Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Dan Air Mata
Malam mendadak berwajah muram mencekam, awan hitam berarak berkumpul pada satu titik dimana sebongkah hati manusia sedang di liputi oleh rasa traumatis yang teramat besar.
Samar-samar, suara gemuruh di langit menggambarkan getaran yang sedang menguasai tubuh seorang perempuan, yang kini tengah berdiri membeku. Di dalam pikirannya sedang berkecamuk antara dua pilihan. Maju atau mundur? mumpung pria yang sedang berada ada di dalam mobilnya itu nampaknya belum meninggalkan tempat ini. Haruskah ia kembali dan meminta Devan membawanya pergi?
Namun, belum sempat Anna menetapkan satu pilihan, Alia— Ibunya, sudah terlebih dahulu menentukan pilihannya sendiri, untuk segera membawa anak perempuannya itu dengan kesabaran yang tidak pernah ada, hanya emosi yang menjadi pegangan utamanya. Melihat Anna yang pulang selarut ini, tentu saja membuat Alia sudah tidak bisa berkata-kata lagi, melainkan hanya permainan tangan yang akan ia andalkan sampai amarahnya mereda nanti.
Alia tak mau membuang waktu lagi hanya untuk menatap ekspresi menyedihkan perempuan muda yang kelihatannya sudah tahu betul apa salahnya. Alia langsung melangkah maju, dan tanpa ampun menjambak rambut kepangan Anna yang sebelah kiri, kemudian menyeretnya secara kasar menunju kediaman mereka yang ada di ujung sana, pada ketinggian lebih dari 200 meter.
Anna yang sudah di kuasai oleh rasa takut yang berlebih, tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya pasrah, menerima hukuman terburuk yang sempat terlupakan sesaat, selama bersama dengan Devan.
Sepanjang perjalanan sang Ibu mengomel tiada henti, tidak peduli walau suaranya menembus langit pertama, Alia kelihatannya sudah tidak bisa mengatasi amarahnya yang meluap.
"Apa yang kau lakukan di luar sampai tengah malam begini, pulang-pulang di antar dengan mobil oleh seorang laki-laki. Sedangkan aku sudah berjam-jam menunggumu disini, di pinggir jalan ini. Kau bahkan mengabaikan panggilan telpon ku, ternyata inilah yang kau lakukan. Dasar perempuan murahan." Wanita tua itu mengomel sambil berjalan cepat, langkah demi langkah nya mengisyaratkan kemarahan yang tidak sabaran untuk membawa korbannya menuju rumah penghakiman.
Wanita muda yang nampak pasrah itu hanya bisa menelan ludah yang begitu menyakitkan, seperti beling-beling kecil yang berserakan di kerongkongan. Mimpi buruknya tadi, sekarang benar-benar menjadi nyata.
"Apa kau tau? mencabik tubuhmu saja rasanya tidak akan cukup. Aku benar-benar kecewa, mengapa kau sampai berani berbuat semau mu dan meremehkan aku? dasar anak jadah yang tidak tau di kasihani, harus aku apakan kau biar aku puas, hah?!" nafas Alia tersengal-sengal, tangan yang menggenggam rambut Anna semakin kuat tarikannya, seperti sedang memegang tali hewan ternak yang akan di bawa pulang di kandangnya.
"Ampun, Ibu..." ringis Anna dalam hati.
"Aaaargh! anak setan! baru saja sehari kau di bebaskan keluar rumah, sudah lupa diri! sialan! aku sudah tidak sabar ingin membunuhmu!" suara Alia mengaung di antara desahan angin yang menyebar dingin. Jantungnya berdebar-debar menabuh genderang amarah yang membuncah di dada.
Langkah Anna terjungkal, terseok, tak beraturan, mengikuti jejak kaki Ibunya yang berjalan mengambil langkah cepat seperti berlari, dengan mulut yang mengeluarkan berbagai macam sumpah serapahnya yang begitu menusuk hati. Rasa sakit mulai menjalar dari ujung kaki wanita muda yang malang itu hingga ujung kepalanya, sakit yang teramat sangat, tak tertahankan, seolah seluruh akar rambutnya sudah tercabut dari kulitnya. Setetes air matanya mengembun di sudutnya.
Mengerang pun Anna sudah tak kuasa, selain hanya mengutuk diri dalam hati, karena telah melakukan kesalahan fatal dengan pulang selarut ini. "Ini murni salah ku, aku memang pantas di hukum." Seperti itulah wanita malang itu selalu berakhir dengan menyalahkan dirinya sendiri.
Zaa... Zaa!
Hujan deras turun secara tiba-tiba, sebagai bentuk iba sang semesta pada satu makhluk bumi yang sedang merintih dalam duka. Devan yang terlambat menolong karena tidak memprediksi kejadian mengerikan di depan matanya itu harus terjadi, membuatnya terpaku sampai tak terpikirkan harus berlari keluar melerai wanita paruh baya itu untuk menyakiti Anna.
Secepat kilat kedua perempuan itu menghilang dari pandangan Devan yang kini sedang turun dari mobilnya untuk mengejar Anna. Tak lupa Devan menyambar tas dan kaca mata milik Anna yang tertinggal di pinggir jalan, lalu membawanya ikut serta menaiki jalan menanjak ini untuk menyusul Anna.
Jalanan sempit yang terbuat dari paving block ini terasa licin akibat derasnya air hujan yang mengalir dari atas sana. Dalam sekejap bumi langsung basah tanpa satu celah pun yang terlewat. Meskipun begitu, Devan terus berlari dengan kaki jenjangnya menghempas arus air dengan sepatu kulit brogue nya yang mengayun berat. Jarum air menghujam tubuhnya tanpa henti, ia menyibak kelambu air yang menutupi pandangannya dari objek yang sedang di fokuskannya.
Yah, di depan sana nampak samar sosok Anna yang sedang berlari dalam posisi membungkuk karna di tarik seperti seekor binatang buruan. Hati Devan langsung tergores luka melihat pemandangan itu. Seumur hidup Devan belum pernah menyaksikan sebuah adegan yang menyayat batinnya sesakit ini.
Devan merasa harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Ini pasti di sebabkan karna ia telah membiarkan pegawainya nya itu pulang larut malam. Ia menyesal, seharusnya tadi ia membangunkan Anna lebih awal, namun ia malah menikmati tiap detik waktu yang bergulir di dalam ruangan yang hanya ada mereka berdua disana. Apakah keserakahannya membawa Anna kepada hal yang buruk?
Di pojok sana, dalam sebuah rumah sederhana yang letaknya paling ujung dalam gang ini, kedua perempuan itu menghilang setelah terdengar suara pintu terbanting dengan sangat keras. Devan menandai posisi suara bantingan itu berada dan datang menghampirinya.
Baru saja Devan menginjakkan kaki di depan pintu rumah Anna, ia malah di sambut dengan sebuah makian dari dalam sana.
"Dasar pelacur murahan, mati saja kau!" suara itu terdengar lantang dan berapi-api.
Duk! duk! duk!
Devan menggedor pintu dengan keras, mencoba menghentikan tindak kekerasan yang mungkin tengah terjadi di dalam sana.
Tangannya yang mengepal erat masih memukul papa kayu yang ada di depannya. Meski begitu, tidak ada tanda-tanda pintu akan di bukakan untuknya.
"Anna! buka pintu nyaaa...!!!" teriak Devan garang, tubuhnya sudah basah kuyup oleh air hujan.
Bletak!
Suara pintu terbuka dengan sedikit terbanting ke tembok, di sertai sosok Anna yang muncul di hadapan Devan. Anna buru-buru meraih ganggang pintu dan menutupnya kembali tanpa melepasnya. Anna berusaha mengunci ganggang nya, agar pintu ini bisa bertahan dari sosok menakutkan yang sedang mengamuk di dalam sana, yang saat ini juga sedang mencoba menarik pintu dengan sekuat tenaga.
"Annaaa....! buka pintunya anak sialan!" teriak Alia seperti orang gila.
Mata Anna yang memerah menahan air yang mencoba menyeruak jatuh itu mengerjap-ngerjap, nafasnya tertahan mencoba menormalkan ekspresinya agar tidak nampak terlalu menyedihkan.
"Boss! pergilah! aku mohon pada anda. Anda tidak perlu ikut campur dengan masalah saya, saya bisa mengatasinya sendiri." Suara Anna yang bergetar itu tidak bisa menyembunyikan kondisi yang sebenarnya. Namun wanita itu bersikap seolah-olah dia mampu menghadapinya sendiri.
"Tidak!" Devan menolak untuk pergi. Pandangannya menyimak ekspresi wanita di depannya, yang wajahnya menyimpan luka yang menganga.
"Pergilah. Aku mohon. Tidak ada yang akan berubah meskipun anda ada disini." Mata sembab Anna menancapkan permohonan kuat di wajah Devan, agar pria itu mau menuruti perintahnya.
Kaki Anna terbuka dan semakin melebar. Seiring dengan kuatnya tarikan pintu dari dalam. Ototnya tampak kaku dan menegang membuat pertahanan, terlihat ia sedang berusaha payah mengunci tubuhnya pada tanah yang beralaskan olahan pasir dan semen itu.
"Boss! pergilah! aku akan baik-baik saja." Hampir menangis Anna mengucapkan kalimat itu. Tidak, ia tidak mungkin menangis di depan orang lain.
"Aku tidak akan pergi!" Dada Devan terasa begitu penuh oleh sesak, begitu nyeri menusuk sukma ketika melihat keadaan Anna.
"Ibu saya tidak akan peduli dengan siapapun. Jadi saya tidak mau jika anda juga kena getahnya. Saya mohon. Saya akan baik-baik saja. Ibu saya hanya melampiaskan amarahnya sebentar lalu akan mereda nanti." Pinta wanita dengan kondisi rambut acak-acakan itu sedikit memaksa, kancing kemejanya sudah luruh separuh, bagian lehernya terdapat tiga goresan luka bekas kuku dan memar, dadanya terguncang menahan diri dari gejolak kesedihan.
"Tidak! memangnya kau siapa berani memerintah aku. Menyingkir lah dari sana, biarkan pintunya terbuka, aku ingin bicara dengan Ibumu." Pria yang mengeluarkan aliran air yang terasa perih di matanya itu menegaskan, jika ia tidak akan menuruti ucapan Anna.
"Saya akan baik-baik saja Boss, saya akan masuk kerja tepat waktu esok hari, saya berjanji pada anda. Pergilah! jangan mencampuri urusan pribadi saya. Please!" Anna masih mencoba menyakinkan Devan dengan nafas berat, karena kelelahan menahan pintu dengan otot tangannya yang lemah. "Memangnya anda siapa yang tiba-tiba peduli? pergilah!"
"Bukaaaaa...!!!!" suara teriakan Alia menggema memecah malam.
Ekspresi ketakutan langsung nampak di wajah Anna ketika mendengar teriakan itu. Lututnya menjadi lemas seketika. Pintu hampir saja terbuka namun dapat di tutup kembali. Sedangkan suara hujan semakin menambah ketegangan diantara mereka.
Devan tidak bisa hanya menonton situasi yang seperti ini, iapun langsung mengambil sikap, ikut menahan ganggang pintu dengan tangan kanannya, lalu tangan kirinya berusaha melepaskan tangan Anna yang keras kepala, tidak mau menyingkir dari tempatnya. Devan terpaksa harus menggunakan cara yang lebih kasar dengan melepas paksa tangan Anna, lalu menarik tubuh wanita itu hingga ke belakang punggungnya.
"Diam disana?" Devan sedikit berteriak, lalu membuat dirinya sebagai tameng di depan, siap untuk berhadapan dengan Alia. Wanita yang ada di belakangnya tidak ada pilihan lain selain patuh walau tidak enak rasanya mengandalkan orang lain.
Jemari Devan menggenggam erat pergelangan tangan Anna yang ringkih. Memberikan kode agar wanita itu tidak beranjak dari sana sedikitpun. "Anna, tolong percayalah padaku, akan akan membantumu."
"Boss..." lirihnya.
"Jangan hawatir, aku bisa mengatasinya."
Lalu dengan hati-hati, Devan melonggarkan pertahannya, membiarkan ganggang pintu itu terbuka dengan sendirinya. Sehingga menampilkan sosok Alia dengan daster motif bunga, tengah menggenggam erat ganggang pintu dengan kedua tangannya yang berkuku panjang, nail art berwarna merah menyala menghiasi keseluruhannya.
"Hei! siapa kau?! berani-beraninya ikut campur urusan orang lain!" bola mata Alia menyala tajam ke arah Devan.
Devan yang masih menggenggam tangan Anna, kini sedang mencoba menjadi juru selamat untuk wanita itu. "Nyonya! saya adalah Boss Anna di kantor. Tolong dengarkan saya sebentar."
Devan menjulurkan tangannya ke depan untuk mewanti-wanti, jika seandainya Alia melakukan serangan tak terduga, seperti yang terjadi pada Anna tadi.
"Aku tidak butuh penjelasan darimu. Serahkan padaku anak itu. Bukannya tadi dia menyuruhmu untuk pergi? dia tidak membutuhkan bantuanmu, karna dia tau kalau dia bersalah memang harus di hukum." Sergah Alia yang matanya masih mengincar anak perempuannya.
"Nyonya, malam ini Anna bekerja lembur di kantor saya, karna menggantikan pegawai yang cuti karna sakit. Jadi, saya mengantar Anna pulang sebagai bentuk tanggungjawab jawab saya, dengan tidak membiarkan pegawai saya pulang sendirian pada tengah malam." Devan masih mencoba menggunakan cara mediasi untuk meredam konflik yang sedang membara ini.
"Boss seperti apa yang sampai harus mengantar pegawai barunya pulang bekerja? apa wanita itu melacurkan dirinya padamu?" todong Alia yang masih mengincar Anna yang kini bersembunyi di balik tubuh Boss nya.
"Jika saya membiarkan Anna pulang sendirian, apakah nyonya yakin putri nyonya akan selamat sampai rumah?" Devan mengusap air hujan yang masih deras membasahi wajahnya.
Alia masih konsisten dengan ekspresi murkanya, meskipun perkataan pria di depannya ini memang masuk akal.
"Nyonya! kami bekerja secara profesional, tidak ada kasus penjualan manusia dalam gedung kami yang terhormat. Dan Anna telah mengerjakan pekerjaannya dengan sangat baik di hari pertamanya bekerja. Saya hanya sebatas menghargai itu." Pungkas Devan mencoba meyakinkan Alia.
Alia terdiam sejenak. Ia terlihat sedang mencerna apa yang di ucapkan oleh Devan barusan.
Lalu Devan mengambil kesempatan itu untuk mengancam Alia.
"Putri nyonya telah menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan kami. Jadi tolong jangan membuat masalah yang menyebabkan kerugian pada urusan kerja kami. Anna harus masuk bekerja besok seperti biasa, jika dia berhenti dengan alasan yang tidak jelas, maka pihak kami terpaksa akan mengambil tindakan tegas!"
Walau pernyataan Devan kali agak mengada-ada, tapi ini salah satu cara agar wanita dengan raut wajah tegas di depannya ini bisa di ajak kompromi. Tentunya misi ini adalah untuk menyelamatkan Anna.
Alia terlihat berpikir sejenak, entah keputusan seperti apa yang harus ia ambil. Apakah malam ini ia harus mengampuni Anna dan menuruti kemauan pria yang katanya adalah Boss nya ini.
"Anna! kau seharusnya mengirimkan aku sebuah pesan kalau kau akan bekerja lembur di kantor. Bukankah sudah aku katakan sebelumnya, kalau kau tidak boleh pulang melebihi jam kerja, apalagi dengan membawa seorang laki-laki bersama mu, siapapun itu." Kali ini Alia tengah mencoba berkomunikasi dengan Anna yang membisu sejak tadi.
"Nyonya! Kesibukan lah yang membuat para pegawai kami tidak bisa melihat ponsel pribadi mereka sampai waktu jam kerja usai. Jadi tolong mengertilah." Bela Devan.
"Mengapa kau terus membela wanita itu? aku sedang sedang bicara dengan anakku, bukan kau. Lagi pula yang di belakang mu itu adalah wanita rendahan yang buruk rupa. Apa kau adalah pria yang memiliki kelainan yang aneh?"
"Nyonya. Apakah itu adalah kata-kata yang pantas diucapkan seorang Ibu kepada anaknya? saya pribadi sangat menghargai putri nyonya, kelainan seperti apa yang nyonya maksud? bukankah kelainan sesungguhnya adalah ketika seorang Ibu merendahkan anaknya sendiri." Timpal Devan serius. Gertakan kecil meletup dari mulutnya.
Alia mendengus kasar sambil melipat tangan di dadanya. Tidak merasa tersinggung sedikitpun walau ia tau pria di depannya itu sedang menyindir nya. "Kau tidak tau apa-apa, jadi pergi saja. Dan serahkan Anna padaku."
"Tidak. Sampai nyonya berjanji tidak akan memperlakukan Anna dengan buruk. Atau aku akan membuat laporan di kepolisian dan menjadi saksi atas kekerasan yang nyonya lakukan pada Anna."
"Sialan!" Alia menggertakkan gigi gerahamnya seraya mengumpat pelan penuh penekanan, suaranya pun terdengar samar. "Oke, baiklah! Aku berjanji." Tidak ada pilihan lain untuk saat ini, ancaman orang ini kelihatannya serius.
"Baik, aku akan memberikan satu kesempatan untuk mempercayai nyonya." Devan sedikit lega dengan kesepakatan ini.
"Ya sudah. Anna! Ayo masuk dan bersihkan dirimu, lalu tidurlah!" Alia menyerah walau dengan sangat terpaksa. Apa boleh buat, jika malam ini Alia melampiaskan emosinya di depan si Boss ini, kemungkinan ia akan berakhir di penjara. Bagaimana pun Alia tidak bisa meremehkan ancaman pria berduit ini.
Lalu dengan acuhnya Alia berbalik badan kembali masuk ke dalam rumah tanpa mengeluarkan kata-kata tambahan lagi. Artinya malam ini Alia harus berbesar hati memaafkan anak perempuannya itu.
Devan juga membalikkan badan kepada Anna yang wajahnya di selimuti oleh air hujan yang sengaja tak di usapnya, air mata mungkin saja sudah tumpah ruah disana namun tersamarkan oleh arus air yang menyapu wajahnya.
"Anna. Masuklah. Diluar sini sangat dingin. Bersihkan dirimu, lalu tidurlah." Devan meyakinkan Anna kalau tidak akan terjadi hal yang buruk lagi setelah ini.
"Bagaimana dengan anda? wajah Anda terlihat sangat pucat dan tangan anda yang hangat menjadi dingin." Anna justru lebih menghawatirkan kondisi Devan.
Devan memindahkan kedua tangannya ke atas baru Anna lalu mencengkeram nya lembut. Ia memposisikan tubuhnya sedikit menunduk, menatap wajah Anna lekat. "Masuklah. Aku baik-baik saja. Cepat turuti kata Ibumu sebelum ia berubah pikiran."
Devan lalu mendorong tubuh Anna melangkah menuju pintu yang terbuka lebar. "Masuklah, mandilah dengan air hangat." pesannya. Tubuhnya sedikit bergetar di balik pakaian basah yang menempel di kulitnya. Rintik-rintik hujan masih turun meski sudah sedikit reda.
"Boss..." Anna tampak enggan meninggalkan Devan.
"Jika kau di segera masuk, maka aku akan disini lebih lama di bawah hujan."
"Baiklah. Anda, pulanglah, dan terima kasih. Saya pasti akan membalas budi anda." Ucap Anna penuh haru. Air matanya mengalir tipis. Entah mengapa kebaikan Devan terasa lebih menyakitkan baginya. Ya, sakit rasanya melihat orang lain harus terlibat dengan masalahnya.
"Masuklah!" Devan mengangguk-angguk.
Perlahan, Anna memundurkan diri sambil mendorong papan kayu itu perlahan hingga menelan tubuhnya masuk ke dalam sepenuhnya.
Setelah meyakini suasana di dalam sudah kondusif, barulah Devan beranjak pergi. Namun sebelumnya Devan menyempatkan diri meletakkan tas milik Anna di depan pintunya.
Devan berlari kecil menuruni jalan yang menurun sambil menahan air hujan yang tanpa iba terus menghempas kepalanya yang terasa mulai membeku. Dan, baru saja Devan mendudukkan diri di dalam mobilnya, sebuah panggilan masuk nampak di layar ponselnya, dari Revy.
Ck! Devan berdecak kesal, untuk apa wanita menyebalkan itu menelponnya pada jam segini. Meski tak suka, Devan terpaksa harus meladeninya karna permintaan Ibu yang mau tak mau harus ia patuhi.
"Sayang... Apa kau masih bekerja lembur di kantor?" suara revy yang nyaring itu seolah menusuk gendang telinga Devan.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Namaku Devan, apa kau sudah lupa?" sambil menahan dingin, Devan berusaha berbicara baik-baik, namun tetap saja dengan nada yang datar.
"Devan sayaang, cepatlah pulang dan beristirahatlah. Karna besok kau harus datang menjemput ku, kita berangkat bersama-sama ke kantor ya." Seolah mengindahkan ucapan Devan yang tidak suka di panggil dengan sebutan— sayang. Revy justru semakin menjadi-jadi.
"....."
"Sayaaaang. Jangan terlalu memaksakan diri, masih ada hari esok. Ayo pulang." Suara yang di buat mendayu-dayu itu benar-benar membuat Devan bergidik.
"Aku sedang dalam perjalanan pulang." Sahut Devan singkat dan ketus.
"Baiklah, hati-hatilah selama di perjalanan. Seharusnya pak Ali menemani mu disana sampai pekerjaan mu selesai. Tapi dia malah pulang, dasar asisten yang tidak tau diri!" ucap Revy dengan nada yang buat kesal pada akhir kalimatnya.
"Sudah tutup!" sebuah suara berat menyelindap diantara suara manja milik Revy.
Namun Devan sangat mengenal siapa pemilik suara tersebut. Suara yang hampir setiap hari ia dengar dahulu ketika masih sering bersama, sebelum konflik besar yang membuat jarak teramat jauh dengan sosok yang sangat di hormatinya kala itu.
Gigi geraham Devan saling bertaut hingga rahangnya menegang, urat-urat di lehernya menonjol, ia menelan ludahnya kasar. Sebuah dendam yang bersemayam di dadanya seolah mengiba untuk keluar walau Devan tetap mengubur nya dalam-dalam. Sampai kapan Devan harus membiasakan diri dengan perasaan terhina seperti ini. Ia berharap segera mampu mengakhiri perasaan semacam ini.
Dan tanpa basa-basi, Devan langsung menohok Revy dengan sebuah pertanyaan. "Apakah kau sedang bermalam bersama dengan kakakku, Daniel?!"
mampir di novelku ya/Smile//Pray/