NovelToon NovelToon
Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Status: sedang berlangsung
Genre:TimeTravel / Sistem / Epik Petualangan / Dendam Kesumat / Pulau Terpencil
Popularitas:352
Nilai: 5
Nama Author: Deni S

Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.

Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.

Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Teror Kutukan V2

Sesampainya mereka di depan rumah Tetua Adat, Djaya, menghadang mereka di pintu. Wajahnya tidak ramah, seperti biasa, tapi kali ini tatapan matanya lebih tajam. “Apa urusan kalian dengan Ayahku?”

Pak Kades pun memasang badan lalu menunduk hormat, "Izinkan kami menemui Tetua Adat. Ada hal yang ingin kami tanyakan padanya,"

Sikap ramah Pak Kades hanya membuat Djaya muak, "Untuk apa? Tidak ada lagi yang perlu kalian tahu tentang Desa ini dari Ayahku!"

Ekot, yang merasa sangat terdesak untuk mendapatkan jawaban, tiba-tiba saja berlutut di depan Djaya. “Tolong, bantu kami. Kutukan ini sudah terlalu jauh. Kami butuh jawaban, dan hanya ayahmu yang bisa membantu.”

Pak Kades dan warga jelas tidak menduga dengan sikap Ekot. Karena bagaimana pun Ekot seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa.

Melihat ketulusan Ekot yang tak terduga, Djaya terdiam sejenak. Wajahnya yang keras mulai melunak, dan tanpa berkata ia pun membuka pintu rumah, membiarkan mereka semua bertemu dengan ayahnya.

Di dalam rumah, mereka berdiri di hadapan Tetua Adat yang duduk dengan tenang di kursinya. Pak Kades, dengan nada penuh harap, meminta izin untuk mendengar informasi dari Tetua Adat. “Aku Ketua Desa, izin menghadap Petua. Kami ingin bertanya tentang adat leluhur. Apakah benar, kami telah menyimpang dari adat yang seharusnya?Sehingga membuat leluhur begitu murka.”

Tetua Adat, yang biasanya dingin, tampak sedikit melunak. Ia menatap mereka semua, lalu mengangguk perlahan. “Baiklah, aku akan ceritakan apa yang aku tahu. Puluhan tahun lalu, desa ini sangat damai dan tentram. Saat itu. Ayahku, pemimpin desa. Selalu meminta warga untuk melakukan sesembahan kepada leluhur setiap tahun. Mereka membawa hasil bumi dan meletakkannya di gua sebagai tanda hormat.”

Tetua Adat melanjutkan, “Namun, seiring berjalannya waktu, warga mulai terlena oleh kedamaian. Mereka melupakan sesembahan itu, dan leluhur merasa dilupakan. Karena itulah, desa ini mulai didera kutukan.”

Pak Kades dan yang lain kini memahami sumber kutukan itu. Mereka segera bertanya, “Apakah kita masih bisa menebus kesalahan ini? Apa yang harus kami lakukan?”

Tetua Adat mengangguk pelan. “Jika kalian ingin melakukan sesembahan pada leluhur, pergilah ke gua yang ada di hutan. Letakkan hasil bumi terbaik kalian di sana. Dengan harapan, leluhur akan memaafkan desa ini.”

Mendengar itu, Pak Kades dan warga yang lain merasa seperti mendapatkan secercah harapan. Mereka berterima kasih kepada Tetua Adat atas penjelasannya. Pak Kades bersumpah, mulai saat ini, mereka akan mengembalikan desa pada adat leluhur, agar kutukan ini bisa diakhiri.

Selesai dari sana, mereka pun kembali ke rumah Pak Kades dengan tekad bulat untuk memulai ritual yang telah lama dilupakan, demi menyelamatkan Desa Mola-Mola dari kutukan yang menghantuinya.

Pak Kades baru saja tiba di halaman depan rumahnya. Wajahnya penuh dengan tekad setelah mendengar penjelasan dari Tetua Adat. Ia berbalik dan menatap Pak Mantir dan Ekot yang berdiri di dekatnya.

“Mantir, Ekot,” suaranya tegas. “Segera kumpulkan semua warga di sini. Kita harus bertindak cepat.”

Pak Mantir langsung mengangguk, raut wajahnya penuh semangat. “Baik Pak Kades. Saya akan segera berkeliling desa.”

Ekot juga menyahut cepat, “Saya akan bantu Pak Mantir, kami akan pastikan semua warga berkumpul secepatnya.”

Tanpa menunggu lama, Pak Mantir dan Ekot segera menyebar ke penjuru desa, memanggil para warga. Semangat dan harapan baru terasa di antara mereka, seolah-olah jawaban yang selama ini mereka cari sudah berada di depan mata. Kini, tinggal bagaimana mereka semua bersatu untuk melaksanakan apa yang telah diinstruksikan oleh leluhur, demi menghentikan kutukan yang menimpa Desa Mola-Mola.

Beberapa jam kemudian, Ekot kembali dengan langkah cepat, wajahnya berkeringat namun penuh kepuasan. Ia mendekati Pak Kades yang duduk di teras depan rumah, terlihat tengah memikirkan langkah berikutnya.

“Pak Kades,” ujar Ekot sambil sedikit terengah, “Warga sudah dalam perjalanan. Sebentar lagi mereka tiba.”

Pak Kades menoleh, mengangguk pelan. “Bagus Ekot. Terima kasih.”

Tak lama kemudian, dari kejauhan terlihat beberapa warga mulai berdatangan. Satu per satu, mereka berkumpul di depan rumah Pak Kades, membawa wajah-wajah penuh harap dan kekhawatiran. Pak Rumbun, Pak Janjan, dan banyak warga lainnya mulai berkumpul, bisik-bisik dan percakapan kecil terdengar di antara mereka.

Pak Kades berdiri dari duduknya, memandang kerumunan yang semakin padat. Ia tahu, inilah saatnya untuk berbicara pada seluruh desa—untuk memberi mereka harapan dan rencana baru demi menyelamatkan desa dari kutukan yang telah merenggut terlalu banyak. Ekot berdiri di sampingnya, bersiap jika dibutuhkan.

"Semua sudah berkumpul," ujar Ekot dengan suara rendah.

Pak Kades berdiri tegak di hadapan warga yang semakin hening, semua mata tertuju padanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara dengan suara lantang.

“Saudara-saudaraku sekalian, terima kasih telah berkumpul di sini,” ucapnya, suaranya menggema di antara kerumunan. “Hari ini, saya dan beberapa dari kita baru saja kembali dari pertemuan dengan Tetua Adat. Kami telah mencari jawaban, solusi untuk menghentikan kutukan yang telah merenggut anak-anak kita, kehormatan mereka, dan kedamaian desa ini.”

Beberapa warga mulai saling berbisik, menanyakan satu sama lain apa yang dikatakan oleh Pak Kades. Mereka tampak gelisah, bertanya-tanya apa yang harus dilakukan untuk menghentikan bencana ini.

Pak Kades melanjutkan dengan nada lebih tegas, “Tetua Adat telah memberitahu kita bahwa leluhur kita sedang murka karena kita melupakan adat dan tradisi yang selama ini menjaga kedamaian desa. Inilah sebabnya kutukan itu datang!”

Warga mulai berbisik semakin kencang, wajah-wajah penuh rasa takut dan kekhawatiran mulai terlihat. Namun, di antara mereka juga tampak seberkas harapan, berharap ada solusi yang bisa menyelamatkan mereka.

“Tapi jangan khawatir,” lanjut Pak Kades, menghentikan bisik-bisik warga. “Kita masih punya harapan! Untuk menghentikan kutukan ini, kita harus kembali melakukan tradisi lama. Kita harus segera mengumpulkan hasil bumi kita, makanan dan persembahan untuk dibawa ke gua leluhur di dalam hutan. Di sanalah, kita akan meminta maaf dan memohon agar leluhur kita berkenan mengampuni kita.”

Kerumunan warga terdiam, mencerna kata-kata itu. Lalu, secara perlahan, satu demi satu mulai bersuara, menyatakan kesediaan mereka.

"Ini adalah kesempatan kita!" seru salah satu warga. "Kita bisa menghentikan kutukan!"

"Ayo kita lakukan! Demi anak-anak kita!" teriak warga lain yang disambut gemuruh persetujuan dari yang lain.

Pak Kades tersenyum kecil melihat reaksi mereka, merasa lega karena warga mau bergerak bersama. “Kita harus bersatu. Segera kumpulkan hasil bumi kalian, dan kita akan mengirimkannya sebagai persembahan.”

Dengan antusias, warga mulai bersiap-siap. Mereka meninggalkan rumah Pak Kades dengan semangat baru, membicarakan apa yang harus dipersembahkan. Pak Kades dan Ekot saling pandang, tahu bahwa ini adalah langkah pertama dalam usaha mereka mengembalikan kedamaian di Desa Mola-Mola.

****

Suasana desa yang biasanya sunyi, kini penuh dengan kesibukan. Di setiap sudut desa, terlihat warga yang bergerak cepat, saling membantu dan berdiskusi tentang apa yang akan mereka persembahkan. Anak-anak, ibu-ibu, dan para lelaki desa semua tampak sibuk dengan tugas masing-masing.

Beberapa pria tampak berjalan menuju kebun dengan cangkul di tangan mereka, menggali ubi dan memetik jagung yang akan dijadikan persembahan. Pak Janjan dan beberapa petani lainnya sibuk mengumpulkan hasil tani, sementara di sudut lain, kelompok pemburu bersiap memasuki hutan, membawa tombak dan busur untuk berburu hewan yang akan dipersembahkan.

Balawa, salah satu pemuda yang tidak biasanya ikut dalam kegiatan desa, kali ini juga terlihat ikut membantu. Ia bersama Empong membawa keranjang besar berisi buah-buahan dari ladang mereka.

“Cepat! kita harus segera ke hutan sebelum hari gelap!” seru Nanjan yang berdiri di dekat pintu hutan dengan semangat membara.

Di tempat lain, ibu-ibu desa tampak mempersiapkan makanan dan minuman untuk dibawa ke gua leluhur. Beberapa di antara mereka saling bertukar kata dengan cemas, membicarakan tentang kutukan yang telah merenggut ketenangan desa mereka.

“Semoga leluhur benar-benar menerima persembahan ini dan mengampuni kita,” ucap salah satu ibu dengan nada khawatir.

Ibu Aalona menepuk bahu ibu itu, berusaha menenangkan. “Lakukan apa yang kita bisa, dan kita akan lihat hasilnya. Yang penting sekarang kita bersatu.”

Sementara itu, Ekot dan Pak Kades memantau persiapan warga dari kejauhan. Mereka berdiri di depan balai desa, mengamati semangat warga yang telah bangkit.

“Sepertinya mereka sudah siap,” kata Ekot dengan pandangan tajam.

Pak Kades mengangguk, merasa puas. “Ini adalah momen penting bagi kita semua Ekot. Semoga setelah ini, desa akan kembali damai, seperti sedia kala.”

Desa Mola-Mola kini berubah menjadi desa yang penuh aktivitas, semua warga bertekad mempersembahkan yang terbaik untuk menyelamatkan desa mereka dari kutukan yang telah menghantui kehidupan mereka selama ini.

Di dalam sebuah rumah sederhana, suasana yang sebelumnya muram perlahan berubah. Lisa duduk di sudut ruangan, wajahnya yang pucat tampak mulai menunjukkan sedikit cahaya harapan. Ibu dan ayahnya, Pak Janjan dan Bu Alezza, mendekat dengan senyum di wajah mereka.

“Lisa. Para warga sedang mempersiapkan sesuatu untuk melawan kutukan ini,” kata ayahnya pelan, mencoba menyampaikan kabar baik itu dengan lembut.

Bu Alezza mengangguk, matanya berbinar. "Mereka sedang mengumpulkan hasil bumi untuk dipersembahkan kepada leluhur. Akhirnya, ada harapan untuk desa ini."

Lisa mendengarkan dengan seksama, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, bibirnya mengulas senyum kecil. “Aku ingin ikut membantu,” ucapnya dengan suara lembut namun penuh tekad.

Mendengar itu, Bu Alezza langsung terisak haru. “Tentu sayang. Tentu saja kamu bisa ikut membantu!” katanya seraya memeluk putrinya dengan penuh kebahagiaan.

Pak Janjan tersenyum lebar, wajahnya yang tadinya penuh kecemasan kini seolah dibasuh oleh harapan baru. “Ayo kita ke ladang. Kita ambil hasil bumi terbaik dari tanah kita untuk persembahan.”

Lisa berdiri dengan semangat yang baru. Meskipun langkahnya masih lemah, tekadnya kuat. Mereka bertiga pun berjalan menuju ladang, matahari sore yang lembut menemani langkah mereka. Harapan mulai hidup kembali di hati keluarga itu, seiring persiapan mereka untuk melawan kutukan yang menghantui desa Mola-Mola.

Sore itu, halaman depan rumah Pak Kades penuh dengan warga yang datang membawa berbagai macam hasil bumi. Ada yang membawa padi, buah-buahan, sayuran, bahkan beberapa warga yang habis berburu membawa hasil tangkapan mereka. Suasana desa Mola-Mola yang selama ini diselimuti oleh ketakutan kini dipenuhi semangat dan harapan baru.

Pak Mantir dan Pak Rumbun tampak sibuk membantu warga mengatur barang-barang yang akan dijadikan persembahan. Ekot berdiri di samping Pak Kades, mengawasi segala persiapan dengan wajah serius, tapi penuh harapan.

Lisa dan orang tuanya pun tiba. Di tangan Lisa tergenggam erat sekeranjang hasil bumi dari ladang mereka, wajahnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Ibu dan ayahnya berdiri di sampingnya, senang melihat putri mereka mulai pulih.

Warga saling berbisik dan bersemangat satu sama lain. “Akhirnya ada solusi,” terdengar seorang warga berkata. “Semoga leluhur menerima persembahan kita dan menghapus kutukan ini.”

Pak Kades memandang semua warga yang telah berkumpul. Dengan suara lantang ia berkata, “Terima kasih warga desa, atas kerjasama kalian. Hasil bumi yang kita kumpulkan hari ini akan kita bawa bersama-sama ke gua leluhur. Ini adalah langkah kita untuk meminta maaf dan berharap desa kita bebas dari kutukan.”

Sorak gembira terdengar dari warga yang penuh harapan. Kini mereka siap untuk berangkat, membawa persembahan yang akan menjadi penentu nasib desa mereka.

Ekot berdiri di samping Pak Kades, matanya mengamati satu per satu warga yang tengah sibuk dengan persiapan mereka. Rasa haru menyelimuti hatinya saat melihat Lisa, Rina, dan beberapa korban lainnya turut serta. Mereka tersenyum tipis, meski bekas luka di hati mereka masih terasa. Namun kehadiran mereka di sini, berpartisipasi dalam ritual yang diharapkan mampu menghapus kutukan, adalah tanda keberanian.

Lisa, yang sebelumnya tertunduk dalam penderitaan, kini tampak sibuk dengan hasil bumi yang dibawanya. Sesekali ia berbincang dengan warga lain, dan meski wajahnya belum sepenuhnya cerah, ada semangat yang mulai pulih.

Rina, yang terlihat lebih pendiam, berdiri di samping ibunya. Meski masih terlihat lemah, kehadirannya menjadi simbol bahwa mereka belum menyerah.

Ekot menarik napas dalam-dalam. Perasaannya bercampur aduk antara harapan dan rasa bersalah. Ia ingin sekali mengucapkan sesuatu pada mereka, sekadar menyemangati atau meminta maaf, namun ia memilih untuk tetap diam. Biarlah semuanya mengalir, biarlah mereka menemukan kekuatan mereka sendiri tanpa tekanan apa pun.

Pak Kades melirik Ekot sejenak, seolah tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tanpa kata, ia menepuk bahu Ekot pelan, memberi tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Ekot hanya mengangguk kecil. Di dalam hatinya, ia berjanji akan terus menjaga desa ini, terutama mereka yang telah menjadi korban, hingga kutukan ini benar-benar sirna.

1
Muslimah 123
1😇
Delita bae
salam kenal jika berkenan mampir juga👋👍🙏
Delita bae: iya , mksh semangat ya 😇💪👍🙏
Msdella: salam kenal kak.. wih banyak karyanya kak.. nnti aku baca juga kak
total 2 replies
miilieaa
haloo kak ..sampai sini ceritanya bagus kak
lanjut nanti yah
Msdella: Hallo.. Terima kasih kak.. Siap, kak. nanti saya update sampe tamat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!