NovelToon NovelToon
VARIOUS LOVES

VARIOUS LOVES

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Terlarang / Bad Boy
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.

Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.

Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.

Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masalah

Setibanya di kantor, Revan segera merapikan jasnya, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah ke ruang kerja ayahnya. Aura tegang sudah terasa sejak ia membuka pintu.

“Revan! Dari mana saja kamu?!” suara berat dan tajam ayahnya menggema, menusuk telinga.

Di balik meja kayu besar, pria paruh baya dengan rambut yang sebagian memutih berdiri tegak. Wajahnya penuh amarah, matanya memancarkan kekecewaan yang tak disembunyikan.

Revan menghela napas, menahan diri untuk tidak membalas dengan nada yang sama. “Ayah, aku tahu Ayah tidak suka dengan caraku mengambil keputusan belakangan ini, tapi aku punya alasan.”

“Alasan?” Ayahnya mendengus sinis, tangannya mengepal di atas meja.

“Alasan apa yang cukup untuk mengabaikan tanggung jawabmu? Kau bahkan tidak hadir di pertemuan penting dengan klien terbesar kita tadi! Apa kau tahu betapa memalukannya itu?”

“Aku di rumah sakit,” jawab Revan tegas namun tetap tenang, matanya menatap lurus ke arah ayahnya.

“Rumah sakit?” nada suara ayahnya meninggi, penuh ejekan dan amarah. “Lagi-lagi Nadira!”

Revan mengepalkan tangan, berusaha keras mengendalikan dirinya.

“Kau mengorbankan semuanya demi seorang wanita yang berpenyakitan!” lanjut ayahnya, suara semakin tajam seperti pisau.

“Apa kau lupa siapa dirimu? Kau pewaris keluarga ini, Revan! Tanggung jawabmu adalah perusahaan, masa depan kita! Kau tidak bisa terus bertindak sembarangan seperti ini!”

Kata-kata itu menampar Revan, tapi ia tetap berdiri kokoh, tatapannya tidak goyah.

Dalam hatinya, kemarahan berkecamuk, tetapi ia tahu berdebat dengan emosi hanya akan memperburuk keadaan.

Setelah menghela napas panjang, ia akhirnya berkata dengan suara yang dalam namun penuh ketegasan.

“Ayah, aku tidak melupakan siapa diriku. Aku tahu apa yang harus aku jaga. Tapi Nadira... dia bukan sembarang orang. Dia berarti banyak untukku. Jika Ayah tidak bisa memahami itu, maka biarkan aku yang menghadapinya, dengan cara yang menurutku benar.”

Ayahnya tertawa sinis, suaranya penuh ejekan yang mengiris udara. Ia melangkah mendekati Revan, berdiri hanya beberapa langkah di depannya, menatap putranya dengan sorot tajam yang menusuk.

“Benar? Cara yang menurutmu benar? Revan, kau masih terlalu naif. Hidup ini tidak sesederhana mengikuti kata hati!” katanya, suaranya dingin namun tetap penuh tekanan.

Revan tidak bergeming. Ia berdiri tegak, menahan pandangan ayahnya yang mencoba mendominasi.

“Jika kau terus bertindak seperti ini, apa yang akan kau korbankan selanjutnya, hah?” Ayahnya melanjutkan, suaranya semakin tajam.

“Masa depanmu? Nama baik keluarga ini? Kau pikir itu semua tidak penting? Kau pikir hidup hanya tentang perasaan?”

Revan mengepalkan tangan lebih erat, tapi ia menahan diri untuk tidak meledak. Dengan napas yang sedikit berat, ia menjawab, suaranya tetap tenang, meski ada nada emosi yang tertahan.

“Bukan itu, yah. Aku tahu tanggung jawabku pada perusahaan, pada keluarga ini. Tapi aku juga punya tanggung jawab sebagai manusia, sebagai seseorang yang peduli pada orang lain. Nadira bukan hanya seseorang yang aku kenal begitu saja. Dia... dia bagian dari hidupku.”

Ayahnya mendengus, ekspresi wajahnya seakan mengejek. “Bagian dari hidupmu? Dan karena itu kau rela menghancurkan semua yang sudah dibangun keluargamu selama ini? Kau tahu berapa banyak orang yang bergantung pada perusahaan ini? Berapa banyak nyawa yang akan terkena dampaknya jika kau terus bertindak bodoh seperti ini?”

Revan menggeleng pelan, matanya tetap lurus menatap ayahnya. “Aku tidak akan menghancurkan apa pun, yah. Aku tidak seceroboh itu. Tapi jika menjaga Nadira berarti aku harus berjuang lebih keras untuk menyeimbangkan semuanya, aku akan melakukannya. Dan aku mohon... pahami ini. Aku hanya ingin melakukan yang benar, tanpa kehilangan jati diriku.”

Ruangan itu hening sejenak, hanya terdengar napas berat kedua pria tersebut. Ayahnya menatap Revan dengan sorot yang sulit diterjemahkan, seolah sedang mencoba menilai keteguhan hati putranya.

“Ayah,” Revan melanjutkan, suaranya melembut, tapi tetap penuh keyakinan.

“Aku tahu Ayah ingin yang terbaik untukku, dan aku menghargai itu. Tapi terkadang... yang terbaik itu bukan hanya tentang tanggung jawab keluarga atau bisnis. Ada hal-hal yang lebih besar, lebih penting, yang harus aku pertahankan. Dan bagi aku, Nadira adalah salah satunya.”

Wajah ayahnya mengeras, tapi kali ini ia tidak langsung merespons. Ia membuang napas panjang, berbalik kembali ke meja, dan menatap jendela besar di belakangnya, memandangi kota yang terlihat sibuk di kejauhan.

“Ayah tidak akan mengerti sekarang,” Revan menambahkan pelan.

“Tapi suatu saat, Ayah akan tahu kenapa aku melakukan ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Revan melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan ayahnya dalam keheningan yang berat, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Revan melangkah keluar dari ruangan ayahnya dengan langkah yang terlihat tenang, meski dalam hatinya gejolak masih berkecamuk.

Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tidak bisa ia bagikan kepada siapa pun.

Saat melewati koridor kantor, ia tetap menjaga sikapnya. Beberapa karyawan yang masih bekerja menyapanya dengan sopan.

"Malam, Pak Revan," ucap Della, asistennya, yang sedang bersiap-siap pulang sambil merapikan beberapa dokumen.

Revan mengangguk kecil tanpa berhenti. "Malam," jawabnya singkat, suaranya hampir tidak terdengar. Ia terus berjalan menuju lift tanpa menoleh.

Della memandang punggungnya yang menjauh, keningnya berkerut. Ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa dari sikap Revan.

Wajahnya terlihat lebih tegang dari biasanya, seperti sedang memikul masalah besar.

Beberapa saat kemudian, Sila, seorang staf di departemen administrasi, berjalan melewati Della sambil membawa beberapa berkas.

"Eh, Sila," panggil Della, menghentikan langkahnya.

"Iya, Mbak Della?"

"Kamu tahu kenapa Pak Revan seperti itu? kelihatan... Lagi kesel gitu, kusut lagi," tanya Della penasaran.

Sila mengangkat bahu, namun suaranya merendah saat menjawab, seolah takut terdengar orang lain. "Tadi saya dengar, Pak Revan habis dimarahi Pak Darto di ruangan."

"Pak Darto? Waduh... pasti tentang perusahaan lagi," gumam Della, mencoba mencerna informasi itu.

Sila menambahkan sebelum berlalu, "Iya. Tapi saya dengar-dengar sih, masalahnya bukan cuma perusahaan. Mungkin... Soal wanita, karena tadi saya kurang merhatiin."

Della terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Sila. Meski informasi yang didapatnya tidak sepenuhnya jelas, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar urusan perusahaan.

"Masalah wanita?" gumam Della pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menatap ke arah lift yang kini telah tertutup, membawa Revan ke lantai bawah.

Sila, yang sudah bersiap pergi, menoleh sebentar. “Iya, Mbak. Tadi saya cuma dengar sepintas, sih. Tapi kayaknya ada hubungannya sama orang itu. Saya nggak tahu banyak, tapi... ya, saya rasa Mbak Della pasti lebih ngerti.”

Della hanya tersenyum tipis, tidak memberikan komentar apa-apa. Sila pun segera berlalu, meninggalkan Della sendirian di koridor.

Pikiran Della mulai berkelana. Ia memang tahu cukup banyak tentang Nadira, wanita yang sering disebut-sebut sebagai "beban" bagi Revan, terutama di mata keluarganya.

Tapi bagi Della, wanita itu lebih dari sekadar cerita kantor. Beberapa kali ia melihat bagaimana perhatian Revan terhadap Nadira, bagaimana caranya selalu menyempatkan waktu, bahkan di tengah kesibukan yang menumpuk.

Namun, hari ini Revan terlihat berbeda. Biasanya, meski banyak tekanan, ia tetap mampu menjaga sikap tenang dan profesional. Tapi malam ini... langkahnya tampak berat, dan sorot matanya kosong.

“Kenapa kamu begitu keras kepala, Revan?” bisik Della pelan, sambil menatap ke arah lift. Ia tidak bisa memungkiri rasa khawatir yang muncul.

Della menghela napas panjang, menepuk ringan pipinya sendiri untuk mengusir pikiran itu.

“Sudahlah, bukan urusanku,” gumamnya sambil kembali merapikan dokumen.

Namun, di sudut hatinya, ada keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Sementara itu, di dalam lift, Revan berdiri diam, menatap angka-angka yang turun perlahan. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang percakapan dengan ayahnya, tanggung jawabnya pada perusahaan, dan yang paling besar, tentang Nadira.

“Apa aku benar-benar terlalu egois?” pikirnya dalam hati. Tapi setiap kali pertanyaan itu muncul, bayangan Nadira selalu hadir, mengingatkannya bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ia tinggalkan, tidak peduli sebesar apa pun konsekuensinya.

Saat pintu lift terbuka, Revan menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Baginya, malam ini belum selesai, dan ia tahu masih ada banyak hal yang harus dihadapi.

Setelah keluar dari gedung kantor, Revan memutuskan untuk tidak langsung pulang. Malam itu, ia merasa butuh tempat untuk melepaskan semua beban yang terus menghimpitnya sejak pagi.

Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Tak lama, sebuah pesan balasan masuk:

"Kita tunggu di tempat biasa, bro. Lu oke?"

Revan tidak menjawab. Ia hanya memasukkan ponselnya ke saku, lalu masuk ke dalam mobil, melaju dengan cukup kencang.

**********

Bar & Lounge "Stellar Nights"

Revan melangkah masuk ke tempat itu, suara musik jazz lembut mengisi ruangan. Lampu-lampu temaram memberikan suasana yang sedikit menenangkan. Beberapa temannya sudah duduk di sudut ruangan, meja mereka dipenuhi dengan beberapa gelas dan botol minuman, sekaligus rokok.

“Revan! Akhirnya datang juga,” ujar Daniel, salah satu teman lamanya, sambil mengangkat gelas.

Revan hanya tersenyum tipis, lalu duduk di kursi kosong di samping mereka. Seorang pelayan datang, dan tanpa berkata banyak, Revan memesan segelas whiskey.

“Ada apa, bro? Lu kelihatan kusut bener,” tanya Arman, teman lain yang duduk di depannya.

Revan mengambil gelas yang baru saja diantar pelayan, meneguk seteguk tanpa menjawab. Rasanya hangat, membakar tenggorokannya, tetapi itu lebih baik daripada harus memikirkan kembali apa yang terjadi di kantor tadi.

“Biasa,” jawab Revan akhirnya, dengan suara pelan. “Masalah keluarga, bisnis... dan Nadira.”

Daniel dan Arman saling bertukar pandang. Mereka sudah sering mendengar nama itu dari Revan.

“Lu serius banget sama cewek itu?” tanya Daniel, nada suaranya setengah bercanda tapi juga penuh rasa ingin tahu.

Revan meletakkan gelasnya dengan sedikit keras di meja, membuat Daniel terkejut. “Gue nggak main-main, Dan. Nadira bukan cuma... seorang cewek buat gue.”

Arman menyandarkan punggungnya ke kursi, menarik napas panjang. “Tapi gue ngerti kenapa bokap lu kesel. Lu tahu kan, Van, dunia kita ini beda. Kadang kita harus milih apa yang lebih penting, dan...”

“Dan gue udah milih,” potong Revan dengan suara tegas. Matanya menatap Arman, dingin tapi penuh keyakinan.

“Gue tahu tanggung jawab gue, tapi itu nggak berarti gue harus ninggalin orang yang gue sayang.”

Suasana di meja itu menjadi hening. Daniel dan Arman tidak ingin memancing lebih jauh, tetapi mereka juga tidak bisa sepenuhnya memahami keputusan Revan.

Setelah beberapa saat, Daniel akhirnya membuka suara. “Lu tahu apa yang lu lakuin, kan? Dunia bisnis nggak punya ruang untuk kelemahan, Van. Apalagi untuk hal-hal kayak gini.”

Revan hanya menatap gelasnya, memutar-mutar isinya dengan pelan.

“Gue udah lama hidup sesuai aturan mereka,” jawabnya.

“Sekarang gue cuma mau hidup sesuai aturan gue sendiri.”

Daniel mengangkat gelasnya, memberikan senyuman samar. “Fair enough, bro. Gue nggak ngerti lu sepenuhnya, tapi kalau itu bikin lu bahagia, gue dukung.”

Arman menghela napas, lalu mengangkat gelasnya juga. “Ya udah, kalau lu udah mutusin begitu, semoga lu nggak nyesel, Van.”

Revan hanya mengangguk pelan, lalu meneguk minumannya lagi. Malam itu, meski ia bersama teman-temannya, pikirannya tetap melayang jauh, kepada Nadira, kepada ayahnya, dan kepada pertarungan besar yang menantinya di hari-hari mendatang.

1
Cevineine
lanjut yaa, aku gift biar makin semangat😊
WikiPix: sabar, ya. lagi proses.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!