Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Keesokan harinya, waktu terasa berjalan begitu lambat. Sepanjang pagi hingga sore, Siera menyibukkan diri di Cafe miliknya. Ia melayani pelanggan, mencatat pesanan, dan memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Bahkan, ia menyempatkan diri untuk membereskan Creative Studio. Namun, meski tubuhnya sibuk, pikirannya tetap melayang ke pertemuan yang telah ia janjikan dengan Arkana.
Berkali-kali Siera mencoba memikirkan apa yang harus ia katakan nanti. Kalimat demi kalimat tersusun di benaknya, tapi tidak ada satu pun yang terasa cukup. Rasanya semua terlalu biasa untuk menjelaskan kegelisahannya.
Menjelang malam, Cafe sedikit lengang. Siera berdiri di belakang meja kasir, melayani beberapa pelanggan yang masih bertahan. Dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, dan sebuah notifikasi pesan muncul di layar.
"Sie, pulang jam berapa?" Pesan itu singkat, tetapi Siera langsung tahu siapa pengirimnya. Arkana.
"Jam 9," balasnya singkat, tanpa berpikir panjang.
Pesan balasan datang lebih cepat dari yang ia duga. "Aku jemput di kafe, mau?"
Siera menatap layar ponselnya sejenak, jari-jarinya mengetik dengan ragu. "Nggak usah, gue bisa pulang sendiri," tulisnya, mencoba terdengar tegas.
"Oh oke. Kabari aku kalau ada apa-apa," balas Arkana.
Siera menghela napas panjang. Ia meletakkan ponsel di meja kasir dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa-apaan Arka," gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar. "Kenapa sekarang jadi perhatian banget?"
Setelah 7 tahun tidak pernah berkomunikasi, sikap Arka berubah. Ada sesuatu yang berbeda, dan perubahan sikapnya membuat Siera tidak nyaman. Bukan karena ia tidak suka, tetapi karena ia tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.
Ketika jam menunjukkan pukul sembilan, Siera membereskan barang-barangnya. Ia memastikan kondisi Cafe kepada beberapa pegawainya yang masih berada disana sebelum melangkah keluar Cafe. Udara malam yang dingin menyambutnya, membuatnya menarik jaket lebih rapat ke tubuhnya.
Namun, langkahnya terhenti saat melihat seseorang bersandar di pintu mobil hitam yang terparkir di seberang jalan. Sosok itu masih mengenakan pakaian formal kerjanya, dengan tangan dimasukkan ke saku celananya. Arkana.
"Apa yang lo lakuin di sini?" tanya Siera dengan nada sedikit kesal.
"Jemput kamu pulang," jawab Arkana singkat, tapi sorot matanya terlihat serius.
"Gue bilang nggak usah, kan?" Siera memelototinya, meskipun hatinya sedikit berdebar.
Arkana mengangkat bahu, senyumnya tipis. "Aku tahu, tapi aku nggak tenang kalau kamu pulang sendirian."
Siera menghela napas panjang. Ada sesuatu dalam nada bicara Arkana malam ini, sejak kapan Arka menggunakan Aku-Kamu begini saat berbicara dengannya. Tanpa banyak bicara lagi, ia mengangguk kecil dan masuk ke mobil Arka.
Sepanjang perjalanan, tidak banyak kata yang terucap. Suasana hening, hanya ditemani oleh suara mesin mobil dan lampu jalan yang sesekali menyinari wajah mereka. Namun, dalam keheningan itu, pikiran Siera terus dipenuhi oleh satu pertanyaan “Apa yang akan Arka katakana nanti?”
Setibanya di taman, Arka dan Siera memilih duduk di sebuah bangku yang diterangi lampu-lampu kecil. Malam itu udara terasa dingin, tetapi suasana hati mereka jauh lebih berat dibandingkan cuaca.
"Nggak banyak berubah ya di sini," ucap Arka, mencoba membuka pembicaraan dengan nada ringan.
Siera menatap sekilas ke sekeliling taman, lalu tersenyum tipis. "Iya, tempatnya tetap sama. Hanya orang-orangnya yang berubah," balasnya dengan nada sakras.
Arka terdiam sesaat. Ia memahami maksud Siera. Tanpa membalas, ia hanya tersenyum tipis, menerima sindiran itu tanpa perlawanan. Ada rasa bersalah yang terlalu besar untuk ia sembunyikan malam ini.
"Sie..." panggil Arka, suaranya sedikit bergetar.
Siera menoleh sejenak ke arah Arka, tapi hanya untuk beberapa detik sebelum ia kembali memalingkan pandangannya.
"Aku benar-benar minta maaf, Sie," ucap Arka akhirnya. "Aku sadar, keputusan yang aku ambil waktu itu sangat menyakiti kamu. Aku nggak pernah bermaksud untuk melukai perasaanmu. Aku cuma..." Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku cuma mau kamu bisa berdiri sendiri."
Siera mendengarkan dengan tenang. Tatapannya tertuju ke hamparan bunga di taman, tetapi telinganya menangkap setiap kata yang diucapkan Arka. Ia tidak memotong, membiarkan Arka menyelesaikan ucapannya.
Flashback On
Beberapa bulan sebelum Ujian Nasional.
Arka duduk di ruang kerja Bima, ayahnya, dengan raut wajah penuh kegelisahan. Di meja, ada beberapa brosur penerimaan mahasiswa baru dari universitas di Australia tergeletak, menjadi sumber utama perdebatan malam itu.
"Gimana, Ka? Keputusan kamu?" tanya Bima dengan nada serius.
"Pa, Arka nggak mau ke Aussie," jawab Arka dengan tegas.
"Melanjutkan pendidikan di sana bagus untuk masa depan kamu," balas Bima tanpa basa-basi.
"Tapi, Pa, aku nggak mau ninggalin Siera sejauh itu," jawab Arka jujur. Ada nada frustrasi dalam suaranya.
Bima menghela napas panjang, menatap putranya dengan tegas. "Ingat, Ka, kamu nggak bisa selalu ada di samping Siera. Kamu punya masa depan sendiri, dan Siera juga punya masa depannya. Kalau kamu terus menemani dia, bagaimana Siera bisa belajar mandiri?"
Arka menunduk, tidak mampu menatap mata ayahnya.
"Papa juga sudah bicara dengan Dimasta, ayahnya Siera. Dia punya pendapat yang sama," lanjut Bima. "Siera dari kecil selalu bergantung sama kamu. Kemanapun kamu pergi, dia akan mengikutimu. Kalau terus seperti itu, bagaimana dia bisa tumbuh jadi pribadi yang mandiri? Sebagai laki-laki, tugas kamu adalah membantunya belajar berdiri sendiri, bukan terus-menerus melindunginya."
Arka terdiam, membiarkan kata-kata ayahnya berputar di kepalanya seperti duri yang menusuk hati. Ia tahu bahwa semua yang dikatakan ayahnya ada benarnya, bahwa ia tidak bisa selalu ada untuk Siera, bahwa mereka berdua memiliki jalan hidup masing-masing. Namun, keputusan untuk meninggalkan Siera tetap terasa seperti pengkhianatan, bukan hanya terhadapnya tetapi juga terhadap janji-janji kecil yang pernah mereka buat bersama.
Setelah merenung beberapa saat, Arka mengangkat wajahnya dan memberanikan diri untuk berbicara. "Pa, bisa nggak Arka tetap kuliah di Indonesia? Kalau nggak di sini, di kota lain nggak apa-apa. Yang penting Arka tetap di Indonesia," ucapnya penuh harap.
Bima memandang putranya dengan tatapan tegas tapi penuh pertimbangan. Ia tidak langsung merespons, memberikan waktu untuk Arka melanjutkan.
"Arka janji, Pa. Arka akan fokus sama studi Arka dan menyelesaikannya dengan cepat," lanjut Arka, suaranya terdengar tulus. "S2 aja, Pa. Nanti Arka janji, untuk S2 aku lanjutin ke Aussie."
Bima terdiam, mengamati ekspresi putranya yang penuh keyakinan. Sebagai seorang ayah, ia mengerti bahwa Arka bukan hanya meminta izin untuk tetap tinggal, tetapi juga mencoba bertanggung jawab atas perasaannya sendiri.
"Arka, ini bukan cuma soal pendidikan," ujar Bima perlahan, suaranya terdengar penuh nasihat. "Papa mau kamu belajar membuat keputusan yang benar. Bukan hanya untuk diri kamu sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekitar kamu. Kalau kamu ingin tetap di sini, bagaimana caranya kamu akan membantu Siera menjadi lebih mandiri? Supaya dia nggak terus bergantung sama kamu?"
Arka menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia tahu pertanyaan ayahnya itu tidak mudah dijawab, tapi ia telah memikirkannya dengan serius.
"Arka paham, Pa," jawabnya akhirnya, suaranya tegas. "Arka akan cari cara Arka sendiri. Arka nggak akan biarkan Siera terus bergantung sama Arka. Arka juga mau dia belajar berdiri sendiri, tapi Arka juga nggak akan ninggalin dia sejauh itu."
Bima mengangguk pelan, menghargai tekad yang tersirat dalam ucapan putranya. "Baiklah, Ka. Kalau kamu yakin bisa membagi tanggung jawab ini dengan baik, Papa akan dukung keputusanmu. Tapi ingat, membimbing seseorang untuk mandiri itu bukan berarti selalu ada di sampingnya. Terkadang, kamu harus memberi jarak yang cukup supaya dia bisa belajar menghadapi dunia dengan caranya sendiri."
Flashback Off