Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : janji hidup semati
Langit sore di penghujung November tampak berpendar lembut. Di bawah naungan langit yang senja, Rayhan menggenggam tangan Alya dengan erat. Wajahnya penuh harap saat ia menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya dengan balutan gaun putih sederhana.
“Aku nggak pernah nyangka, hari ini akhirnya datang, Alya,” bisik Rayhan, suaranya serak menahan emosi.
Alya tersenyum kecil, matanya berbinar. “Aku juga. Kita ini seperti dua orang bodoh yang nggak pernah berhenti berdebat, tapi entah kenapa, aku nggak pernah bisa pergi dari kamu.”
Momen itu terasa sempurna. Mereka saling bertukar janji dengan suara yang bergetar penuh kejujuran.
“Aku janji bakal jadi laki-laki yang nggak cuma bikin kamu bahagia, tapi juga bikin kamu ngerasa dicintai setiap hari,” ujar Rayhan sambil menyematkan cincin di jari manis Alya.
“Aku juga janji bakal terus belajar mencintai kamu, dengan semua kekurangan dan kelebihan yang kamu punya,” balas Alya lembut.
Setelah janji diucapkan, sorak sorai kecil keluarga dan sahabat terdengar menggema di aula sederhana itu. Hari itu mereka resmi menjadi suami-istri.
---
Malam pertama mereka dihabiskan bukan dengan kemewahan, melainkan dengan obrolan ringan di atas kasur kecil di apartemen mungil yang kini menjadi rumah mereka.
“Kamu tahu nggak, aku udah nyiapin kejutan buat kamu,” ujar Rayhan sambil menyodorkan sebuah buku kecil.
“Apa ini?” Alya bertanya penasaran.
“Diary pernikahan kita. Aku mau kita isi bareng setiap hari, apa pun yang kita rasain. Biar nanti, kalau kita tua, kita bisa baca ini dan ketawa bareng.”
Alya tertawa pelan. “Kamu romantis banget sih, nggak kayak biasanya.”
Rayhan mengangkat bahu. “Mungkin karena aku lagi cinta-cintanya sama kamu.”
Mereka menghabiskan malam itu dengan cerita dan canda. Alya merasa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia benar-benar menemukan tempatnya. Rayhan, dengan segala ketidaksempurnaannya, adalah rumahnya.
---
Hari-hari setelah itu, mereka seperti sepasang merpati. Rayhan sering mengantar Alya ke kantor meski jadwal kerjanya sendiri cukup padat. Di malam hari, Alya akan menyiapkan makan malam sederhana sambil bercerita tentang harinya.
“Kamu nggak capek masak tiap hari?” tanya Rayhan suatu malam.
“Enggak kok. Buat aku, bikin kamu kenyang itu kebahagiaan tersendiri,” jawab Alya sambil tersenyum.
“Kamu ini istri idaman banget, sih. Aku beruntung banget punya kamu.”
Hari-hari itu berlalu seperti mimpi indah. Tapi seperti langit yang kadang mendung setelah cerah, mereka tidak tahu badai kecil akan segera datang menghampiri hidup mereka.
---
Tiga bulan setelah pernikahan, kehidupan Rayhan dan Alya mulai terasa berbeda. Awalnya, semua terasa indah dan penuh cinta, tapi pelan-pelan realita mulai mengetuk pintu mereka.
“Kok kamu baru pulang, Ray?” tanya Alya dengan nada datar suatu malam. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sementara Rayhan baru saja sampai di apartemen mereka.
“Kerjaan, Alya. Aku harus lembur. Kamu tahu kan kantor lagi banyak proyek?” jawab Rayhan sambil melepas sepatu.
“Apa cuma kerjaan? Atau kamu lebih milih ngabisin waktu sama teman-teman kamu?” ucap Alya pelan, tapi nadanya dingin.
Rayhan menghela napas panjang. “Alya, aku capek. Jangan mulai lagi, ya.”
Pertengkaran kecil seperti ini mulai sering terjadi. Alya merasa Rayhan terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan sering mengabaikan waktu bersama. Di sisi lain, Rayhan merasa Alya terlalu menuntut, seolah tidak memahami tekanan yang ia rasakan.
---
Masalah semakin rumit ketika orang tua Alya datang berkunjung tanpa pemberitahuan.
“Rayhan, kamu harusnya bisa lebih sering pulang. Alya itu istri kamu. Jangan terlalu sibuk kerja,” ujar ibu Alya sambil melirik tajam ke arah Rayhan.
Rayhan mencoba tersenyum, tapi hatinya terasa panas. “Saya kerja juga buat masa depan kami, Bu. Lagipula, Alya nggak pernah kekurangan apa-apa, kan?”
“Uang itu penting, tapi perhatian lebih penting. Jangan sampai istri kamu merasa kesepian,” tambah ayah Alya.
Setelah orang tuanya pulang, Alya mencoba meredakan suasana, tapi Rayhan sudah terlanjur kesal.
“Kamu ngomong apa ke mereka sampai mereka mikir aku ini suami yang nggak peduli?” bentak Rayhan.
“Aku nggak ngomong apa-apa, Ray. Mereka cuma khawatir karena lihat aku sering sendirian.”
“Kalau gitu, kenapa kamu nggak bilang ke mereka kalau aku kerja buat kita? Atau itu nggak cukup menurut kamu?”
Alya menahan air matanya. “Kenapa kamu selalu ngerasa aku nyalahin kamu? Aku cuma ingin kita punya waktu lebih banyak buat ngobrol, buat bareng-bareng. Itu salah?”
Rayhan tidak menjawab. Ia hanya masuk ke kamar dan membanting pintu.
---
Hujan deras malam itu seperti menggambarkan suasana hati mereka. Alya duduk di ruang tamu sambil memandangi buku kecil yang pernah diberikan Rayhan, diary pernikahan mereka. Halaman-halaman awal penuh dengan tulisan dan kenangan indah, tapi belakangan, halaman itu kosong.
Dia bertanya-tanya, apakah semua ini akan terus seperti ini? Atau apakah masih ada jalan untuk mereka kembali seperti dulu?
---
Hari-hari berlalu dengan jarak yang semakin nyata di antara Rayhan dan Alya. Komunikasi mereka kini lebih sering diisi dengan kebisuan, hanya terpaksa berbicara kalau benar-benar diperlukan.
Namun, badai besar datang ketika Alya mendapat kabar mengejutkan dari kantor.
“Pak Andi bilang aku harus pindah ke cabang Surabaya untuk promosi. Aku nggak bisa nolak, Ray,” ujar Alya suatu malam.
Rayhan terdiam, wajahnya sulit ditebak. “Berapa lama?”
“Setahun. Tapi aku akan sering pulang kok, Ray. Lagipula ini kesempatan besar buat karier aku.”
“Setahun?” nada suara Rayhan meninggi. “Alya, kita baru menikah. Apa nggak ada cara lain?”
Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. “Ini demi masa depan kita, Ray. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku juga mau jadi istri yang bisa bantu keuangan keluarga.”
Rayhan menggelengkan kepala. “Ini bukan cuma soal uang, Alya. Kita udah punya masalah sekarang, terus kamu mau tambah jarak di antara kita?”
Alya terdiam. Dia tahu keputusan ini berat, tapi dia juga merasa ini adalah langkah yang harus diambil.
---
Hari keberangkatan Alya terasa begitu sunyi. Rayhan tidak ikut mengantar ke bandara, memilih untuk diam di rumah dengan alasan pekerjaan. Di sepanjang perjalanan, Alya memandang cincin di jarinya sambil menahan air mata.
Sementara itu, Rayhan duduk di ruang tamu apartemen mereka, memandangi buku diary pernikahan yang terbuka di atas meja. Ia merasa marah, kecewa, tapi di atas segalanya, ia merasa takut kehilangan Alya.
---
Jarak di antara mereka membuat komunikasi semakin sulit. Waktu yang berbeda, kesibukan masing-masing, dan ego yang masih tinggi membuat mereka jarang saling berbicara.
Suatu malam, Rayhan memberanikan diri menelepon Alya. Suara Alya terdengar ceria, tapi ada sesuatu yang membuat hati Rayhan gelisah.
“Kamu dekat sama siapa di sana?” tanyanya tiba-tiba.
Alya terkejut. “Apa maksud kamu, Ray? Aku sibuk kerja. Kamu pikir aku main-main di sini?”
“Bukan gitu, Alya. Aku cuma—aku cuma khawatir.”
“Kalau kamu percaya sama aku, kamu nggak perlu nanya kayak gitu, Ray.” Alya mengakhiri telepon dengan nada dingin, meninggalkan Rayhan dengan rasa bersalah yang membara di dadanya.
---
Namun, kekhawatiran Rayhan menjadi semakin besar ketika ia mendengar dari teman Alya bahwa Alya sering makan malam dengan salah satu rekan kerjanya di Surabaya. Meski Alya tidak pernah menyebutkan hal itu, bayangan buruk mulai menghantui pikiran Rayhan.
Dia mencoba menahan dirinya untuk tidak langsung menuduh, tapi emosi yang sudah mengendap terlalu lama akhirnya meledak saat Alya pulang ke Jakarta untuk libur akhir pekan.
“Kamu nggak cerita soal teman kantor kamu yang sering ngajak makan malam, Alya,” ucap Rayhan tanpa basa-basi.
Alya mengerutkan kening. “Kamu denger dari siapa? Aku nggak ada apa-apa sama dia, Ray. Kamu terlalu berlebihan!”
“Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kamu nggak cerita? Apa kamu udah nggak peduli sama aku?”
Alya melempar tasnya ke sofa, air matanya mengalir deras. “Ray, aku capek. Aku kerja keras buat kita, buat masa depan kita, tapi kamu malah mikir yang nggak-nggak.”
“Capek? Aku juga capek, Alya. Tapi aku nggak pernah ninggalin kamu!”
Suasana malam itu pecah dengan tangisan dan teriakan. Dalam hati, keduanya tahu bahwa cinta mereka masih ada, tapi luka yang terus digali membuat mereka semakin menjauh.
---
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁