NovelToon NovelToon
Zeline Racheline

Zeline Racheline

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: happypy

Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

delapan belas

Di kota cendrawasih, Rayan sedang fokus bekerja. Tangannya sibuk memeriksa laporan penjualan, namun tiba-tiba sebuah pusing hebat menyerang. Pandangannya mulai kabur, dan tubuhnya terasa limbung. Ia mencoba bertahan, memegangi meja untuk menjaga keseimbangannya, namun sia-sia.

Di sisi lain, Rani yang tengah menata kue di etalase, melihat sekilas bayangan rayan dari kaca. Ia kaget saat menyadari bosnya itu tampak goyah, hampir jatuh. Tanpa pikir panjang, Rani langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari menghampiri Rayan, hatinya berdebar kencang.

" Bang rayan!" seru rani panik sambil menangkap lengannya sebelum tubuh pria itu benar-benar ambruk. Ia membantu rayan duduk di kursi terdekat, napasnya sedikit tersengal. Wajah rayan pucat, keringat dingin mulai membasahi dahinya.

" Bang, kamu nggak papa ?" tanya rani cemas, matanya tak lepas dari raut wajah lelah rayan yang tampak tertekan oleh sesuatu lebih dari sekadar fisik.

Rayan mengerang pelan sambil menekan pelipisnya, "Kepalaku pusing ran," ucapnya dengan suara lemah. Rani melihat kondisi bosnya dengan penuh khawatir, tanpa berpikir panjang, dia segera berlari ke belakang. Di sana, Rani mengaduk-aduk isi tasnya, mencari minyak hangat yang selalu ia bawa untuk situasi darurat seperti ini.

Begitu menemukannya, ia kembali bergegas ke depan. Napasnya sedikit tersengal saat ia menyerahkan botol kecil berisi minyak hangat itu kepada Rayan. "Pakai ini bang," ucap rani lembut, berharap sedikit bantuan dari minyak itu bisa mengurangi rasa sakit di kepala rayan.

Rayan menerima botol itu tanpa banyak kata. Dengan gerakan lemah, ia membuka tutupnya dan mengoleskan minyak ke pelipisnya, lalu memijat pelan. Harumnya yang khas menenangkan pikirannya sedikit, dan rasa hangat mulai meresap ke kulitnya, memberikan sedikit kelegaan. Namun, jauh di dalam hatinya, rasa pusing itu bukan hanya berasal dari fisiknya, tapi dari tekanan batin yang ia rasakan.

Rani semakin cemas melihat kondisi Rayan. "Bang, abang istirahat saja, biar aku yang gantikan di kasir. Atau abang mau ke rumah sakit? Periksa? Jika iya, ayo ku antar," kata rani dengan nada penuh kepedulian. Namun, Rayan hanya menggeleng pelan, seakan enggan meninggalkan tugasnya. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, dan ia merasakan gigil merambat ke seluruh tubuhnya.

"Dingin ran," ucap rayan lemah. Rani mengernyit, bingung dengan perubahan kondisi yang begitu cepat. Ia segera mematikan AC yang ada di ruangan, berharap itu bisa membantu.

"Masih dingin bang?" tanyanya lagi, suaranya mulai terdengar khawatir. Rayan mengangguk, tubuhnya menggigil semakin parah.

Rani kemudian mendekat, menyentuh kening rayan dengan tangan gemetar, "Maaf ya bang," ucapnya sambil mencoba memastikan apa yang terjadi. Begitu kulitnya bersentuhan dengan kening Rayan, hatinya semakin berdebar.

"Bang, kamu demam... ya Tuhan," bisik rani, panik mulai menguasainya.

Rayan mencoba menegaskan, "Aku tidak apa-apa, kita lanjutkan saja bekerja," ucapnya dengan suara serak, berusaha terlihat kuat meski wajahnya pucat. Namun, Rani menggeleng keras, menolak membiarkannya terus bekerja dalam kondisi seperti itu.

"Bang, kamu demam. Ayo berobat ke rumah sakit, nanti malah makin parah," desak rani dengan nada tegas namun penuh kepedulian.

Akhirnya, setelah beberapa saat, Rayan menyerah. Tubuhnya sudah terlalu lemah untuk membantah. Ia menghela napas panjang dan mengangguk setuju. Menyadari bahwa kondisinya tak bisa diabaikan, ia pasrah mengikuti saran Rani.

Sebelum mereka pergi, Rani berbicara dengan karyawan yang lain, "Tolong jaga toko dan gantikan bang rayan di kasir ya. Aku mau mengantarnya ke rumah sakit, Bang rayan demam. Kalau ada apa-apa, hubungi aku nanti," ujarnya dengan nada serius. Karyawan-karyawan itu mengangguk, memastikan bahwa mereka akan mengurus semuanya selama rani dan rayan pergi.

Setelah itu, dengan hati-hati, Rani membantu rayan keluar dari toko. Mereka berdua melangkah menuju motor, siap untuk pergi ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Rani terus melirik rayan dari kaca spion, khawatir melihat kondisi bosnya.

Sesampainya di rumah sakit, Rani dan rayan langsung menemui dokter. Dengan wajah tegang, Rani membantu rayan masuk  ke ruang periksa, sementara dokter mulai melakukan pemeriksaan dengan cermat. Rani berdiri di dekat pintu, matanya tak lepas dari rayan yang terlihat lemah. Jantungnya berdebar keras, khawatir akan kondisi bosnya yang semakin memburuk.

Setelah beberapa saat, dokter menghentikan pemeriksaan dan menatap serius ke arah Rani. "Anda keluarganya?" tanya dokter dengan nada tenang namun tegas. Rani, tanpa ragu, mengangguk cepat, "Iya dok."

Dokter menghela napas, lalu menjelaskan "Kondisi pasien tidak hanya demam. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ada masalah pada ususnya. Ini terjadi akibat pola makan yang buruk, sering melewatkan waktu makan, dan terlalu banyak minum kopi. Kondisinya sudah cukup parah, dan kami perlu segera melakukan operasi."

Rani terdiam, tubuhnya gemetar mendengar penjelasan dokter. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. "Operasi dok?" tanyanya dengan suara bergetar. Dokter mengangguk.

"Ya, jika tidak segera ditangani, kondisinya bisa semakin memburuk. Kami harus melakukan tindakan secepatnya."

Rani menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai perasaannya. Sambil menatap rayan yang terbaring lemah, hatinya terasa berat. Namun, ia tahu bahwa operasi adalah jalan terbaik. "Baik dok. Lakukan apa yang perlu untuk menyelamatkannya," ujar rani akhirnya, mencoba tegar.

Dokter mengangguk dengan tegas dan segera menyiapkan operasi untuk Rayan. Sementara itu, Rani berjalan ke luar ruangan dengan tangan gemetar, mengambil ponselnya, dan menghubungi rahma. Suara di seberang terdengar lembut, namun penuh rasa ingin tahu. "Iya ran? Ada apa?" tanya Rahma dengan nada penasaran. Saat itu, Rahma sedang duduk bersama Dina, Rai, dan Sania, yang langsung menoleh ke arah Rahma saat melihat ekspresi serius di wajahnya.

Rani menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjelaskan. "Kak Rahma, bang rayan akan dioperasi. Dokter bilang ada masalah pada ususnya karena dia jarang makan dan terlalu banyak minum kopi."

Rahma spontan bangkit dari duduknya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Operasi?" katanya, nyaris berbisik, tetapi nada cemasnya tak bisa disembunyikan. Semua mata kini tertuju pada rahma, termasuk Rai, yang ikut mengangkat alis, terkejut mendengar kabar tersebut. Sania, yang duduk di samping Rahma, segera bertanya dengan wajah khawatir, "Siapa yang dioperasi kak?"

Rahma menghela napas, lalu menjawab pelan, tetapi dengan jelas. "Ayah zeline… dia harus dioperasi," ucapnya, suaranya bergetar. Dina dan Sania saling bertukar pandang, perasaan cemas merayap di wajah mereka. Rai pun terdiam, wajahnya berubah serius, seolah mencoba mencerna kabar tak terduga itu.

Seketika, suasana yang tadinya dipenuhi dengan kehangatan, berubah menjadi penuh ketegangan dan kecemasan. Rahma tahu, tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dan berdoa agar operasi rayan berjalan lancar.

Dan di tengah suasana yang tegang, tiba-tiba terdengar suara tangisan kecil. Zeline, yang sedari tadi terlelap di pangkuan Rai, mengigau dan memanggil ibunya dengan penuh kesedihan.

" Bunda... bunda..." serunya, air mata mengalir di pipi kecilnya. Suara tangisnya membuat hati semua orang bergetar, termasuk Rai yang langsung menatap gadis kecil itu dengan penuh kasih.

Naluri sebagai seorang ibu muncul dalam diri rai. Dengan lembut, ia mengusap rambut zeline, berusaha menenangkannya.

Rai terus berusaha menenangkan zeline, tetapi keinginan untuk melihat ibunya membuat zeline semakin menangis. Menyaksikan hal itu, Rahma merasakan hatinya semakin berat. Dia tahu, kondisi zeline sangat rentan, dan di saat-saat seperti ini, anak kecil sepertinya membutuhkan kehadiran ibunya lebih dari sebelumnya.

1
Nikmah dara Puspa saragih
🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!