Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ulang Tahun
Pagi yang dingin menyelimuti puncak Gunung Dieng. Kabut tebal menari pelan di antara rerumputan basah, sementara uap dingin mengepul dari mulut para pendaki. Temperatur yang menusuk tulang membuat tubuh mereka menggigil meski sudah berlapis mantel tebal. Namun, tidak ada waktu untuk mengeluh atau sakit. Mereka datang ke sini untuk bersenang-senang, melarikan diri sejenak dari rutinitas yang menyesakkan, dari tumpukan pekerjaan yang selalu menunggu di meja kantor.
Di ufuk timur, matahari mulai merangkak naik perlahan. Cahayanya menghangatkan kaki langit yang tadinya kelabu, membingkai siluet jingga yang memukau. Langit seolah menjadi kanvas yang dilukis dengan warna-warna hangat, memberikan rasa damai dan tentram di hati siapa saja yang memandang. Semua mata terpaku pada pemandangan itu, terpesona oleh keindahan yang sulit diungkapkan kata-kata.
Namun, di tengah keheningan yang menyelimuti momen itu, suara seorang pendaki memecah suasana.
“Hei, Naima, bagaimana dengan lamarannya? Kamu menerimanya?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Naima menoleh pelan, menatap wajah orang yang baru saja bertanya. “Em, entahlah,” jawabnya dengan nada datar. “Aku minta dia menunggu. Dia setuju.”
“Eh, jangan dibuat menunggu lama-lama. Nanti keburu diambil orang loh,” balasnya, kali ini dengan nada sedikit menggoda.
Naima tersenyum tipis, lebih seperti senyuman lelah daripada senang. “Kalau diambil orang, berarti dia bukan jodoh aku, kan?” balasnya tenang, tanpa emosi.
“Kamu ini, kalau dibilangin bebal ya. Terserah deh,” sahutnya lagi, kali ini sambil mengangkat bahu, menyerah pada logika Naima yang sulit dipahami.
Naima hanya memalingkan pandangan kembali ke arah matahari yang terus merangkak naik. Keindahan itu tidak mampu menenangkan pikirannya yang terusik oleh pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Kenapa semua orang begitu peduli dengan kisah cinta orang lain? pikir Naima. Sebegitu menariknya kah urusan ini?
Pikirannya melayang, mencari jawaban. Mungkin mereka hanya penasaran. Sekadar ingin tahu, seperti anak kecil yang gemar membuka hadiah hanya untuk melihat isinya. Setelah rasa penasaran itu habis, mereka berhenti peduli.
Wajah Yuda melintas di benaknya. Atau mungkin dia sama seperti mereka, hanya tergerak oleh rasa penasaran? Setelah semua yang dia ingin tahu sudah terjawab, dia akan berhenti, mencari hal lain yang lebih menarik.
Naima menarik napas panjang, udara dingin masuk ke paru-parunya, memberikan sensasi perih yang aneh. Namun, ia tetap membiarkan pikirannya berputar. Mungkin itulah kenapa aku biarkan rasa penasarannya habis. Karena setelah itu, dia akan pergi juga, entah dengan atau tanpa permisi, seperti lebah yang meninggalkan bunga setelah nektarnya habis.
Dia menutup matanya sejenak, mencoba membiarkan pikirannya kosong. Tapi, bayangan itu tetap tinggal, menggantung di sudut pikirannya yang paling dalam, seperti awan kelabu yang enggan pergi.
Saat matahari perlahan naik, Naima masih terpaku menikmati sunrise di puncak Dieng. Jingga hangat yang menghiasi langit membuatnya sejenak lupa pada segala keruwetan pikirannya. Namun, suasana itu terusik ketika seorang gadis menyenggol lengannya pelan.
“Eh, kita disuruh ke tenda, nih,” bisik gadis itu dengan nada mendesak.
“Buat apa?” Naima menoleh setengah malas.
“Persiapan buat surprise-nya Malik,” jawabnya, kali ini lebih pelan sambil melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar.
“Sekarang? Banget nih?” Naima mengerutkan alis, merasa enggan meninggalkan pemandangan indah di depannya.
“Iya, yuklah. Bantu-bantu yang lain,” desak gadis itu, yang ternyata bernama Susi. Tanpa basa-basi, Susi menarik lengan Naima, memaksanya beranjak dari tempatnya duduk. Naima hanya menghela napas panjang, tidak punya pilihan selain mengikuti.
Mereka berdua tiba di tenda utama yang terletak tak jauh dari area kemah. Di dalam tenda, suasana sudah ramai. Beberapa orang sibuk meniup balon berbentuk huruf, menyusun untaian kata "HAPPY BIRTHDAY" di bagian tengah. Yang lain sibuk menata kue kecil.
“Weh, satu orang pegang satu balon, biar nggak kabur!” seru salah satu dari mereka yang terlihat seperti pengatur acara dadakan.
“Eh, kabarin yang di depan dong, bentar lagi kita keluar,” teriak seseorang dari sudut tenda, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian.
“Woke, siap!” sahut seorang pria sambil berlari keluar tenda. Namun, langkahnya terhenti ketika temannya menarik kerah bajunya.
“Di WA aja, dodol! Lu mau rencana kita gagal?” hardik temannya dengan nada kesal.
“Lah, iya, lupa,” jawab pria itu dengan cengiran konyol, kemudian kembali ke dalam tenda sambil mengeluarkan ponselnya.
“Kebanyakan makan gorengan sih, lu,” gumam temannya, geleng-geleng kepala sebelum kembali sibuk dengan balon.
Sementara itu, Naima berada di pojok tenda, sibuk mengisi balon dengan udara. Tangan kurusnya juga cekatan memasukkan potongan kertas sparkling ke dalam balon-balon itu agar saat meletus nanti, suasana terlihat lebih meriah.
Naima melirik ke arah Susi yang sibuk menata balon-balon di meja. Gadis itu terlihat penuh semangat, seperti ini adalah hal paling penting di dunia saat ini. Naima menghela napas. Di satu sisi, ia tidak ingin merusak momen ini untuk yang lain. Tapi di sisi lain, pikirannya terusik oleh betapa sia-sianya semua ini, terutama jika tidak ada yang peduli dengan dampaknya.
Dengan perasaan bercampur aduk, Naima tetap melanjutkan tugasnya. Meski pikirannya dipenuhi kritik dan keraguan, ia tahu, kadang ikut serta lebih mudah daripada melawan arus.
"Woi, apa maksud lo, hah?!" teriak seseorang dari luar tenda, suaranya menggema tajam di udara pagi yang dingin. Semua orang yang berada di dalam tenda terdiam sejenak, terkesiap mendengar suara itu.
Tidak sulit menebak siapa pemilik suara tersebut. Itu adalah Malik, si lelaki yang sedang berulang tahun. Nada marah dalam suaranya cukup membuat suasana berubah tegang.
"Gw nggak tau ya, ternyata lo pengecut! Kalau lo suka sama cewek gue, bilang langsung! Jangan nikung dari belakang!" teriak lawannya, Rizal, dengan nada penuh emosi.
Keduanya terdengar seperti akan meledak kapan saja, mengundang perhatian seluruh pendaki yang ada di sekitar area kemah. Namun, semua orang di dalam tenda tahu bahwa ini hanyalah bagian dari skenario. Sebuah rencana yang telah disusun matang-matang oleh teman-teman Malik untuk membuat momen kejutan ulang tahunnya semakin seru.
Keributan ini dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian Malik. Beberapa pria segera keluar dari tenda, berpura-pura melerai pertikaian yang tampak memanas. Mereka melangkah dengan wajah serius, meski di dalam hati mereka sebenarnya ingin tertawa melihat ekspresi kebingungan Malik.
"Sudah, bro! Jangan di sini, malu dilihat orang lain!" seru salah satu dari mereka, berusaha memisahkan Malik dan Rizal yang pura-pura hendak saling serang. Malik hanya menatap Rizal dengan tatapan bingung dan geram, tidak menyadari bahwa ini semua hanyalah sandiwara.
Sementara itu, di dalam tenda, para perempuan sibuk dengan bagian mereka. Mereka bergegas menyiapkan kue ulang tahun dan balon yang telah didekorasi sedemikian rupa. Kegugupan terlihat di wajah mereka, takut rencana ini akan terbongkar sebelum waktunya.
"Siap, bawa kuenya sekarang," bisik salah satu gadis sambil memberi aba-aba pada yang lain.
Begitu keributan di luar mencapai puncaknya, dengan Malik yang sudah benar-benar kebingungan, para perempuan muncul dari tenda. Mereka berjalan perlahan, membawa kue ulang tahun yang menyala dengan lilin, serta balon-balon yang dihiasi kertas sparkling. Wajah mereka berseri-seri, siap memberikan kejutan yang telah direncanakan.
Ketika Malik akhirnya menyadari kehadiran mereka, semua orang yang ada di sekitar tenda, baik yang di dalam maupun di luar, serempak berteriak, "Happy birthday, Malik!"
Ekspresi bingung di wajah Malik berubah menjadi campuran antara lega dan tak percaya. Dia tertawa kecil, menyadari bahwa semua keributan tadi hanyalah bagian dari rencana mereka. Rizal, yang sebelumnya berteriak marah, kini tertawa paling keras, menepuk-nepuk bahu Malik dengan penuh kepuasan.
"Surprise, bro!" katanya sambil mengedipkan mata. "Gimana? Gue aktor yang hebat, kan?"
Malik hanya menggeleng-gelengkan kepala, tertawa kecil sambil mengusap wajahnya. "Gila, kalian benar-benar bikin gue panik setengah mati!" katanya, tetapi senyum di wajahnya menunjukkan bahwa dia sangat menghargai usaha teman-temannya.
Keramaian berubah menjadi sorakan gembira, dengan semua orang menyanyikan lagu ulang tahun sambil bertepuk tangan. Meski pagi di Dieng terasa dingin, suasana di sekitar tenda kini dipenuhi kehangatan dari kebersamaan mereka.
Naima berdiri di barisan belakang kerumunan, matanya hanya mengikuti kejadian itu tanpa benar-benar terlibat. Pertikaian antara Malik dan Rizal menakutkannya. Itu bukan sekadar pertengkaran biasa, tetapi kekerasan yang ia lihat dengan jelas. Malik dan Rizal, dua orang yang ia kenal, kini berdiri dalam keadaan terluka. Luka memar di wajah Malik yang sudah membiru, darah yang menetes dari sudut bibirnya, dan ekspresi Rizal yang masih tampak marah dan kesal—semua itu membuat hati Naima terasa berat.
Tatapan mata Naima tak sengaja bertemu dengan mata Malik. Lelaki itu tersenyum, sebuah senyuman yang tampaknya berusaha menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun bagi Naima, senyum itu terasa hampa. Hatinya tidak bisa terhubung dengan senyum itu. Tanpa berkata apa-apa, Naima memalingkan pandangannya dan menundukkan kepala, merasa semakin kecil di tengah keramaian ini.
Ia berdiri di barisan paling belakang, berusaha menyembunyikan dirinya dari perhatian. Tidak ingin menjadi pusat perhatian, tidak ingin terlihat. Biarlah semuanya berjalan sesuai rencana mereka, biarlah mereka merayakan kejutan ini—sementara Naima hanya menjadi penonton dalam perayaan yang tidak bisa ia nikmati.
Di dalam dirinya, ada perasaan hampa yang tak kunjung hilang, seolah ia sedang berada di tempat yang salah, dengan perasaan yang salah. Naima lebih memilih diam, tetap berada di sudut yang paling jauh, berharap agar dunia di sekitarnya bisa sedikit melambat, memberi ruang bagi dirinya untuk menarik napas dengan lebih tenang.
Matahari telah meninggi, menggantikan siluet jingga dengan langit biru cerah yang menghampar luas, sementara awan putih berarak perlahan. Suasana yang semula tenang kini dipenuhi tawa dan canda, dengan suasana kekeluargaan yang hangat. Seseorang membawa meja kecil untuk meletakkan kue ulang tahun yang sudah siap dibagikan.
"Potong kuenya dong, Malik," seru seseorang, menyela obrolan santai mereka.
"Iya nih, laper," balas yang lain, dengan semangat menunggu.
"Potongan pertama buat siapa nih?" tanya beberapa gadis, penasaran.
"Untuk bang Rizal," jawab Malik sambil tersenyum dan sedikit mengelus pipinya yang masih terasa sakit. "Ah, sakit banget pipi gw. Gw yakin sih bang Rizal mukul beneran, haha."
"Ya penonton kecewa," ucap seorang laki-laki, menanggapi dengan canda.
Malik, dengan karisma dan sikap ramahnya, selalu berhasil menarik perhatian. Wajahnya yang tegas namun tidak menutup kemungkinan untuk bersikap hangat membuatnya semakin mudah didekati. Tak heran kalau ulang tahunnya kali ini menjadi sorotan banyak orang.
"Sorry, gw kebawa peran," ucap Rizal, diselingi senyum ceria saat menerima potongan kue dari Malik.
"Lo mau potong sendiri aja ya," ujar Malik sambil mundur sedikit untuk memberi ruang.
"Oke, siap Malik," jawab Rizal dengan kompak, sambil mengambil giliran untuk memotong kue.
"Woy, yang mau merapat!" seru seseorang, menggugah perhatian orang lain yang masih berada di luar kerumunan.
"Aim, sini loe, jangan ngumpet mulu," ujar Rizal, melihat Naima yang berdiri jauh dari kerumunan.
"Wih, pohara!" Naima membalas dengan tawa jail sambil mendekat, akhirnya bergabung dengan yang lain dan mengantri kue ulang tahun.
"Kebiasaan ngumpet sih lo," ujar Rizal, mendekatkan potongan kue padanya. "Nih, ambil."
"Banyak banget," kata Naima, terkejut dengan banyaknya potongan yang diberikan Rizal.
"Ya biar puas," balas Rizal sambil tersenyum, kembali menuju kerumunan yang masih mengantri.
"Si belum dapet? Gw dapet banyak nih, haha, mau barengan," tawar Susi, sambil menyodorkan potongan kue pada Naima.
"Mantap," Naima menanggapinya sambil tertawa, merasa sedikit lebih ringan meskipun perasaan dalam dirinya masih membayangi.
Keramaian itu terus berlanjut, tawa dan canda memenuhi tenda. Namun, Naima merasa seolah-olah ada dinding yang membatasi dirinya dengan kebahagiaan sekitarnya. Meskipun begitu, ia masih mencoba menikmati momen itu, meski hatinya tak sepenuhnya ikut bersukacita.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak