Demi menyekolahkan dang adik ke jenjang yang lebih tinggi, Cahaya rela merantau ke kota menjadi pembantu sekaligus pengasuh untuk seorang anak kecil yang memiliki luka batin. Untuk menaklukkan anak kecil yang keras kepala sekaligus nakal, Cahaya harus ekstra sabar dan memutar otak untuk mendapatkan hatinya.
Namun, siapa sangka. Sang majikan menaruh hati padanya, akan tetapi tidak mudah bagi mereka berdua bila ingin bersatu, ada tembok penghalang yang tinggi dan juga jalanan terjal serta berliku yang harus mereka lewati.
akankah majikannya berhasil mewujudkan cintanya dan membangunnya? ataukah pupus karena begitu besar rintangannya? simak yuk, guys ceritanya... !
Happy reading 🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah tingkah
Uang yang tadi di pegang Sagara langsung berhamburan keatas, seperti kumpulan kelopak mawar yang sengaja di hamburkan layaknya hujan.
Bima yang hendak menyuapkan sepotong brownies pun mengurungkan niatnya, ia turun dari kasur begitu mendengar suara orang jatuh.
Cahaya dan Sagara saling berpandangan cukup lama, sebelum ada suara Bima yang memecah keheningan diantara keduanya.
"Wooowww!!! Cieeee...." Seru Bima.
Bukannya membantu, Bima justru terkekeh sambil bertepuk tangan. Cahaya segera bangkit dari tubuh Sagara, ia menjadi kikuk dan salah tingkah di buatnya, sedangkan Sagara bangun dengan kesusahan karena nyeri di bagian b*k***a. Cahaya membantu menarik tubuh Sagara untuk berdiri, dia menuntun majikannya untu duduk di kasur.
"Cieee.... Cieee.." Bima mendadak jadi mak comblang, hal itu membuat kedua orang dewasa itu menjadi canggung.
Untuk mengusir kecanggungannya, Cahaya memunguti uang yang berserakan di lantai, sementara Sagara yang hendak membantunya mengurungkan niatnya karena pinggangnya juga sakit.
Kreeekkkk...
"AAAWWW....!" Pekik Sagara.
"Papa! Papa kenapa?" Seru Bima khawatir.
Cahaya pun ikut khawatir mendengar ringisan Sagara, dia meninggalkan uang yang berserakan itu dan membantu Sagara berbaring di kasurnya.
"Tuan, mana yang sakit? Duh, kumaha ieu teh nya? Apa mau saya panggilkan Dokter, atau tukang urut?" Tanya Cahaya.
"Gak usah, paling bentar lagi enakan." Jawab Sagara menahan sakitnya.
"Ish, Papa kan sudah tua, lebih baik di periksa sama Om Rey. Biasanya tulang orangtua gampang keropos, apalagi yang gak pernah olahraga." Cerocos Bima sambil menyindir Sagara.
"Eh, mulutnya! Kamu pikir Papa sudah kakek-kakek? Yang benar saja, perlu di garis bawahi ya! Papa suka olahraga, kamu aja yang gak pernah lihat." Protes Sagara tidak terima.
"Alasan!" Cibir Bima.
Sagara beralih menatap Cahaya, dia berdehem sebentar kemudian meminta tolong pada Cahaya.
"Em, Cahaya. Maaf sebelumnya, tolong kamu bereskan uangnya dan berikan pada Bi Nur sebagian, sebagiannya lagi kamu belanjakan sesuai kebutuhan rumah. Dan yang terakhir, bisa kamu ambilkan saya makan? Saya lapar, pinggang saya masih sakit kalau di pake jalan." Ucap Sagara.
"Baik, Tuan. Saya bereskan dulu uangnya, setelah itu saya akan kembali membawa makanan." Ucap Cahaya tanpa berani menatap wajah Sagara.
Gegas Cahaya mengambil seluruh uang yang ada di lantai, ia segera keluar dari dalam kamar Sagara dan turun ke lantai bawah.
Bima duduk di samping ayahnya, tatapannya seolah menginterogasi Sagara. Sedangkan Sagara sendiri heran melihat tatapan Bima, televisi pun di biarkan menyala begitu saja.
"Kenapa?" Tanya Sagara.
"Papa suka ya sama, Mbak Yaya?" Tebak Bima.
Sagara mengerutkan keningnya, entah pikiran dari mana Bima bisa memberikan kesimpulan atas kejadian tadi seperti itu.
"Apa karena kejadian tadi kamu mikir kayak gitu? Lagian juga, kamu itu masih kecil dan gak tahu apa itu suka, sayang dan cinta-cintaan." Ucap Sagara.
"Bima udah gede, Pa. Bima bisa menilai sendiri, apa Papa lupa keahlian Bima pas bantu Papa? Apa anak lain juga bisa melakukannya? Tidak bukan, itu karena Bima sudah besar. Papa sadar gak, waktu Mbak Lela masih kerja disini Papa jarang makan di rumah, apalagi sampai bekal makan siang dari rumah. Biasanya juga beli di luar kalau Papa ke kantor, aku tahu ya kalau Mbak Yaya suka bangun lebih awal soalnya Papa sering minta buatkan sarapan dan bekal." Papar Bima sambil nyerocos tanpa henti, dia membeberkan sikap Papanya yang beda dari biasanya.
"Ya, karena masakan Mbak Yaya kamu itu enak." Ucap Sagara enteng.
"Mbak Lela kalau masak enak pun Papa gak bela-belain langsung makan, apalagi kalau udah pulang lembur, paling cuma di lirik doang." Skakmat. Sagara tidak bisa membantah ucapan Bima lagi, pasalnya semua yang di utarakan Bima adalah kenyataan.
"Perasaan kamu doang itu mah." Ucap Sagara langsung menutup tubuhnya dengan selimut, dia tak mau anaknya semakin memojokannya.
Sementara di bawah. Cahaya menggelengkan kepalanya, dia menepis semua bayangan wajah Sagara yang tadi berad di bawah tubuhnya. Bi Nur yang sedang menyapu pun keheranan melihat Cahaya, tidak biasanya Cahaya bertingkah aneh.
"Yaya, kamu teh kenapa?" Tanya Bi Nur.
Cahaya menoleh kearah Bi Nur, dia menggelengkan kepalanya dengan gugup.
"E-enggak papa kok," Jawab Cahaya.
"Dari tadi kamu geleng-geleng kepala, apa kamu lagi pusing? Kalau lagi pusing mah mending istirahat aja." Ucap Bi Nur.
"Enggak kok. Oh iya, ini uang yang seperti biasanya ya. Kata Tuan tolong ambilkan baju yang masih di laundry, katanya mau di pakai buat meeting penting sama klien besok." Ucap Cahaya mengalihkan pembicaraannya dengan memberikan uang pada Nur, dia juga langsung menyampaikan pesan dari Sagara.
"Oke." Balas Bi Nur.
Cahaya menyimpan uang belanja ke dalam dompetnya, dia segera mengambil nampan dan juga piring. Tangan Cahaya dengan cekatan mengambil nasi dan juga lauknya, tak lupa ia juga membawa satu gelas air minum. Rasanya satu gelas saja tak cukup, untuk itu Cahaya mengambil ceret kaca dan mengisinya dengan air juga satu gelas lagi untuk Bima. Cahaya memanggil Bi Nur untuk membantunya membawakan nampan yang berisikan ceret, Cahaya kesusahan bila harus membawa dua nampan sekaligus.
Keduanya pun menaiki tangga ke lantai atas, Cahaya mengetuk pintu dan di buka oleh Bima. Terlihat Sagara yang membungkus tubuhnya menggunakan selimut, Bi Nur menyimpan nampan yang di bawanya keatas meja dan langsung keluar setelah tugasnya selesai. Cahaya merapikan meja agar bisa menyimpan nampan yang di bawanya.
"Tuan, nasinya saya simpan di atas meja." Ucap Cahaya.
Sagara menurunkan selimut yang menutupi tubuhnya, dia menatap Cahaya yang berdiri di samping meja.
"Cahaya, apa kamu mau mengerjaiku? Bagaimana bisa aku mengambilnya, pinggangku masih sakit." Ucap Sagara.
"O-oh, baik Tuan. Akan saya ambilkan." Ucap Cahaya.
Cahaya sendiri merutuki kebodohannya, ia segera mengambilkan nampan tersebut dan menyimpannya diatas nakas. Sebelum Sagara makan, Cahaya membantu Sagara duduk karena terlihat kesusahan. Tubuhnya dan tubuh Sagara pastinya menempel, jantung Cahaya seperti ingin meledak karena tak pernah sedekat ini bersama lawan jenisnya.
"Suapi saya, tangan saya kebas." Titah Sagara.
Cahaya membulatkan matanya, tidak masalah kalau ia harus menyuapi Bima. Tapi kalau menyuapi bapaknya, rasanya Cahaya ingin menolaknya.
"Kenapa? Gak mau?" Tanya Sagara yang melihat Cahaya diam saja.
"Dihhh, alasan." Cicit Bima yang kembali menonton Ultraman kesukaannya.
"I-iya, s-sebentar." Jawab Cahaya terbata-bata.
Sagara menggeser tubuhnya ke sebelah Bima, dia menyuruh Cahaya duduk di sampingnya karena tidak ada kursi untuk Cahaya duduk. Masa Cahaya harus menyuapi Sagara sambil berdiri, kan kasihan.
Cahaya menyendokkan satu sendok nasi bersama lauknya, tangannya agak gemetar karena ini pertama kalinya dia menyuapi pria yang notabenenya adalah majikannya.
'Duda satu ini banyak maunya, Ya Allah tolong...' Batin Cahaya resah.
Happp...
BRAAKKKK...
kalau gara tau dia ditipu selama ini gimana rasanya ya. gara masih tulus mengingat relia , menyimpan namanya penuh kasih dihatinya, ngga tau aja dia 😄, dia sudah di tipu
relia sekeluarga relia bahagia dengan suami barunya.