Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Hening, tak ada lagi perdebatan antara ibu dan abangnya. Kepala Naomi menyembul dari pintu kamarnya yang terkuak.
Ia baru berani mengintip dari celah pintu setelah suara amukan ibunya menghilang. Bukan apa apa, ia hanya tidak mau terikut dalam pertengkaran mereka.
Dari kamarnya, Naomi bisa melihat punggung ibunya yang sedang duduk di kursi makan.
Sepertinya ibu sedang makan dengan satu kaki terangkat dan kaki lainnya berjuntai menginjak lantai.
Perlahan, Naomi mendekati ibunya, lalu dengan rasa sayang yang meluap, ia memeluk leher ibunya dari belakang.
Mendapat perlakuan manis dari putrinya, Masitha menghentikan kunyahannya lalu memiringkan kepala dan melihat ke atas.
Ia tersenyum membalas senyum manis putrinya. Dan Naomi bisa melihat ada luka yang tersirat begitu dalam di mata ibunya yang bersalut kaca kaca tipis.
"Sudah makan kau?", tanya Masitha.
" Belum bu! Ini mau makan bareng ibu!"
Naomi dengan cekatan mengambil piring lalu mengisi piringnya dengan makanan yang ia mau.
Kemudian, gadis cantik itu, menuangkan air minum ke dalam dua gelas, satu untuknya satu lagi untuk ibunya.
Walau kepalanya padat dengan banyak pertanyaan pada ibunya, namun Naomi tidak ingin mengusik ketenangan ibunya yang sedang menikmati makanannya.
Mereka berdua hanya diam, saat mengunyah makanannya suap demi suap.
Naomi tahu, ibunya tidak sedang baik baik saja, ia bisa melihat, betapa ibunya sangat kesulitan saat menelan makanannya.
Walau ibunya adalah perempuan Batak yang keras dalam prinsipnya, ibunya tetaplah seorang ibu yang sedang menghadapi masalah atas masalah yang ditimbulkan oleh salah satu anaknya.
Anak lelaki kebanggannya pula, penerus marga suaminya.
Beberapa menit berlalu, mereka selesai makan, masih dalam.suasana senyap yang pekat.
Tanpa diminta oleh ibunya, Naomi segera membereskan meja makan, mencuci bekas makan yang kotor di wastafel di dekat meja makan.
"Ibu mau kopi?", tawar Naomi setelah ia selesai mencuci piring.
Gadis itu hapal kebiasaan ibunya yang pencandu berat kopi.
Segera Naomi.memasak air dengan cangkir stainless stel ukuran satu liter.
Tak lama kemudian Naomi menghidangkan secangkir kopi panas dengan asap masih mengepul buat ibunya.
" Terimakasih!", ucap Masitha singkat sambil menghirup.
"Tadi ibu ke kampus gadis itu, ternyata dia memutuskan berhenti kuliah pada hal sebentar lagi ia menamatkan pendidikkannya,Huh!"
Terdengar oleh Naomi, ibunya menghembuskan nafas berat.
"Jadi apa rencana ibu?", tanya Naomi hati hati.
" Membawa abangmu ke rumah sakit yang lebih lengkap di Jakarta!", jawab Masitha lesu.
"Entah turunan siapalah abangmu itu, kelakuannya sungguh tidak terpuji.
Betapa banyak anak gadis orang yang sudah dia rusak. Ibu tidak tahu apakah benihnya yang ia tabur di luaran sana ada yang tumbuh subur atau tidak.
Yang jelas, ibu curiga, anaknya si Rosna itu adalah anaknya Rangga.
Segala sesuatu di tubuh anak itu sama persis dengan abangmu dulu waktu kecil", ucap Masitha masih dengan kelesuan yang pekat.
Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Naomi, ia hanya mengelus perlahan pundak ibunya sebagai bentuk empatinya.
" Buatkan kopi ayahmu!", ucap Naomi, memberi perintah pada anaknya mana kala ia mendengar suara mobil suaminya dari halaman depan.
"Lagi ngopi bu?", tanya Indra begitu ia mendudukan dirinya di kursi di samping istrinya.
"Iya, punya ayah sedang dibuat oleh Naomi".
" Bagaimana hasilnya bu?", tanya Indra pelan, ia takut suaranya terdengar oleh Rangga yang sedang tidur tiduran di sofa.
"Hem..!"
Masitha lalu menceritakan apa yang sudah dia lakukan.
"Sudahlah bu, tak perlu dicari lagi gadis itu. Cukup kita doakan saja, semoga dia baik baik.saja!
Yang penting, kita urus saja pengobatan Rangga.
Karena ayah kerja, ibu saja yang menemani Rangga berobat!"
"Hem, baiklah, lusa kami berangkat", kata Masitha.
Dua hari kemudian mereka berangkat bertiga ke Jalarta, ternyata Naomi turut serta untuk menemani ibunya.
Dengan menggunakan kursi roda, mereka membawa Rangga ke Bandara.
Setelah hampir tiga jam terbang, akhirnya mereka tiba di kota tujuan.
Masitha memilih tinggal di penginapan yang terjangkau, yang berada dekat dengan rumah sakit agar lebih memudahkan pergerakannya.
Sebenarnya banyak kerabat Masitha yang ada di kota ini, bahkan tidak jauh dari rumah sakit pun ada, namun Masitha lebih memilih tinggal di penginapan saja.
Ia tidak ingin keluarga besarnya mengetahui tentang masalah Rangga. Malu!
" Sudah lama ini terjadi? Sejak kapan?"
Kening dokter ahli itu berkedut dalam, ada sirat tak suka dalam mata dan nada suaranya, saat ia sedang memeriksa aset berharga milik Rangga.
Pemuda nakal itu gelagapan, malu sekali, sehingga ia kesulitan menelan air ludahnya sendiri.
Bayangkan, ia terbaring di meja periksa, disorot lampu terang benderang dengan pertengahan selangkangnya disaksikan oleh banyak petugas medis.
Malunya bukan kepalang. Jika bisa saat itu juga ia ingin melarikan diri dari tempat itu.
Apa lagi ia sempat melihat, senyum sinis di bibir dokter ahli Andrologi itu, sepertinya merendahkan harga diri Rangga.
Hati Rangga berdenyut sakit. Ingin rasanya ia memaki maki dokter itu bahkan meludahi wajahnya yang tertutup masker.
Setelah melakukan berbagai perlakuan medis, dokter tersebut keluar menuju ruang kerjanya.
Ia menemui ibu Rangga yang sedang duduk di kursi, dokter bername tag Frans Sugondo dan berwajah oriental itu duduk di kursinya, berhadapan dengan Masitha yang diantarai meja kerja dokter Frans yang besar.
"Selama saya bertugas menjadi dokter Androlog, baru kali ini saya menemui kasus seperti yang dialami anak ibu ini!
Sebenarnya apa yang telah terjadi? Tolong ibu jelaskan dengan jujur agar saya tahu untuk mengambil tindakan!", kata dokter Frans lugas.
Tarikkan nafas Masitha terasa berat, antara malu dan bingung mendera dirinya. Namun demi kesembuhan anaknya, ia harus berterus terang.
Maka mengalirlah cerita dari bibir Masitha, lancar, tanpa ada yang ditutup tutupinya.
Mata dokter Frans membola sempurna, wajahnya tegang dan pikirannya juga bingung.
Bagaimana mungkin seorang gadis yang dilecehkan bisa memikirkan untuk menusukan jarum suntik yang berisikan obat bius?
Ini kasus langka dan baru pertama kali terjadi.
"Dokter, apakah dengan bukti bukti yang ada dari dokter kami bisa menuntut gadis itu?", tanya Masitha begitu saja setelah ia selesai menceritakan semuanya.
Ia sendiri pun kaget, ketika menyadari mengapa ia bertanya demikian, namun nalurinya sebagai ibulah yang menggiring lisannya berkata demikian.
Walau dia marah setengah mati, Rangga adalah anaknya, biji matanya, wajar jika di sudut hatinya yang terdalam ada rasa ingin melindungi anaknya itu mati matian.
" Ibu yakin dengan pertanyaan ibu itu dengan segala konsekwensinya?", tanya dokter Frans sambil membesarkan bola matanya.
"Awal mula kejadian ini kan kesalahannya ada pada anak ibu!
Andai dia mampu menahan libidonya, saya yakin hal ini tidak akan terjadi.
Oh ya,memangnya apa pekerjaan gadis itu sehingga ia bisa berpikir untuk melindungi dirinya sedemikian rupa?", tanya dokter Frans dengan senyum tipis dan terkesan merendahkan kelakuan bejat Rangga.
"Dia mahasiswi akademi perawat!"
Jawaban Masitha membuat dokter Frans tertawa lebar walau tidak sampai mengeluarkan suara keras.
"Pantas!" Sudahlah bu, tidak usah diperlebar kemana mana masalah ini! Cukup kita fokus untuk pengobatan anak ibu!
Setelah saya periksa tadi, saya menemukan, jaringan sel disekitar bekas tusukkan itu mengeras dan merusak saraf.
Kita tidak perlu memotong burung anak ibu itu, cuma membuang daging yang rusak dan keras itu!
Tapi dengan catatan, senjata anak ibu selamanya tidak berfungsi".