Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Keinginan Alika
Alika menggeleng pelan, lalu tersenyum samar meskipun senyumnya tak sepenuhnya tulus.
"Bukan," bisiknya. "Hanya… aku tiba-tiba teringat ibuku."
Arlan terdiam, matanya sedikit menyipit seolah mencoba membaca lebih dalam. Ia tahu hubungan Alika dengan ibunya tidak baik, tetapi ia juga paham bahwa bagaimana pun, wanita itu tetaplah ibu kandung Alika.
Setelah beberapa saat, Arlan akhirnya berkata dengan suara datar namun mengandung pengertian, "Kalau kau ingin membicarakannya, aku di sini."
Alika menatapnya, lalu kembali menunduk, jemarinya mengusap pelan rambut Adriel yang sudah terlelap.
Mungkin, suatu saat ia akan menceritakannya. Tetapi tidak sekarang.
***
Di Ruang Tengah
Widi duduk dengan tegak, wajahnya kaku saat melihat Arlan dan Bagas melangkah masuk. Sorot matanya tajam, penuh ketegasan yang sulit digoyahkan. Ia tahu suaminya ingin membahas sesuatu yang penting, tetapi dalam hatinya, ia sudah menyiapkan jawaban.
"Aku tetap tidak bisa menerima pernikahan ini," ucapnya tanpa basa-basi, nada suaranya dingin dan tegas.
Arlan, yang sejak awal sudah tahu ibunya akan bersikap seperti ini, tetap tidak menunjukkan keterkejutan. Ia sudah mempersiapkan dirinya menghadapi penolakan ini. Tetapi, bukan berarti ia akan mundur.
"Mama boleh tetap menolak, tapi aku tetap akan menikahi Alika," jawabnya tenang, tanpa keraguan sedikit pun.
Mata Widi menyipit, tidak suka dengan keyakinan yang ditunjukkan putranya. "Arlan, kau pikir menikah hanya soal cinta? Lihat latar belakangnya. Keluarganya berantakan. Ibunya meninggalkan mereka, ayahnya hidup dalam kesulitan. Apa kau yakin Alika bisa mempertahankan rumah tanggamu? Apa kau yakin dia tidak akan mengulangi kesalahan orang tuanya?"
Arlan mengepalkan tangannya, tetapi tetap menjaga ketenangannya. "Mama selalu menilai Alika dari latar belakangnya, bukan dari dirinya sendiri. Apa salahnya jika ibunya pengkhianat? Apa salahnya jika keluarganya pernah kesulitan? Itu bukan salah Alika, dan aku tidak peduli dengan masa lalunya. Yang aku tahu, dia adalah wanita yang aku pilih untuk mendampingiku."
Widi tersenyum tipis, tetapi sorot matanya tetap dingin. "Bukan soal menyalahkan, tapi mama tidak bisa mengambil risiko. Pernikahan bukan hanya soal dua orang yang saling mencintai, Arlan. Pernikahan adalah penyatuan dua keluarga. Jika kau menikah dengannya, kau harus siap menghadapi segala konsekuensinya. Mama tidak akan merestui."
Bagas, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Widi, aku tahu kau ingin yang terbaik untuk Arlan, tapi jangan lupakan sesuatu. Ayah Alika, Arya, adalah orang yang dulu menolongku. Jika bukan karena dia, aku mungkin tidak bisa seperti sekarang."
Sejenak, ekspresi Widi sedikit berubah, tetapi tidak cukup lama untuk menunjukkan bahwa ia terpengaruh. Ia menarik napas dalam, lalu menatap suaminya dengan sorot tajam. "Aku menghormati Arya, dan aku tidak akan melupakan jasanya. Tapi itu tidak berarti aku harus menerima putrinya sebagai menantuku."
Arlan menghela napas, tetapi tidak ada sedikit pun keraguan di matanya. "Baik, kalau itu keputusan Mama. Aku tidak akan memohon restu yang Mama tak ingin berikan. Tapi, itu tidak akan mengubah keputusanku untuk menikahi Alika."
Arlan sempat berharap Widi akan merestui pernikahannya dengan Alika setelah mengetahui bahwa ayah Alika pernah berjasa besar bagi papanya. Namun, harapan itu sirna ketika ia menyadari bahwa hal tersebut tak sedikit pun mengubah pendirian maupun penilaian Widi terhadap Alika.
Keheningan menyelimuti ruangan. Widi menatap putranya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia sudah menduga bahwa Arlan akan semakin teguh pada keputusannya setelah mengetahui bahwa ayah Alika telah berjasa besar bagi papanya.
Bagas hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu bahwa hati Widi tidak akan mudah luluh, tetapi ia juga tahu bahwa Arlan tidak akan mundur.
Sekarang , Widi menyadari bahwa ia mungkin telah kehilangan kendali atas putranya.
***
Di ruang keluarga kecil mereka, Alika duduk di samping Arya, sementara Adriel sibuk bermain di karpet bulu dengan mainannya. Rumah makan mereka tutup lebih awal hari ini karena ramainya pelanggan hingga semua makanan habis lebih cepat dari biasanya. Suasana rumah terasa lebih tenang, hanya diiringi suara gemerisik Adriel yang sesekali bergumam sendiri.
Alika menggenggam jemarinya sendiri, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia tahu apa yang hendak ia katakan akan mengejutkan ayahnya, bahkan mungkin membuat Arya marah. Tetapi, ia tak bisa menghindari hal ini lebih lama.
"Pak..." suara Alika terdengar ragu, namun ia memberanikan diri untuk melanjutkan, "Aku ingin pulang... ke rumah Kakek, Nenek, dan Ibu. Aku ingin meminta restu mereka untuk menikah."
Arya, yang semula tampak santai dengan lengannya bersedekap, langsung menegang. Wajahnya berubah, ekspresi terkejut bercampur dengan ketidaksetujuan yang jelas. Tatapan matanya seolah mempertanyakan apakah ia benar-benar mendengar dengan benar.
"Apa?" Suara pria tua itu terdengar lebih rendah dari biasanya, namun tetap tegas. Ia menatap putrinya dalam-dalam, seolah mencari alasan di balik keinginan yang tiba-tiba ini.
Alika menelan ludah, tahu bahwa reaksinya akan seperti ini. "Aku tahu Bapak tidak setuju… tapi ini penting bagiku. Aku ingin menikah dengan restu mereka, meskipun aku tak tahu apakah mereka akan memberikannya atau tidak."
Arya menghela napas panjang, meremas jemarinya sendiri untuk menahan emosi. Ingatannya kembali ke saat-saat di mana Maya menghancurkan kehidupannya dan Alika, mengkhianati keluarganya demi pria lain. Saat itu, dengan penuh keyakinan, ia berkata pada Maya bahwa Alika mungkin tak akan pernah menemuinya lagi. Bahkan, Arya pernah bersumpah akan melarang Alika untuk kembali pada wanita itu agar putrinya tidak terluka untuk kedua kalinya.
"Kau ingin menemui ibumu lagi setelah semua yang dia lakukan?" suara Arya terdengar lebih tajam sekarang, matanya menyipit penuh ketidakpercayaan. "Alika, kau sudah cukup terluka. Kenapa kau ingin membuka luka lama itu?"
Alika menundukkan kepala, merasa perih di dalam hatinya. "Aku tahu, Pak… Aku tahu Ibu telah melakukan kesalahan besar. Aku tahu aku sudah terluka karena perbuatannya. Tapi… dia tetap ibuku. Bagaimanapun juga, aku lahir dari dirinya."
Arya menggeleng, ekspresinya keras. "Ibu yang baik tidak akan mengkhianati anaknya seperti yang dia lakukan padamu. Kau sudah cukup kuat untuk menjalani hidup tanpa dia, Alika. Kenapa sekarang kau ingin kembali?"
Alika menghela napas, menggenggam erat jemarinya. "Karena aku tidak ingin menikah dengan kebencian dalam hatiku, Pak. Aku ingin mengakhiri semuanya dengan baik, bukan dengan dendam atau penyesalan. Jika mereka menolak memberiku restu, setidaknya aku sudah berusaha. Tapi jika aku tidak mencoba, aku mungkin akan selalu bertanya-tanya... apakah aku sudah melakukan hal yang benar?"
Arya terdiam. Kata-kata Alika menampar sisi emosionalnya yang selama ini ia tutup rapat. Sebagai seorang ayah, ia hanya ingin melindungi putrinya dari luka yang sama, dari masa lalu yang menyakitkan. Namun, ia juga tahu bahwa Alika bukan lagi gadis kecil yang bisa ia lindungi selamanya.
"Pak…" suara Alika melembut, menatapnya penuh harap. "Aku hanya ingin mencoba. Aku tak akan memaksa mereka menerima keputusanku. Aku hanya ingin menjalankan tugasku sebagai anak untuk meminta restu."
Arya menatapnya lama, mencoba menemukan keraguan dalam sorot mata putrinya. Namun, yang ia lihat adalah keteguhan. Gadis kecilnya yang dulu rapuh kini telah tumbuh menjadi wanita yang tahu apa yang ia inginkan.
Setelah beberapa saat, Arya akhirnya menghela napas berat dan bersandar di kursi. "Baiklah," gumamnya, suaranya masih berat dengan ketidakyakinan. "Aku tidak akan melarangmu… Tapi aku tetap tidak percaya pada Maya. Jika dia mencoba menyakitimu lagi, aku tak akan tinggal diam."
Senyum tipis terukir di wajah Alika, matanya sedikit memerah karena haru. "Terima kasih, Pak…"
Arya hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia masih merasa cemas. Namun, kali ini, ia memilih percaya pada keputusan putrinya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued