, jangan jangan Mereka jodoh lagi☺️🤣
Nunu Izshmahary ula
semoga Yoora gapapa, saudara nya ada aja yang bikin dia celaka
Nunu Izshmahary ula
yang ini bener banget, walaupun Seonho kaya gitu tapi gimana ya . kata kata ini bener juga
Nunu Izshmahary ula
astaga Seonho 😩minta ginjal orang udah kaya minta krupuk
winterbear95
"kemarahan kakak tertuanya"😭kenapa dibayanganku malah muncul Jin hyung ngerap sih astaga
winterbear95
aku baca, imajinasi visualku nongol 7 bujang kesayanganku🥺
Nengsih
sedih banget, dari pertama baca udah mewek 😭
Nunu Izshmahary ula
pengen punya sahabat macam rea , wah ... senengnya kalau punya temen kaya gitu ya , di saat dunia membenci kita habis - habisan ada satu tempat yang bisa kita jadikan tempat pulang untuk bersandar, susah banget nyari temen yang kaya gini di dunia nyata . kebanyakan orang cuma bermuka dua dan datang kalau lagi ada butuh nya aja🥺
BYNK: Kamu pasti akan menemukannya suatu hari nanti, atau mungkin malah kamu yang jadi sahabat seperti Rea untuk orang lain. Dunia ini memang keras, tapi kebaikan kita nggak pernah sia-sia. jangan lelah jadi orang baik , semangat 💪🏻
total 1 replies
Wayan Indrawati
yoora yg malang
Nunu Izshmahary ula
best quotes...
Nunu Izshmahary ula
jahat banget, yaampun Seonho..
Nunu Izshmahary ula
Lah, emang di sekolah dia di kantin nya gaada cctv kah? masa langsung percaya gitu aja , Seonho 😑
Nunu Izshmahary ula
wah kok keliatannya mereka egois banget ya, kira kira Namjin bakal milih Yoora atau Jungsoo..🤔
Nunu Izshmahary ula
jan males males up nya Thor , yang baca keburu kabur
winterbear95: naikin jumblah up episodenya🙄
BYNK: siap -siap , trimakasih banyak dukungan nya
total 5 replies
Nunu Izshmahary ula
baru baca bab pertama udah sedih aja .. wah ..
winterbear95: aku datang🤸
exited banget walaupun masih 4 bab
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!