Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamar mandi
Dengan jalan mengendap-endap, Marissa keluar dari kamar mandi yang ada di dekat dapur. Tentu saja ia harus membersihkan diri terlebih dahulu agar aroma bekas-bekas percintaan singkatnya tadi tidak tercium Andrian. Andrian tadi memang ia tinggalkan saat sedang tidur, tapi tidak tahu sekarang. Khawatirnya, saat ia masuk kamar, Andrian ternyata sudah bangun sehingga menimbulkan kecurigaan akibat aroma bekas-bekas percintaan singkatnya tadi yang menguar.
Sementara partnernya bercinta, sudah lebih dulu kembali ke kamarnya. Marissa pikir semuanya aman, hingga sebuah tangan tiba-tiba sudah mencengkeram erat pergelangan tangannya membuat jantung Marissa sontak kebat-kebit. Marissa yang baru saja hendak menaiki tangga kembali ke kamarnya sontak mematung dengan ketakutan yang meraja hati dan pikirannya.
"Wah, sepertinya kalian semakin berani saja ya?" sarkas seorang laki-laki. Mata Marissa membulat saat menyadari suara siapa itu.
Dengan perlahan, Marissa lantas menoleh.
"Kau ... mau apa kau?"
"Masih bertanya?" Hasta tersenyum mengejek.
Marissa melirik sinis pada laki-laki yang tak lain adalah Hasta itu.
"Lepaskan tanganku!" desis Marissa.
"Oke!" Hasta pun melepaskan cekalan tangannya.
"Apa yang kau inginkan?" Marissa tahu, ada yang laki-laki ini inginkan.
"Jangan pura-pura lupa, Marissa! Kapan kau memberikan uang yang aku minta? Sudah tiga hari berlalu, tapi kau sepertinya pura-pura lupa. Apa kau ingin aku mengirimkan video check in hotel kau dan papa mertua ke ibu mertua kesayanganmu itu? Atau suamimu juga?"
Ya, Hasta sudah sejak lama mengetahui tentang perselingkuhan ayah mertuanya dengan Marissa. Ia tanpa sengaja melihat pak Priambodo dan Marissa yang sedang check ini hotel. Kebetulan hotel dimana keduanya melakukan check ini juga merupakan hotel tempat ia sering menghabiskan waktu dengan wanita simpanannya. Namun Marissa dan pak Priambodo tidak mengetahui itu. Hasta justru memanfaatkan video saat keduanya melakukan check in untuk memeras Marissa.
"Sudah aku bilang, aku tidak punya uang. Mau tahu, mama selalu meminta uang denganku. Dan kau tau, uang itu ia gunakan untuk bersenang-senang dengan istrimu."
"Itu bukan urusanku, Sayang. Aku hanya meminta apa yang sudah seharusnya kau berikan padaku." Melihat Marissa yang hanya mengenakan piyama satin bertali satu membuat jakun Hasta naik turun. Piyama itu bukan hanya tipis, tapi juga berpotongan rendah sehingga aset kembar Marissa bisa ia lihat dengan jelas. Pun lengan dan paha mulus Marissa membuat libidonya seketika melonjak.
Tangan Hasta reflek mengusap pipi Marissa lalu turun ke leher.
"Kau bukan hanya cantik, Sayang, tapi juga sangat seksi," puji Hasta.
Mendengar pujian itu, Marissa tersenyum miring. Otak cantiknya mulai bekerja daripada memberi Hasta uang terus-menerus, bukankah lebih baik memanfaat dia melalui hal lain. Yang pasti akan saling menguntungkan kedua belah pihak.
Marissa menatap Hasta sambil menggigit bibirnya. Melihat itu, jelas saja membuat Hasta semakin terpanggil untuk melakukan seperti apa yang ia lihat secara live tadi. Ya, Hasta melihat saat ayah mertua dan iparnya tersebut bercinta. Jujur saja, sudah sejak tadi ia terangsang ingin melakukan hal yang sama. Namun untuk membangunkan Ellena rasanya percuma. Ellena merupakan tipe perempuan yang kalau sudah tidur, sulit untuk dibangunkan. Bila ia memaksa, maka Ellena pasti akan merajuk dan marah padanya. Oleh sebab itu, sejak tadi ia mencoba menahan hasratnya. Namun melihat tubuh seksi Marissa yang terpampang nyata sontak membuat gairah yang sejak tadi ia tahan kembali berkobar. Apalagi saat Marissa memainkan bibirnya dengan gerakan sensual, membuat tubuhnya rasa terbakar.
"Kau ingin menggodaku, hm?" ucap Hasta dengan suara lirih.
"Siapa yang ingin menggoda mu? Bukankah aku sejak tadi diam. Tanganmu sendirilah yang bersikap lancang di atas tubuhku."
"Marissa," ucap Hasta dengan suara dalam.
"Ya," jawab Marissa dengan suara sedikit mendesah.
"Aku tidak akan meminta uang lagi padamu asalkan ... "
"Asalkan apa?"
"Asalkan kau bersedia menjadi partner ranjangku, kau mau?" Hasta menatap Marissa sayu. Marissa bisa melihat kalau laki-laki itu begitu menginginkannya. Meskipun ia terkadang kesal dengan sikap Hasta yang kerap meminta uang padanya, tapi jujur saja, ia penasaran dengan gaya bercinta Hasta. Apalagi ia sering mendengar jeritan kakak iparnya saat melewati kamar mereka. Sehebat apa Hasta di atas ranjang? Batin Marissa bertanya-tanya.
"Tapi tidak sekarang. Aku harus segera kembali ke--- "
Belum sempat Marissa menyelesaikan kalimatnya, Hasta sudah lebih dulu membungkam bibir Marissa sambil membawanya ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. Tak butuh waktu lama, terjadilah sesuatu yang lagi-lagi tidak sepantasnya terjadi.
Pembantu Nurlela yang sebenarnya sejak tadi bersembunyi di balik tirai jendela sampai menutup mulutnya rapat. Matanya membulat sempurna akibat melihat dua adegan dalam waktu yang tidak berjauhan.
'Astaga, aku nggak nyangka ternyata istri Den Rian seperti ini. Nasibmu, Den. Punya istri baik, disia-siain. Sekarang nikmati saja istrimu yang udah kayak WC umum itu. Masa' semua laki-laki kok diembat. Untung aja suamiku udah meninggal. Jangan-jangan kalau masih hidup, diembat juga.'
Pembantu Nurlela bergidik ngeri. Saat keduanya sudah menghilang di dalam pintu kamar mandi, pembantu Nurlela itupun segera melipir masuk ke kamarnya yang ada di sisi lain rumah itu.
Keesokan harinya, wajah Andrian, Hasta, dan Pak Priambodo terlihat cerah sekali. Berbanding terbalik dengan Marissa yang terlihat kuyu. Namun ia tetap berusaha terlihat sempurna sebab ia masih harus bekerja.
"Kamu kenapa, Cha? Kalau sakit, istirahat aja di rumah. Kamu itu 'kan bos, masa' harus kerja mulu sih. Serahin aja pekerjaanmu sama karyawan mu. Sesekali libur 'kan nggak masalah," ujar Andrian saat melihat wajah Marissa yang tampak pucat. Raut lelahnya masih terlihat meskipun sebisa mungkin ia samarkan dengan make up.
"Aku nggak papa, Ian. Aku nggak bisa nggak datang meskipun sehari. Bisa-bisa semua pekerjaan kacau kalau aku nggak datang," ujarnya seraya duduk di samping Andrian.
"Apa yang Rian katakan benar, Sa. Jangan terlalu memaksakan diri," sela Pak Priambodo.
"Bekerja boleh, Sa, tapi jangan terlalu ngoyo. Kalau kamu sakit, bagaimana?" Kini Hasta pun ikut menimpali membuat Nurlela dan Ellena mengerutkan kening. Mengapa ketiga laki-laki itu bisa begitu kompak memperhatikan Marissa?
"Kalian kok kompak banget perhatian sama Marissa?" sela Nurlela mengeluarkan uneg-unegnya.
"Iya. Mas juga kok tumben perhatian gitu?" Ellena ikut menimpali.
Pak Priambodo dan Hasta sontak gugup. Namun sebisa mungkin mereka bersikap biasa saja.
"Benarkah? Ah, itu kebetulan saja. Apalagi liat, Marissa memang terlihat pucat sekali."
"Apa yang papa katakan benar. Bagaimanapun, Marissa sudah seperti adikku sendiri jadi wajar 'kan kalau aku sedikit memberikan perhatian padanya. Kamu nggak marah 'kan, Sayang?" ucap Hasta sambil tersenyum lembut pada Ellena. Melihat senyuman itu, sontak Ellena tersipu.
"Mas benar. Apa yang Rian, Papa, dan Mas Hasta katakan benar, Sa. Kalau sakit, istirahat saja."
Nurlela pun ikut membenarkan karena melihat wajah Marissa yang tampak begitu kelelahan.
"Aku nggak papa, kok, Ma, Mbak. Terima kasih sudah perhatian padaku," ucap Marissa tersenyum kecil.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...