Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Ayu adalah sosok yang memancarkan aura anggun dan misterius. Rambut panjangnya yang hitam legam mengalir seperti bayangan malam, kontras dengan kulitnya yang bersinar lembut di bawah cahaya remang. Ayu bukanlah wanita biasa—kehadirannya tidak terikat oleh dunia fisik. Hanya Jian An, seorang pria muda yang menjalani hidup penuh tantangan di kota besar, yang dapat melihat dan berbicara dengannya.
Di masa kini, Ayu hidup sebagai wanita modern yang tak terdeteksi oleh orang lain. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, sering kali duduk di dekat jendela apartemen Jian An, mengamati dunia yang bergerak cepat di luar sana. Tatapannya selalu penuh rasa ingin tahu, meskipun terkadang tersirat kesedihan yang mendalam.
"Kenapa hanya kamu yang bisa melihatku?" tanya Ayu suatu malam, suaranya seperti bisikan angin.
Jian An, yang sedang mengerjakan presentasi di laptopnya, berhenti sejenak dan menatapnya. "Aku nggak tahu," jawabnya jujur. "Tapi aku rasa, mungkin ada alasan kenapa kita dipertemukan."
Ayu tersenyum tipis, senyum yang tampak mengandung rahasia zaman. "Mungkin," jawabnya pelan. "Tapi, Jian... aku tidak yakin apakah kehadiranku ini adalah berkah atau kutukan untukmu."
Seiring waktu, hubungan mereka menjadi lebih dari sekadar rasa penasaran. Jian An mulai merasa bahwa Ayu tidak hanya hadir untuk menjadi teman yang tak kasatmata, tetapi juga sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar sebuah cerita yang melibatkan masa lalu, takdir, dan makna kehidupan yang lebih dalam.
Jian An terbangun dengan napas memburu, tubuhnya basah oleh air yang menggenang di sekitar tempat tidurnya. Cahaya redup lampu kamar memantul di permukaan air, menciptakan ilusi seakan ia masih berada dalam mimpi. Kepalanya berdenyut saat ia mencoba mencerna apa yang terjadi.
"Mimpi..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa aku basah kuyup?"
Ia memandang sekeliling kamar yang kini dipenuhi air setinggi pergelangan kaki. Jian An segera turun dari tempat tidur, kaki telanjangnya menyentuh air yang dingin. Ia melangkah pelan, mencoba mencari tahu sumbernya.
Kilasan mimpi itu masih segar di kepalanya. Ayu, wanita dengan senyum misterius, suara lembut, dan tatapan penuh rahasia. Jian An merasa seolah-olah ia baru saja kehilangan sesuatu yang nyata. Namun, kenyataan di depannya memaksanya untuk fokus.
Sumber air ternyata berasal dari pipa pecah di kamar mandi. Jian An segera mematikan keran utama, menghentikan aliran air yang terus membanjiri kamarnya. "Ini sebabnya aku mimpi tenggelam," pikirnya, sambil mengeringkan tubuh dan mulai membersihkan genangan.
Namun, saat ia kembali ke kamar untuk merapikan tempat tidur, matanya tertumbuk pada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Di atas meja kecil di samping tempat tidur, terdapat sebuah bunga melati segar, basah seperti baru saja dicelupkan ke air.
Jian An terdiam. Ia tidak pernah membeli bunga itu. Ia hanya bisa menatap bunga itu, bingung apakah ini hanya kebetulan atau... jejak dari Ayu yang seharusnya hanya ada dalam mimpinya.
***
Pagi itu, Jian An memutuskan untuk menjelajahi rumah Saka yang luas. Rumah itu memiliki desain klasik yang berpadu dengan sentuhan modern, membuatnya terasa hangat tetapi tetap memberikan kesan megah. Cahaya matahari menembus jendela besar di ruang tamu, menciptakan bayangan artistik di lantai marmer.
Ia melangkah perlahan, menyusuri lorong-lorong panjang yang dipenuhi rak buku dan pajangan antik. Lukisan-lukisan tua menggantung di dinding, menambah suasana misterius. Salah satu lukisan itu menampilkan seorang wanita dengan rambut panjang yang tersenyum tipis, membuat Jian An tertegun. Wanita itu mengingatkannya pada Ayu dalam mimpinya.
Jian An melanjutkan langkahnya ke arah taman dalam rumah. Di sana, ia menemukan sebuah kolam kecil dengan air jernih, dihiasi bunga teratai putih yang mengapung tenang di permukaannya. Angin pagi berembus pelan, membawa aroma melati yang samar. Aroma itu langsung mengingatkannya pada bunga melati yang ia temukan di kamarnya tadi malam.
Rasa penasaran membawa Jian An ke sebuah pintu kayu besar di sudut rumah. Pintu itu terlihat berbeda dari yang lain, dengan ukiran rumit dan pegangan berbentuk naga. Ia mencoba membukanya, tetapi pintu itu terkunci. Ada sesuatu yang mengundang di baliknya, seperti rahasia yang menunggu untuk ditemukan.
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Saka muncul dengan senyum ramah, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. "Kamu menemukan sesuatu yang menarik?" tanyanya sambil melirik pintu kayu yang tertutup rapat itu.
Jian An hanya tersenyum kaku. "Aku hanya penasaran, rumah ini begitu luas dan penuh cerita."
Saka tertawa kecil. "Ya, memang begitu. Tapi tidak semua cerita harus dibuka, bukan?" ujar Saka, membuat Jian An semakin penasaran.
Suara bel rumah yang nyaring menggema di aula depan, membuat Jian An dan Saka menghentikan percakapan mereka. Saka mengangkat alis sedikit, seolah tak menyangka akan kedatangan tamu.
"Aku cek dulu," ujar Saka sebelum berjalan menuju pintu utama.
Saat pintu terbuka, seorang wanita berdiri di sana. Ia mengenakan kebaya sederhana dengan kain batik yang membalut tubuhnya. Di sampingnya, sebuah sepeda motor tua dengan keranjang besar bertuliskan "Jamu Gendis" terparkir rapi. Senyum ramah terpancar dari wajahnya, membuat kesan pertama yang hangat.
"Selamat pagi, Mas Saka," sapanya lembut, dengan nada sopan yang khas. "Saya Gendis. Ada yang pesan jamu?"
Saka terlihat bingung sejenak, namun akhirnya mengangguk kecil. "Mungkin pembantu rumah tangga saya yang memesan. Silakan masuk."
Gendis melangkah masuk dengan anggun, membawa termos besar yang menggantung di keranjang. Jian An, yang penasaran dengan tamu tak terduga itu, mengikuti mereka ke ruang tamu.
"Jamu apa yang kamu bawa?" tanya Saka sambil mempersilakan Gendis duduk.
"Segala macam, Mas," jawab Gendis sembari membuka tutup termosnya. "Ada beras kencur, kunyit asam, sampai jamu pahitan. Cocok buat kesehatan badan dan membuang lelah."
Jian An memperhatikan wanita itu dengan saksama. Gendis terlihat biasa saja, tetapi ada sesuatu yang membuatnya terasa berbeda, seperti aura tenang yang memancar dari dirinya. Jian An tak bisa menghilangkan rasa penasaran akan nama "Gendis" yang terasa familiar, meski ia tak ingat di mana pernah mendengarnya.
"Aku coba kunyit asam," kata Jian An tiba-tiba, ingin melihat lebih jauh kehadiran wanita itu.
Gendis tersenyum lembut dan segera menuangkan cairan keemasan dari botolnya ke dalam gelas. "Silakan, Mbak. Ini bagus untuk menjaga tubuh tetap segar."
Saat Jian An menyeruput jamu itu, matanya melirik samar ke arah Gendis, merasa ada cerita yang lebih besar di balik kehadirannya pagi itu.
Gendis yang sedang menuangkan jamu ke dalam gelas untuk Jian An terhenti sejenak mendengar suara itu. Ia menatap pria di depannya dengan tatapan yang tak terduga. Jian An bisa melihat sekilas kebingungan di wajahnya, seolah sedang memproses kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya.
Jian An merasa ada sesuatu yang janggal. Gendis menatapnya lebih lama, dan akhirnya mulutnya terbuka untuk memberi jawaban, meski dengan ragu. "Maaf, Mas... Apa maksudmu?"
Jian An mendekat, tak bisa menahan perasaan herannya. "Gendis... Kamu ingat aku? Aku Jian An. Dulu kita sering bertemu, kan?"
Gendis terdiam, mulutnya seperti terbuka untuk berbicara, namun kata-kata itu terhenti begitu saja. Ada kebingungan yang sangat jelas di matanya, dan senyum kecil yang biasa ia tunjukkan pada Jian An kini tampak sangat berbeda, seperti terpaksa.
"Aku tidak ingat," jawab Gendis dengan suara lembut namun berat, mencoba menyembunyikan sesuatu yang terasa ganjil di antara mereka. "Maaf, aku tidak ingat kita pernah bertemu."
Jian An terkejut, perasaan aneh menghantuinya. Bagaimana bisa Gendis, yang dulu sangat dekat dengannya, kini tidak mengenalinya sama sekali? Tersadar bahwa sesuatu mungkin telah berubah, atau ada kenangan yang sengaja dihapus oleh Gendis.
"Sungguh, aku... tidak ingat," ulang Gendis dengan nada lembut, seolah berusaha untuk mengalihkan perhatian dari suasana yang semakin mencekam.
Jian An hanya bisa terdiam, menatapnya dengan kebingungan yang semakin dalam. Ada banyak hal yang ingin ditanya, tetapi suasana aneh ini membuatnya terdiam. Mengapa Gendis tiba-tiba seperti kehilangan ingatan tentang dirinya?