"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Pertempuran pecah
Malam menyelimuti Desa Wi dengan kelamnya, seperti kain tenun yang dihiasi bisikan angin dan kicauan jangkrik yang berirama.
Beberapa warga desa berpatroli, langkah kaki mereka teredam oleh tanah yang basah embun, bergerak hening dalam kegelapan.
Di antara mereka ada Wi Pek, seorang pria tua renta dengan telinga lebih tajam dari elang. Indra pendengarannya menangkap sebuah suara - dengungan rendah, berat dan bergema, yang berasal dari bayangan di balik sawah.
Mata Wi Pek, meski tertutup kabut usia, memancarkan percikan kewaspadaan. Ia mengenali suara itu seketika. Itu adalah Wi Rang, harimau hitam, peliharaan Wi Dung.
Wi Rang, meskipun keturunannya buas, dibesarkan di Desa Wi sejak ia masih anak harimau. Ia menyandang nama marga Wi, bukti penerimaan di tengah masyarakat, meskipun garis keturunannya berbeda.
Patroli berhenti, napas mereka tertahan di dada.
Wi Rang muncul dari kegelapan, siluet megah di bawah langit yang diterangi bulan. Ia adalah makhluk bertenaga besar, bulu hitamnya berkilauan seperti obsidian yang dipoles. Ia berhenti di hadapan warga desa, matanya yang berwarna kuning keemasan tertuju pada mereka, lalu mengeluarkan dengungan rendah yang menggetarkan. Ia mengangkat cakarnya, cakarnya terentang, dan mengarahkannya ke hutan lebat yang berbatasan dengan desa.
“Sepertinya Klan Fu bergerak,” bisik Wi Pek, suaranya nyaris tak terdengar di atas suara malam. Makna tersirat dalam kata-katanya terasa berat di udara. Klan Fu, yang terkenal dengan seni bela diri yang kejam dan haus kekuasaan yang tak terpuaskan, sedang bergerak.
Warga desa saling bertukar pandang cemas. Reputasi Klan Fu mendahului mereka, legenda mengerikan yang dibisikkan dengan suara lirih di sekitar api unggun yang berkilauan.
Seni bela diri mereka brutal dan efisien, diasah selama bergenerasi melalui konflik dan pertumpahan darah.
Kabar tentang kedatangan Klan Fu menyebar seperti api di desa. Irama damai kehidupan malam hancur berkeping-keping, digantikan oleh energi panik.
Warga desa, bersenjatakan apa pun yang bisa mereka temukan - alat pertanian, tongkat tajam, bahkan pisau dapur - bersiap menghadapi konflik yang tak terelakkan.
Mereka tahu bahwa jumlah mereka jauh lebih sedikit, tetapi mereka akan mempertahankan rumah mereka, keluarga mereka, dan cara hidup mereka sampai mati.
Wi Dung berdiri di depan setelah mendengar kabar bahwa Klan Fu kembali datang. "Kita harus bertahan, tidak bisa kita menyerah begitu saja. Hidup ini adalah milik kita. Kita bersatu untuk kemenangan!" teriaknya dengan semangat yang membara. Meskipun ada banyak orang yang ragu, satu hal yang pasti: mereka tidak mau ditindas oleh Klan Fu.
"Hidup Klan Wi!" seru salah seorang warga. Dari satu suara, menjadi sepuluh, dan terus bertambah, gema sorakan tersebut menggema di seluruh desa.
Bahkan para wanita, baik yang tua maupun yang muda, serta anak-anak, ikut mengangkat senjata. Ini adalah pertahanan terakhir mereka. Mereka tahu bahwa jika mereka tidak melawan, semua yang mereka cintai akan hilang.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Wi Dar, tetua Klan Wi, tidak bisa bertarung. Ia terbaring lemah, tubuhnya berjuang melawan rasa sakit akibat luka-luka dari pertarungan siang sebelumnya.
"Semoga saja Patriark lekas kembali. Karena hanya dia yang mungkin bisa mengatasi!" ujarnya bergumam, harapan dan keraguan bercampur menjadi satu.
Dengan segenap tenaga, ia berusaha untuk bangkit. Tangannya meraih senjata yang tergeletak di samping tempat tidurnya, meskipun lukanya masih menganga dan membuatnya kesakitan. Namun, semangatnya tak kalah kuat. Ia tahu bahwa keberadaan Patriark sangat penting bagi Klan Wi, dan ia berharap bisa memberikan dukungan meskipun dalam keadaan lemah.
Di luar, suara sorakan semakin menguat. Warga desa bersatu, semangat juang mereka membara. Mereka tahu bahwa hari ini adalah hari penentuan, dan mereka siap untuk berjuang demi hak mereka, demi kehidupan yang mereka cintai.
Wi Dar menutup matanya sejenak, mengumpulkan kekuatannya, berharap dapat segera bergabung dengan mereka dan melindungi desanya dari ancaman Klan Fu.
*
Pada saat itu, ratusan orang datang dengan persenjataan lengkap serta zirah yang terbuat dari besi. Tombak-tombak mereka berkilau tajam di bawah cahaya rembulan, menciptakan pemandangan yang menakutkan dan megah.
"Habisi Klan Wi!" teriak Fu Tao, Patriark Klan Fu, melepaskan perintahnya dengan suara yang menggema, menggetarkan semangat para prajuritnya.
Di sisi lain, Wi Dung juga berteriak, "Lepaskan panah!" Suaranya penuh keberanian, menggerakkan hati para pembela desa.
Sekitar belasan orang berdiri di reruntuhan gerbang Desa Wi, siap untuk melawan. Mereka mengangkat busur dan melepaskan panah, yang berdesing melawan angin.
Swoosh!
Swoosh!
Siulan angin terdengar menderu, diiringi teriakan semangat dari kedua belah pihak. Suasana menjadi semakin tegang, setiap detik terasa seperti satu tahun.
Wi Dung maju ke depan, mengambil alih posisi pemimpin yang sebelumnya dipegang oleh Wi Dar yang terluka. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan bagi Klan Wi. Pedangnya berkilau dengan energi membara, cahaya yang memancarkan keberanian dan tekad.
Di sampingnya, Wi Rang, harimau hitam yang setia, melindungi Wi Dung dengan gerakan gesit. Wi Rang mengantisipasi setiap serangan yang datang, cakarnya siap mengoyak musuh yang berani mendekat. Dengan naluri tajamnya, harimau itu menjadi sekutu yang tak ternilai dalam pertempuran ini.
Saat serangan dari Klan Fu mulai menghujani mereka, Wi Dung menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ia bergerak cepat, memimpin serangan balasan dengan penuh strategi. Setiap gerakan pedangnya adalah perpaduan antara kekuatan dan keanggunan, menebas lawan yang mencoba menerobos pertahanan mereka.
Warga desa yang lain, terinspirasi oleh keberanian Wi Dung dan kekuatan Wi Rang, berjuang dengan sepenuh hati. Mereka tidak hanya bertarung untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk seluruh desa, untuk masa depan yang lebih baik.
Suara teriakan dan dentang senjata memenuhi udara, menciptakan simfoni dari keberanian dan ketegangan.
Pertempuran antara Klan Wi dan Klan Fu semakin sengit. Dengan setiap serangan yang dilancarkan, harapan dan ketakutan minggir bergantian. Namun, dalam hati setiap prajurit Klan Wi, ada keyakinan bahwa mereka tidak akan menyerah. Mereka akan berjuang hingga titik darah penghabisan demi mempertahankan rumah dan tanah air mereka.