Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#35•
#35
Aaron Berbalik, terlalu pahit baginya menyaksikan pemandangan itu.
Luka akibat perceraian orang tuanya saja, masih menganga dan kadang berd^arah.
Dan sekarang?
Dug!
Dug!
Dug!
Aaron berlari menaiki tangga menuju kamarnya, menyimpan tangis sedihnya seorang diri, hingga malam kembali menjemput pagi.
Seperti itu setiap hari sejak perceraian orang tuanya enam bulan yang lalu.
Dampak sebuah perceraian kadang tak serta merta terlihat, karena biasanya anak sebagai korban utama lebih memilih menutup diri, bahkan memendam perasaannya.
Mencoba menguatkan diri, dan mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa semua baik-baik saja, tidak ada yang akan berubah, kasih sayang kedua orang tuanya akan tetap tak terbatas untuk anak mereka. Begitu seterusnya, hingga sebuah kenyataan menghentak kesadarannya. Menghempaskan semua yang sudah ia bangun dengan susah payah seperti saat ini.
Aaron mengusap wajahnya, air mata itu benar-benar sukses membuat seluruh wajahnya basah. Hingga tanpa bisa ditahan ia pun menangis, namun terlalu gengsi untuk memperdengarkan suara kesedihannya pada sang Mommy.
Drrttt!
Drrttt!
Aaron bergegas memeriksa ponselnya, wajahnya berbinar bahagia ketika melihat siapa yang kini menanti jawab di seberang sana.
“Daddy … “
“Hey, Boy … suaramu aneh?”
“Mmm … “ Disatu sisi Aaron ingin menumpahkan tangis, namun disisi lain ia tak ingin membuat sang daddy bersedih.
“Kamu flu?”
“Atau … “ Dean terlalu takut melanjutkan kalimatnya, “ … you cry?”
“No, Dad, I'm okay, but … “
Sunyi, hanya nafas mereka yang terdengar, “I miss you, Dad … so much.”
•••
Dean mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, kejujuran Aaron beberapa saat yang lalu benar-benar membuat hatinya teriris.
Apakah tidak bisa hanya dirinya saja yang tersakiti karena hal itu?
Kenapa Celline harus begitu ceroboh, hingga membuat Aaron melihat sesuatu yang seharusnya belum boleh ia lihat.
Flashback
The Red Plaza, salah satu gedung tertinggi di pusat kota London.
Dean menghentikan mobilnya di basement, bermaksud menjemput Celline apapun yang terjadi. Sungguh tak ada wanita segila Celline dalam urusan pekerjaan, tapi Dean rasa minggu ini Cello sudah semakin keterlaluan, karena ia sudah sangat mengabaikan perannya sebagai seorang ibu.
Dean paham, jika di hari-hari tertentu di setiap tahunnya, Celline akan mengurus event Fashion Week yang diselenggarakan oleh The Woman, majalah mode tempat Celline bekerja. Tapi kali ini, Fashion Week bertepatan dengan ulang tahun The Woman, karena itulah Celine mencurahkan seluruh waktunya demi kesuksesan acara tersebut.
Tapi Aaron? Apakah bukan prioritas? Hingga Celline rela mengabaikannya begitu saja hanya karena ia sedang mengurus Event yang akan memajukan nama besar The Woman.
Pun dirinya sebagai suami, walau tidak 24 jam, tapi ia pun butuh pasangan yang sudah ia pilih untuk menjadi teman hidup, hari ini baru genap 9 tahun pernikahan, dan perjalanan yang akan mereka tempuh masih sangat panjang. Jika komunikasi mereka kurang, kedekatan mereka terbatas, waktu mereka hanya sekedar say hallo ketika di rumah, apakah mungkin bisa bertahan selamanya?
Dean sudah bekerja sangat keras demi bisa membuat pernikahannya berjalan harmonis, termasuk ketika Celline ingin tetap bekerja, dan Dean cukup lega ketika Celline dan dirinya sepakat tetap memprioritaskan rumah dan anaknya.
Tapi, Celline tetaplah Celline, wanita ambisius yang tak mau menjadi nomor dua untuk urusan pekerjaan, terlebih lima tahun ini karirnya melejit bak roket yang terus membumbung tinggi. Tentu ia sangat bahagia, tapi disisi lain, Aaron mulai tersisih, Dean sang suami mulai ia jadikan nomor sekian dalam prioritas hidupnya, maka beginilah akhirnya. Sudah hampir 5 hari Celline tak pulang, ia bahkan menginap di tempat kerjanya.
Ibu macam apa yang melakukan hal itu? Mommy Bella juga seorang istri dan juga ibu, dia mengurus perusahaan, tapi juga tidak mengabaikan keluarganya. Itu sebuah contoh nyata bagi Dean, secara tidak sadar, ia pun menginginkan sosok istri seperti mommynya.
Dan Celline sungguh jauh berbeda dari mommy Bella.
Jika dikatakan lelah, sudah sangat lama Dean lelah. Bukan lelah biasa, tapi lelah yang sudah nyaris menyentuh titik jenuh dalam sebuah hubungan.
Dean lelah mengerti kemauan Celline, lelah melihat betapa keras kepalanya Celline, lelah dengan semua ambisi dan keinginan Celline yang seolah tiada habisnya. Tapi, Dean masih bertahan, ia mencoba dan terus belajar menjadi suami baik, suami setia, suami penyayang, memahami dan memberikan ruang untuk istrinya mengeksplorasi diri dan kemampuannya agar terus berkembang.
Dean tiba di lantai 20, tempat Celline berkantor, bukan hanya Celline yang sibuk, tapi ada sekitar 20 orang yang juga kerja lembur. Tapi Celline tak terlihat, kemana dia.
“Permisi, apa kamu melihat istriku?” tanya Dean pada salah seorang yang pegawai yang berdiri di dekatnya.
“Ups, maaf, aku pegawai baru.”
“Oh, hai, Tuan Geraldy, Nona Celline ada di ruangannya,” jawab Patricia, asisten Celline.
“Thanks, Patricia.”
“Cukup traktir aku saja,” gurau Patricia.
“Baiklah, ingatkan aku.” Dean kembali menjawab sambil berlalu.
Wajah Patricia tiba-tiba kehilangan senyum ramahnya, ia tahu cepat atau lambat ini pasti terjadi.
Ruangan Celline naik satu tingkat diatas ruangan para bawahannya, dindingnya di kelilingi kaca, tapi kali ini tirainya tertutup, “ah, mungkin si pemilik ruangan sedang ingin privasi,” pikir Dean.
Tapi, entah apa yang ada di pikiran Celline, kendati di rumah anaknya sedang menunggu, dan suaminya memberi kepercayaan penuh. Nyatanya di tempat kerja Celline menyia-nyiakan semua itu.
Ambisinya lebih penting dari keluarganya, cita-citanya diagungkan seperti permata berharga, sementara yang sungguh-sungguh mencintai dan menghargainya hanya bernilai rendah seperti sampah.
Brak!
Bugh!
Bugh!
Pintu ruang kerja Celline Dean tutup dengan kasar, kemudian tanpa ragu ia menghajar pria yang telah lancang menc^umbu istrinya.
Tatapannya nyalang, menatap Matthew yang kini wajahnya lebam, bahkan sudut bibirnya berdarah.
Jika Celline tak menghalanginya, mungkin Matt sudah berakhir di IGD.
“Stop It! Please … “ pinta Celline.
“Kamu membelanya!? Fine, itu berarti diantara kita sudah tak ada artinya.”
“Aku bisa jelaskan, Honey,” mohon Celline.
“Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun penjelasanmu tak lebih dari sebuah alasan untuk menutupi kebusukan kalian.”
“Aku mohon,” Celline mengiba, kebimbangan hatinya sudah terlalu lama, tapi melepas Dean pun ia tak kuasa.
“Dulu sekali aku sudah pernah memberimu kesempatan memilih, bajingannn brengsekk itu, atau aku!? Tapi kamu memilih hubungan kita. Aku bahkan masih memberimu izin bekerja, walau aku dan Aaron yang harus berkorban karena tak bisa bertemu denganmu …”
Dean tak sanggup lagi berkata-kata, ia berbalik pergi, “Honey, tunggu …”
“Maaf, Celline, kita berakhir sampai disini. Aku terlalu lemah sebagai kepala keluarga, bahkan di matamu, perjuanganku selama ini pun tak berharga. Jadi, walau aku harus melanggar larangan Kakekku, aku tak peduli, karena cinta bukan segalanya bagiku! Aku bukan pengemis yang harus memohon dicintai wanita sepertimu, lebih baik aku sendiri daripada beristri, tapi hanya melukai harga diri.”
Flashback end