Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEDATANGAN BIAN
Hari itu, Btari baru saja selesai membereskan beberapa peralatan fotografinya di ruang tengah ketika suara ketukan pintu terdengar. Sementara Barra yang sedang memeriksa pekerjaannya di kamarnya juga langsung keluar kamar.
"Abangmu sudah sampai kayaknya." Ucap Barra disambut anggukan Btari.
Wajahnya masih panik. Barra sampai harus menahan tawa melihat reaksi gadis itu.
"Santai, Bi. Kita nggak akan ketahuan. Harus senatural mungkin." Barra menenangkan Btari.
"Iya." Jawab Btari singkat lalu berjalan bersama Barra membuka pintu rumah mereka.
"Assalamu'alaikum, Bar, Tari." Sapa Bian yang datang bersama anak dan istrinya.
"Wa'alaykumussalam, Abang," Seru Btari berjalan pelan mendekati abangnya. Ia kemudian memeluk Bian dengan begitu erat. "Lama banget datangnya." Ucap Btari menampakkan wajah kesal.
Bian memeluk adiknya dengan tak kalah erat. Ia sangat merindukan Btari. "Nunggu Aysel libur, Dek." Jawab Bian.
Keduanya kemudian melepas pelukan. Btari lalu memeluk kakak iparnya, Dilara. Sementara Bian segera memeluk Barra.
"Kalian apa kabarnya?" Tanya Bian menepuk punggung Barra.
"Baik, Bang. Alhamdulillah. Ayo masuk dulu. Kita lanjutkan bicaranya di dalam." Ajak Barra yang membantu Bian membawa koper dan tas.
Sedangkan Btari berjalan beriringan dengan keponakannya, Aysel. Ia sangat merindukan anak kecil ini. Saat ia menikah kemarin, kakak ipar dan keponakannya ini tidak bisa datang karena Aysel sedang sakit.
Kini mereka sudah berada di ruang tengah. Hari sudah siang. Sudah saatnya jam makan siang. Karena kedatangan Bian dan keluarga, Barra tidak ke kantor hari ini. Ia hanya mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Oleh karena itu, pagi tadi ia bersama Btari menyempatkan diri untuk belanja keperluan dan memasak setelahnya.
Btari baru saja akan mengajak kakak iparnya berbincang namun ditahan Barra.
"Lebih baik kalian istirahat dulu, Bang. Kamarnya sudah Btari siapkan. Kami akan menyiapkan makanan untuk kita makan siang." Kata Barra cepat.
Btari mengangguk mengiyakan. Baru saja tadi ia akan mengajak kakak iparnya atau keponakannya itu bermain. Ia lupa, bahwa keluarganya itu habis melakukan perjalanan jauh.
"Terima kasih." Bisik Btari kepada Barra. Abang dan keluarga kecilnya itu kini sudah berada di kamar. Begitu pula keponakannya yang sudah mengantuk sedari sampai tadi.
"Makasih buat apa?" Tanya Barra heran.
Btari tersenyum kecil. "Makasih sudah menyambut keluargaku dengan baik." Jawabnya pelan.
"Keluargamu, keluargaku juga." Kata Barra lalu segera ke dapur disusul oleh Btari.
Mereka berdua tampak seperti pasangan pada umumnya. Terlihat begitu kompak. Setelah semuanya siap, Barra memanggil Bian dan Dilara. Sementara itu, Aysel tidak tampak karena masih tidur.
"Wah, makanannya kayaknya enak. Btari sudah bisa masak ya ternyata." Puji Dilara.
Btari melirik Barra sekilas sambil menggaruk kepalanya karena kikuk. "Itu..."
"Nggak nyangka. Kayaknya enak nih, Mi." Bian ikut bersuara lalu segera duduk di meja makan. Di samping Istrinya. Dilara mengambil nasi dan lauk untuk Bian.
Barra tidak mengomentari apapun. Hingga tak lama kemudian, Btari bersuara pelan.
"Ini semua Barra yang masak. Aku cuma kebagian ngupasin bawang dan cuci piring." Cicitnya. Sementara Barra hanya tersenyum geli. Padahal ia tidak masalah jika kedua kakaknya ini mengira bahwa aneka makanan yang terhidang adalah hasil tangan Btari.
Bian sampai melongo dibuatnya. "Belajar Tari. Masa iya Barra yang masak setiap hari." Nasehat Bian dengan wajah serius.
"Ini karena saya memang hobi masak, Bang. Saya juga nggak masalah kalau Btari tidak bisa memasak." Ucap Barra santai sambil mengambil nasi dan lauk untuk dirinya sendiri.
"Biasanya yang menyiapkan makanan Barra juga, ya?" Selidik Bian pada Barra dan Btari.
Btari baru saja akan menjawab, namun lebih dulu dijawab Barra. "Nggak, Bang. Biasanya Btari yang menyiapkan. Khusus hari ini memang inisiatif saya saja." Jawab Barra dengan santai tanpa melirik Btari.
Bian mengangguk lega. Walaupun seperti itu, ia masih melihat ada yang janggal dari mereka berdua. Interaksi keduanya berbeda dengan ia dan istrinya. Menurut Bian, Btari tampak kaku ketiks berdekatan dengan Barra.
"Btari, kenapa di rumah sendiri masih pakai pakaian lengkap begitu? Pakai kaos kaki segala, kayak ada orang lain aja." Lagi, Bian bertanya dengan wajah serius.
Btari hampir tersedak saat mendengar pertanyaan Bian. Buru-buru ia mengendalikan dirinya. Abangnya memang seringkali mengejutkan dirinya. Matanya melirik sekilas ke arah Barra, yang kini malah mengulum senyum seperti menikmati kepanikannya. Dasar lelaki menyebalkan!
Bian tampak serius menunggu jawaban, sementara istrinya, Dilara, hanya tersenyum samar, menepuk pelan punggung suaminya. “Nyamannya mungkin begitu. Ketemu sama kamu juga udah jarang.”
“Tapi kan ini di rumah sendiri, yang ada cuma kita sekeluarga.” Bian masih bersikeras. “Dia ini istrinya Barra, tapi kenapa sikapnya seperti bukan istri Barra?”
Btari menelan ludah. Ia harus berpikir cepat, tapi otaknya terasa kosong. Selama ini abangnya memang seringkali mendebatnya telak. Hal yang seperti inilah yang membuatnya panik begitu tahu abangnya akan menginap disini.
Barra yang sejak tadi hanya memperhatikan akhirnya bersuara, dengan nada santai namun penuh ketegasan. Melihat wajah Btari yang tampak pias membuatnya harus turut menjawab pertanyaan itu.
Apalagi ini juga karena dirinya sendiri.
“Rumah ini sering kedatangan tamu, Bang. Makanya Btari lebih nyaman pakai pakaian tertutup, biar nggak tiba-tiba panik kalau ada orang datang.”
Btari menoleh ke Barra dengan tatapan tak percaya. Secepat itu dia membuat alasan? Kenapa tidak sedari tadi ia menjawab? Pikir Btari.
Bian tampak berpikir. “Tapi hari ini kan nggak ada tamu…”
“Kita nggak tahu, Mas,” Barra menyela dengan senyum yang lebih lebar. “Kadang orang kantor saya bisa tiba-tiba datang, atau keluarga besar saya yang main tanpa kasih kabar dulu.”
Bian akhirnya mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih menyiratkan rasa penasaran. “Hmm, oke. Saya kira Btari masih sekaku itu sama kamu."
Btari buru-buru mengalihkan pembicaraan dengan menawarkan manggo chesse cake buatan Barra ke hadapan mereka. Jantungnya masih berdebar karena hampir saja kedok mereka terbongkar.
"Ini enak banget. Cocok loh Bar kalau buka kafe." Puji Bian.
"Iya, Bang. Cuma belum bisa fokus aja kalau buka usaha."
Setelah itu, acara makan siang diisi dengan beragam cerita. Bian ternyata tidak sekaku Btari, itulah yang Barra tangkap.
...****************...
Hari itu terasa begitu melelahkan bagi Btari. Dari pagi hingga malam, ia harus berpura-pura menjadi istri yang harmonis bersama Barra di hadapan abangnya, Bian. Mulai dari makan siang, duduk berdampingan, hingga sesekali berpandangan dan tersenyum—semuanya hanya pura-pura. Barra tampak menikmati perannya dengan santai, sementara Btari merasa seperti sedang menjalani ujian ketahanan mental.
Namun, puncak kesialannya terjadi malam ini.
Setelah seharian bersama Bian dan keluarga kecilnya, akhirnya Btari dan Barra kembali ke kamar. Masalahnya, kamar yang mereka masuki adalah kamar Barra.
Btari masih berdiri di ambang pintu, enggan melangkah lebih jauh. Matanya menatap sekeliling kamar yang kini berisi sebagian barang-barangnya. Sudah dipindahkan sejak pagi agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Bian.
“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?” suara Barra terdengar santai. Ia sudah duduk di tepi ranjang, melepas jam tangannya dengan ekspresi puas. “Jangan bilang kamu mau tidur di luar?”
Btari mendengus. “Kalau bisa, aku memang lebih milih tidur di luar.”
“Tapi nggak bisa,” Barra menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. “Bang Bian masih di sini, dan dia pasti bakal curiga kalau lihat kamu tidur di sofa atau tempat lain.”
Btari mendesah panjang. Ia tahu itu. Makanya sejak pagi ia terpaksa berusaha terlihat harmonis. Tapi tidur seranjang dengan Barra? Itu terlalu berlebihan. Sementara di kamar Barra tidak terdapat sofa, yang ada hanyalah kursi kerja Barra.
Barra menepuk kasur di sebelahnya. “Santai aja, Btari. Aku nggak akan makan kamu.”
“Dengar ya,” Btari menyipitkan matanya, “kalau kamu berani macam-macam, aku nggak akan segan-segan nendang kamu dari kasur.”
Barra tertawa kecil, tampak sangat menikmati situasi ini. “Oke, oke. Aku janji bakal jadi suami yang baik malam ini.”
Dengan hati berat, Btari akhirnya berjalan mendekat. Ia mengambil bantal dan berbaring sejauh mungkin di tepi ranjang, punggungnya membelakangi Barra.
Semuanya terasa hening selama beberapa saat, hingga suara pelan Barra kembali terdengar.
“Kalau kita beneran suami-istri, apa kamu bakal tetap sejauh ini?”
Btari terdiam. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu.
Ia hanya menarik selimut lebih tinggi, mencoba mengabaikan kehadiran Barra di belakangnya. Namun, ia bisa merasakan sesuatu—seperti perasaan aneh yang mulai tumbuh, yang selama ini selalu ia tolak.