Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan belas
Tanpa sadar Firda menahan nafasnya mendengar kelanjutan ucapan Abraham. Bagi Firda, sosok Abraham kini tak ayal hanyalah pria kaya raya dan berkuasa yang penuh dengan kekejaman tak terbantahkan.
"Tuan, ...." panggilnya dengan suara gemetar dan nada yang putus asa. Diam-diam sudut bibir Abraham berkedut menahan seringai menyeramkan yang hendak terbit, begitu menikmati reaksi lugu yang ditampilkan oleh gadisnya kini.
Firda adalah gadis polos... dan Abraham menyukainya. Menyukai bagaimana dirinya memiliki kendali dan kuasa untuk mempermainkan perasaan gadisnya. Firda yang saat ini terlihat cemas dan putus asa karenanya, seolah menjadi kesenangan tersendiri baginya.
Kesenangan yang menghantarkan perasaan asing. Yang dengan itu keinginan Abraham untuk memiliki gadis itu sepenuhnya, kini menjadi semakin meningkat. Hasratnya menggebu ingin segera memiliki gadisnya untuk dimonopoli buat dirinya sendiri. Dan keinginan teramat sangat untuk bisa secepatnya membubuhkan tanda kepemilikannya di atas tubuh gadis itu.
Menyudahi rasa kepuasan yang dia nikmati dalam dirinya sendiri, Abraham segera melirik ke arah salah satu pengawal dan memberinya isyarat melalui tatapan mata agar pria itu segera melaksanakan perintahnya.
Tanpa perlu repot-repot Abraham mengutarakan perintah, sang pengawal profesional itu sudah tahu keinginan sang tuan. Bergegas dia mengangguk menyanggupi, lalu segera keluar dari barisan.
Tujuan pengawal itu kini hanya satu, yaitu menemui pengawal pertama yang telah diperintahkan oleh Tuan Abraham lebih dulu untuk mengeksekusi tangan dan kaki Ella, lalu memintanya untuk membatalkan eksekusi itu sesuai perintah Tuan Abraham.
"Dengar baik-baik, Firda," ucap Abraham dengan sorot mata tajamnya, serta suaranya yang begitu rendah dan berat. "Kali ini permohonanmu akan kabulkan. Tapi jika hal seperti ini terjadi lagi di kemudian hari, aku benar-benar akan mengeksekusi siapa pun yang memegang posisi kepala pelayan di mansionku ini nantinya. Bahkan membunuhnya langsung tepat di depan matamu. Paham, sayang?"
Sreett
Tangan kekar Abraham menarik pergelangan kecil gadisnya hingga membuat tubuh ringkih itu mendekat kepadanya. Tatapan mata Abraham yang menyorot tajam bertemu dengan manik Firda yang berpendar lugu dan gemetar takut.
Air mata gadis itu berlinangan jatuh membasahi pipinya yang tirus. Ancaman Abraham terdengar begitu menyeramkan di telinganya, membuat keberaniannya yang tersisa benar-benar lenyap tak berbekas lagi menghadapi pria gila dan kejam di hadapannya yang dengan seenaknya akan mempersunting dirinya secara paksa.
Membayangkan seseorang dibunuh tepat di depan matanya saja, Firda benar-benar tak sanggup. Apalagi jika kejadian itu sungguhan terjadi.
"Paham, sayang?" Abraham mengulangi kembali pertanyaannya satu kali, mendesak gadisnya yang kini telah menangis ketakutan untuk segera menjawab pertanyaannya.
Firda merasakan tekanan dan beban berat menghimpit tubuh ringkihnya. Di hari pertama Firda tinggal di mansion ini, pria itu sudah memberikan tekanan mental yang begitu keji pada sosok gadis lemah dan tak berdaya sepertinya.
Firda ingat jelas ancaman pria itu sebelumnya bahwa ia tak suka mengulang kembali kalimat yang sudah ia lontarkan. Dan baru saja Firda membuat pria itu mengulangi pertanyaannya. Fakta itu membuat sekujur tubuh Firda gemetar hebat tak bisa dikendalikan.
"P-Paham," jawab Firda dengan suara lirih nan halus. Kepalanya mengangguk kuat hingga membuat surai indah rambutnya yang panjang bergoyang ke sana dan ke mari.
Hal itu sebagai isyarat dan tanda bahwa dirinya akan menanamkan peringatan-peringatan yang Abraham berikan dengan sebaik mungkin dalam otaknya. Bahwa jika Firda merasa kelaparan di mansion ini, maka akan ada kepala pelayan yang harus menjadi korbannya.
Sampai kapan pun Firda tidak akan melupakan itu. Mulai sekarang dirinya akan camkan baik-baik dalam otaknya bahwa selama ia tinggal di mansion ini, ia tidak boleh kelaparan. Karena jika tidak, maka akan ada orang lain yang menjadi korban atas keteledoran dirinya.
"Jangan menangis, sayang," pinta Abraham dengan lembut sambil mengusap air mata yang mengalir deras di pipi gadisnya menggunakan tangan kasarnya yang besar dan kekar.
Namun, suara lembut yang keluar dari bibir Abraham justru sama sekali tidak terdengar seperti permintaan bernada lembut kepada seorang gadis, melainkan lebih terdengar seperti perintah bernada ancaman yang harus dipatuhi.
Alih-alih membuat gadisnya berhenti menangis, yang ada air mata itu justru mengalir semakin deras tak terhentikan.
Abraham sontak tertawa pelan. "Kamu nggak dengar kata-kataku ya, Firda? Aku suruh kamu berhenti menangis, kenapa air mata ini malah jatuh semakin deras seperti air terjun hm?"
Tawa pelan Abraham dan fakta bahwa pria itu lagi-lagi mengulang kembali perkataannya kepada Firda membuat gadis itu semakin ketakutan. Tuan Abraham telah memperingatinya dengan jelas bahwa ia tak suka mengulang-ulang perkataannya, tapi kini Firda telah membuat pria itu melakukan hal itu sebanyak dua kali.
Alhasil fakta-fakta itu membuat tawa pelan Abraham tidak lagi terdengar seperti sekedar lelucon di telinga Firda. Ia justru menganggap tawa itu tak lebih seperti pertanda bahwa Tuan Abraham kini tengah menahan amarahnya kepada Firda.
"Maaf, Tuan, j-jangan marah," pintanya dengan suara lirih.
Namun, seberapa keras pun usaha Firda untuk menahan air matanya agar tidak lagi jatuh, semuanya tak membuahkan hasil. Yang ada tangisannya semakin mengucur deras tak terkendali. Hal itu membuat rasa panik dan takut semakin menggerogoti jiwa gadis itu.
"A-Aku ... T-Tuan j-jangan marah. Air mataku nggak mau berhenti. A-Aku nggak bisa menghentikannya, dia... dia mengalir sendiri," ucapnya terisak-isak hingga suaranya tak dapat lagi terdengar dengan jelas.
Abraham terkekeh pelan karena ucapan polos dan lugu yang diucapkan gadisnya barusan. Namun, kekehan Abraham justru memberikan persepsi menyeramkan dalam diri Firda. Ketakutan semakin menguasai jiwa dan raganya hingga melumpuhkan sendi-sendi gadis itu.
Abraham memandang Firda dengan tatapan tajam namun penuh kekhawatiran. “Ikut aku,” perintahnya singkat.
Firda hanya bisa menunduk dan mengikuti langkah Abraham yang lebar menuju ruang makan. Namun, karena kakinya gemetaran, ia harus melangkah terseok-seok mengimbangi langkah lebar Tuan Abraham. Hal itu membuat Abraham tak sabar hingga dia langsung menyentak tubuh ringkih gadisnya, dan membawanya ke dalam gendongannya.
Firda sontak langsung menjerit pelan karena merasa terkejut.
Setibanya di ruang makan, suasananya sudah berubah. Meja panjang di ruangan mewah itu dipenuhi oleh berbagai macam makanan. Aroma masakan memenuhi udara, membuat Firda yang sejak tadi merasa lemas langsung tersentak oleh bau yang menggugah selera.
Abraham menarik kursi untuknya, lalu mendudukkan Firda di sana. “Duduk,” selanya dengan tajam saat melihat gadisnya hendak kembali berdiri.
Firda ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut. Dia duduk dengan gerakan kaku, merasa tak pantas berada di ruangan sebesar ini, apalagi menikmati hidangan yang terlihat begitu mewah.
“Apa yang kamu inginkan untuk makan malam ini?” tanya Abraham, suaranya sedikit lebih lembut, tetapi tetap terdengar tegas.